2019 - Lagi Monolog

Tuesday, December 31, 2019

Monolog Setahun - 2019

3:11 PM 0
Monolog Setahun - 2019
Did I do well this year?

Did I really reach what I wanted before this year is over?

Did I brave enough to do something big? To decide what kind of life I would be in forever?

Sesekali gue berpikir apakah kita perlu benar-benar menyambut tahun sebagai hal yang baru, lalu bersikap seolah kita memiliki hidup yang baru, dan membiarkan yang terjadi selama setahun sebelumnya sebagai sesuatu yang berlalu. Mulai bermunculan kilas balik kehidupan orang-orang di sosial media yang sedikit-banyak membuat gue jadi ikut mikir,”Gue udah ngapain aja selama setahun?” Sudahkah gue jadi anak yang berguna buat setidaknya orang tua gue?

Friday, December 27, 2019

Semesta Punya Rencana (#YSEALI - Part 1)

12:14 PM 2
Semesta Punya Rencana (#YSEALI - Part 1)
Rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput di halaman sendiri.

Nggak lama ini gue cerita sama seseorang waktu dia bonceng gue di atas motor, kalau temen gue yang punya bisnis yang saat itu produknya ada yang mirip sama yang gue rintis waktu SMA, dapat pendanaan dari sebuah foundation sebanyak 300 juta. Karyawannya banyak dan penjualannya di atas langit. Kalau aja gue nggak mood-swinger, nge-pause bisnis dan fokus aja, kalau aja gue nggak tiba-tiba memutuskan untuk masuk organisasi internasional dan membangun Laboratorium Kewirausahaan dan Inovasi di fakultas gue, kalau aja gue sedikit lebih konsisten, apakah gue akan dapat kesempatan yang sama kayak temen gue ini?

Monday, November 25, 2019

Cantik dan Pintar Tanpa Attitude

3:28 PM 0
Cantik dan Pintar Tanpa Attitude
Gila. Udah empat bulan gue sama sekali nggak mampir ke blog ini. Padahal selepas skripsi, target gue adalah menulis minimal sekali dalam sebulan. Tapi, memang benar kata Nadiem Makariem dalam pidatonya di Hari Guru Nasional tahun ini. Katanya,"Perubahan adalah hal yang sulit dan penuh ketidaknyamanan". Komitmen untuk menulis secara konsisten ini adalah sebuah perubahan yang menantang buat gue.

Apa yang akan gue  bahas kali ini sedikit-banyak masih relate sama yang namanya perubahan.

Oke, jadi gini...

Selepas gue wisuda, gue makin dihadapkan sama yang namanya realita. Bukan realita kaleng-kaleng kayak yang dihadapi semasa kuliah. Lebih dari itu. Ibaratnnya, tempat tinggal dan kuliah adalah tempat nyaman dan aman buat gue. Keluar dari sana, kayak masuk ke dalam hutan, terjun ke samudera, bahkan bisa aja gue sebut dunia ini tanpa istilah karena gue sama sekali nggak tau gue ada di lingkungan seperti apa. Termasuk apa dan siapa yang akan gue hadapi di dunia yang kacau ini.




Seperti layaknya perjalanan manusia lainnya, gue semakin banyak dipertemukan dengan manusia yang aneh-aneh. Entah gue yang belum bisa bodo amat sama sekitar, atau emang manusia-manusia di dunia makin nggak bisa menaruh respect ke orang lain. Ada beberapa kejadian yang diceritakan temen-temen gue tentang pengalamannya tidak di-respect sama orang lain. Kali ini gue juga pengen cerita apa yang gue alami.

Beberapa minggu lalu, gue dan Mas Satrio berburu diskon 11.11 di KFC. Kebetulan karena kami lagi di Matos, mampirlah kami ke KFC Matos. Antreannya nggak terlalu panjang, cuman posisi gue udah mentok banget di depan pintu KFC yang menghadap ke luar (bukan pintu masuk via Matos). Kemudian, ada seorang cewek berjilbab buka pintu dengan tolakan keras sehingga pintu itu menghantam punggung gue sampai gue terpental dari posisi gue berdiri. Sakit coy. Kala itu gue meringis dan nggak sengaja bertatapan sama si mbak-mbak yang ngebuka pintu itu. Dia diem aja, sama sekali nggak mengucapkan sebuah kata sakral yang menurut gue adalah dasar dari attitude seseorang ketika melakukan kesalahan: minta maaf. Walaupun tanpa dia nggak minta maaf pun juga bakal gue maafin. Yakali gue dendam sama orang asing. Tapi, apakah ketika lo menyakiti orang lain lo akan pura-pura nggak tau, sekalipun itu nggak lo sengaja?



Lagi, pernah suatu kali ada adek kelas gue di sebuah organisasi nge-chat minta dikirimin sebuah file yang membuat gue lolos suatu program. Dia ingin lolos juga di program yang sama. Setelah gue periksa, file itu penuh dengan hal-hal privasi yang menyangkut value perusahaan, rencana jangka panjang dan pendek, dan hal-hal lainnya seperti skema keuangan, strategi, dll. Ya lo bayangin aja kalo lo punya sebuah usaha dan isi dapurnya semua lo masukin disana, kemudian ada orang lain yang minta file tersebut. Walaupun dokumen yang di-share nggak mencakup semua hal,  orang lain bisa menyimpulkan poin-poin penting saat ia membaca file tersebut. Makanya sebelum kirim gue wanti-wanti banget orang ini supaya menjadikan file tersebut  sebagai insight tambahan aja, no copy-paste lah intinya. Saat itu gue mikir-mikir apakah gue yakin akan mengirimkan file penting ini ke orang lain. Tapi setelah gue renungkan kembali, sepertinya gue bisa memercayai dia.

Singkat cerita, gue kirimkan file tersebut melalui email. Ternyata ada hal yang  membuat gue menyesal dan kecewa karena udah ngirimin file itu. Bukan karena orang itu menjiplak hasil karya gue. Ada hal pertama yang seharusnya dilakukan seseorang ketika menerima sesuatu dari orang lain. Hal yang lebih menyakitkan (ternyata) alih-alih seseorang menyalahgunakan sebuah kepercayaan. Hal sederhana berbunyi: terima kasih.

Beberapa hari gue biarin, kali ini gue yang menghubungi dia duluan. Bukan karena gue gila hormat. Pertama, karena gue nggak ingin kehilangan respect juga orang ini. Kedua, gue nggak pengen kecewa sama orang ini. Sayang, dia cantik dan pintar. Gue yakin banyak orang di luar sana yang mengagumi dia dan menjadikannya sebagai role model.

Setelah gue chat, dia menjawab. Baguslah. Gue lega karena impresi buruk tentang orang ini sudah diperbaiki. Namun, ternyata gue salah. Sumpahhh kalo inget gue pengen nangis. Tapi ntar gue dibilang baper...... Suatu hari, gue ketemu orang ini di sebuah ruangan. Dia lihat gue. Sayangnya orang ini sama sekali nggak menegur. Sampai kita 4 jam di ruangan yang sama, nggak ada interaksi sama sekali. Keesokan harinya, gue ketemu lagi sama orang ini. Dia nyapa temen-temen gue. Tapi gue nggak ditegur sama sekali. Padahal gue dan temen-temen gue lagi bareng saat itu. Apakah ini yang disebut: dateng cuman pas butuhnya doang?

Tulisan ini adalah hasil  keresahan yang gue alami. Beberapa contoh yang disebutkan juga hanya sebagian kecil dari tingkah polah manusia-manusia yang makin beragam dan aneh. Kalo kalian ada yang ngerasa kesindir, bagus. Gue nggak merasa harus minta maaf kalo ada dari kalian yang kesindir sama tulisan gue karena bukankah memang itu yang harus dilakukan? Respect. 

Kalo kalian kesindir, lakukan perubahan. Respect others. Gue nggak pengen ada makin banyak manusia yang nyeleweng dan lupa kalo dirinya adalah manusia yang tugasnya juga harus bisa memanusiakan orang lain. Percuma kita kaya, pintar, cantik rupawan, tapi kalau basic attitude untuk menjadi manusia nggak tau. Percuma kalau punya ilmu tapi nggak punya adab. Puncaknya ilmu adalah adab yang mulia. Sebagian gue yakin tau, tapi nggak dilakukan. Poor you, human.


Iya, gue tau gue juga manusia. Makanya gue sadar dan nulis ini. Buat jadi pengingat ke diri sendiri juga kalau gue nggak bisa memanusiakan manusia lainnya, berarti gue menjilat ludah gue sendiri.
Cheer up! Kalo ada yang mengalami hal-hal aneh lainnya atau punya pendapat lain, gue terbuka. Kalian bisa tulis di kolom komentar.



---
Ditulis di kala hujan
dari sudut Kantor

Saturday, July 20, 2019

SKRIPSI GINI DOANG, TOH!

7:46 PM 1
SKRIPSI GINI DOANG, TOH!
Sejujurnya gue udah bikin jadwal nge-post tulisan di blog ini setiap hari Sabtu/Minggu. Dan ternyata udah tiga bulan yang lalu gue nge-post tulisan. Pertanyaannya, kemana aja gue selama tiga bulan ini?

Jawabannya mungkin udah bisa ditebak. Gue sedang berusaha jadi anak baik yang berbakti pada orang tua. Salah satu caranya adalah lulus maksimal empat tahun. Nggak lebih. Walaupun suatu hari gue pasrah aja kalau emang harus lulus lebih dari empat tahun, gue harus bayar UKT sendiri. Gamau tau gimana caranya.

Mringis mulu



Singkat cerita, gue berhasil dinyatakan lulus pada tanggal 18 Juli 2019. Di Yudisium pagi itu gue nggak berharap banyak mau nilai IPK gue berapapun, gue bersyukur banget bisa lulus sebelum empat tahun jatah gue lewat. Gak taunya, dari proses awal kepenulisan skripsi sampai hari kelulusan itu pun Allah selalu kasih hadiah yang nggak berhenti-berhenti. Nama gue dipanggil pertama kali se-jurusan bisnis di Yudisium kemarin. Gue dinyatakan lulus Cumlaude, yang saat itu cuma satu doang. Di samping gue, ada Mega ngomel-ngomel terus kenapa dia di nomor 2, sedangkan gue nomor 1.

Anyway, sejujurnya gue nggak begitu mempeributkan berapa besar IPK gue karena IPK yang tinggi, bahkan dinyatakan Cumlaude, itu bisa jadi beban besar yang memengaruhi tumbuhnya jerawat di muka. Stress, haha. Seriusan. Orang lain pasti akan berekspektasi sama lo dan lo harus bisa approve, sebagai pertanggungjawaban nilai itu, kan? Akhir-akhir ini gue benci banget sama yang namanya ekspektasi. Jadi, let be honest, stop berekspektasi ke gue guys. Untuk hal apapun. Kalian itu juga hebat. Kita semua hebat. Tinggal gimana lo-nya yang ngolah self branding itu. Tapi nggak perlu menaruh ekspektasi ke orang lain, cukup ke diri sendiri aja.


REVISI CUMA 2 JAM

Sidang akhir skripsi gue dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 2019. Empat hari sebelumnya, pengumuman sudah diposting di akun Jurusan Bisnis dan gue deg-degan luar biasa! Kira-kira berapa orang ya yang gue temuin dalam empat hari itu buat minta wejangan? Bahkan tiap malem gue nanya Mas Satrio buat nyiapin jawaban sidang. Sampai orangnya bosen banget. Endingnya dia cuma jawab "Gimana kalo kamu sidang dulu baru nanya?" Menurutnya pertanyaan gue nggak substansial banget. Ditambah lagi, gue tanyain berulang-ulang.

Ketegangan itu menurut gue wajar sih kalo dipikir-pikir. Background gue mungkin bisa dibilang lebih ke pemasaran. Bisa dilihat dari kegiatan dan track record selama kuliah. Entah kenapa saat milih judul, gue masukin topik keuangan disana. Dan yang dipilih oleh jurusan adalah topik keuangan. Padahal semasa kuliah gue paling males sama keuangan. Nilai-nilai di mata kuliah yang berhubungan sama keuangan juga biasa aja. Ya, nilai itu bisa jadi approvement lah gimana minat dan kemampuan gue soal keuangan T.T

Ngikutin idealisme, akhirnya gue memberanikan diri ambil topik keuangan buat diangkat di skripsi. Alasan saat itu cuma satu: datanya ada di internet. Karena gue pasti bakal mager banget nyebar kuisioner atau wawancara. Dan ditambah ke-sok-sok-an yang nggak tanggung-tanggung, gue ambil tentang investasi di cryptocurrency. Dunia abu-abu buat gue.

Demi memahami cara kerjanya, gue sampai investasi ke beberapa koin dan ikutan komunitas pasar saham Amerika Serikat. Kebetulan pendirinya adalah salah satu dosen gue. Beberapa kali gue ikut kopdarnya, main trading game buatan mereka, nontonin tutorial cara baca candle stick, sampai buka akun sekuritas juga. Begitulah kerjaan gue selama proses pembuatan skripsi ini. Tapi gue seneng banget, akhirnya gue nemu alasan yang mendesak kenapa gue harus belajar tentang keuangan. Kalo nggak gitu, sampai lulus gue stupid banget soal ini. Yah, walaupun sampai sekarang juga nggak jago-jago amat sih.

Long story short, Allah lagi-lagi menunjukkan kekuasaannya dengan ngasih gue suasana sidang yang lebih cocok gue sebut “bimbingan”. Karena gue sama sekali nggak ditekan, dites, dijahilin. Justru dosen penguji gue ngajak diskusi dan gue keluar ruangan dengan merasa lebih pintar karena wawasan gue jadi bertambah selepas sidang. Bahkan kita masih sempet ngebahas soal LPDP, universitas di luar negeri, sampai keluh kesah dosen-dosen itu ngurusin borang buat akreditasi fakultas.

Geng Skripsi Bahasa Inggris di Binter


Dari sidang itu, gue dapat 2 lembar kartu revisi. Sewaktu gue baca ternyata masih banyak banget yang harus gue perbaiki. Aji, temen gue di Bisnis Internasional bilang dia cuma revisi redaksional. Amanda dan Mega juga. Nah, gue revisi dari Bab I, Bab III, Bab IV, dan Bab V juga dong!

Pas pulang ke rumah gue udah niatin bahwa gue butuh istirahat. Paling nggak di hari Sabtu dan Minggu gue pakai buat revisian. Eh, nggak taunya dasar gue. Seminggu berlalu dan gue sama sekali nggak ngurusin skripsi. Gue sibuk jualan, nyari cuan. Baru deh waktu pengumuman bayar UKT semester depan keluar, gue panik luar biasa. Procastinating emang adalah musuh besar gue.

Curhat sana-sini, Aji kasih gue motivasi. Dia bilang, revisi 2 jam cukup buat dia. Akhirnya gue juga nekad. Start jam 7 pagi dan gue berhasil kelar semua jam 9 pagi. Ternyata kuncinya cuma satu: memulai. Karena kita nggak akan pernah nyelesaiin sesuatu untuk hal yang nggak pernah kita mulai, bukan?

So, gue sengaja buka laptop buat ngetik at least satu kata aja. Dan itu sangat berhasil buat gue nulis kata-kata selanjutnya. Begitu pun waktu berlalu sampai nggak kerasa gue bisa kelar tepat 2 jam sesuai yang ditargetkan. Jadi, buat kalian yang masih males-malesan buat memulai. Nyatakan perang buat diri sendiri! Karena musuh utama lo itu cuma satu: diri sendiri.


MALES/TAKUT/SUSAH KETEMU DOSEN

Salah satu alasan skripsi nggak kelar-kelar adalah males/takut/susah ketemu dosen. Percayalah guys. Dosen itu digaji. Dan mereka pasti kerja. Kalo udah ngerasa sesusah, semales, setakut itu ketemu dosen yang notabene adalah guru kita juga, gimana ntar ngadepin bos/client yang tingkat ruwetnya lebih tinggi?


SKRIPSI GINI DOANG?

Buat kalian yang merasa “kok skripsi gue nggak ada akhirnya, ya?”. Lo nggak sendirian kok.
Tapi percaya gue deh. Nulis/nyusun skripsi nggak sesulit itu kok. Karena percaya deh, suatu saat nanti lo bakal nengok ke belakang dan heran sendiri “well, I made it”. Begitu hukum alamnya. Ketika kita udah nglewatin sesuatu biasanya jadi suka mikir, “ealaahh, gini doang?” Karena emang sesungguhnya apa yang dirasa sulit itu cuman karena kita lagi ngejalanin proses itu. Dan itu pasti berlalu. Kok bisa? Ya gimana, udah begitu hukum alamnya.

Terakhir, skripsi itu emang masterpiece. Kita bakal belajar banyak banget tentang diri sendiri, orang lain, bahkan tentang apa yang kita teliti dari proses ini. Jadi, kerjakan sebaik-baiknya tapi khawatir dan males sekecil-kecilnya. Berdoa setulus-tulusnya. Intinya skripsi itu bukan hal tersulit di dunia ini yang harus dilewati. Kalo lulus nanti, masalahnya bukan malah selesai tapi justru nambah. Jadi, semangat!


Keluarga Bisnis Internasional yang sama-sama Yudisium hari itu

Saturday, April 6, 2019

Are You A Perfectionist? Read!

10:15 AM 3
Are You A Perfectionist? Read!
Hey, guys! What are you doing during the weekend? I hope you are doing something useful even on the weekend cause life is just too short. Here, I am sitting in my room writing this post. My sister is whining over a bowl of noodle, so she is waiting for me to cook it together. Thus, let me tell you a story about being a perfectionist in a flash.

I was a really damn perfectionist. Gue nggak tau kapan dan dimana ke-perfectionist-an itu dimulai. Waktu SD? SMP? SMA? Entahlah. Yang gue ingat, gue bener-bener nggak mau sesuatu yang gue lakukan ada ‘cacat’ sedikit aja. Since gue orangnya detail dan planner banget, gue betul-betul mastiin semua hal berjalan sesuai yang semestinya. If you are a perfectionist, mungkin bakal relate sama gimana rasanya jadi orang yang selalu merhatiin dan mastiin apapun dengan baik, kan? Hal ini berlaku ke semua hal. Mulai dari hal kecil seperti nyiapin barang ke sekolah, ngerjain tugas, sampai ke planning sesuatu.

Gue punya cerita yang mungkin bakal sama dengan kalian. Cerita ini tentang tugas sekolah. Tiap ngerjain tugas, dulu, gue selalu jadi mandor. Nggak cuma mandor, tapi juga collector dan corrector. Gue memang cenderung nggak suka ngerjain tugas kelompok bareng-bareng. Buang-buang waktu. Terutama kalo tugas tersebut cuma sekadar bikin makalah plus presentasi—yang materinya bisa langsung dibagi tanpa ada diskusi. Beda halnya kalo untuk tugas tentang essay kelompok atau case tertentu yang memang butuh ‘digodok’ lebih matang. Dengan sikap gue yang perfectionist tersebut, gue sering banget dengan serta merta mengajukan diri sebagai pengepul bagian-bagian anggota kelompok untuk di-compile nantinya. Namun, nggak cukup sampai disitu. Hari-hari gue selalu berakhir dengan ngedit dan benerin ini itu dari tiap bagian. Pernah suatu ketika, gue ngerjain tugas kelompok dari A-Z mulai dari cari bahan, bikin business model-nya, bikin survey sampai ngerekap hasilnya, buat PPT, bikin mock up-nya, record suara, bahkan sampai ngedit videonya. Bener-bener semua gue kerjain.

Lama-lama gue ngerasa hal-hal di atas bakal jadi toxic kalo makin diterusin. Terutama buat diri gue. Buat orang-orang yang terlibat juga. Kalo kata orang Jawa sih, “Tuman” atau kebiasaan. Kebiasaan manfaatin orang, numpang nama, dan buat hal yang lebih besar bisa jadi benalu. Gue sering banget ngeluh ke temen lainnya tentang beban ini. Di satu sisi, anggota kelompok gue emang bener-bener dah. Namun, di sisi lain gue sadar ini adalah efek dari ke-perfectionist-an gue sendiri.

Hingga suatu hari waktu gue lagi browse di internet, gue nemu gambar ini.




Waktu lihat gambar di atas apa yang ada di pikiran kalian?

Yup, it’s universe. It is beyond our imagination, kan? How huge is it?

Melihat gambar itu, gue jadi merasa lebih baik. Gue sadar kalo I’m not even a sand. I’m not even sebutir JasJus nor sebutir detergen. I’m just like a MOLECULE! Hey, guys wake up! You are just a molecule kalo dibandingin dengan the universe yang luasnya nggak tau deh kayak apa.

So, gue jadi bertanya pada diri sendiri. What fucking difference does it make? So, what is the big deal by being not perfect? Gue nggak akan bikin perubahan pada alam semesta hanya dengan bikin tugas kelompok yang nggak perfect di kelas. Karena at the end of the day, it’s about progress that matters, not perfection. Don’t place such an importance on yourself that you don’t get shit done.

Dari situ gue berhenti membuat-buat beban untuk diri gue sendiri. At least I performed on highly level di hal yang menjadi tanggung jawab gue, gue stop mencari-cari sendiri hal lain yang bakal nambah-nambahin beban. Apalagi jika hal itu nggak really matters. Pada suatu ketika, temen gue pernah ngelaporin nama teman-teman kelompoknya yang nggak ngerjain tugas. Tapi gue nggak sampe yang se-ekstrem itu. Pada suatu ketika gue pernah buat PPT yang bahasanya per slide beda-beda karena dikerjain oleh beda orang. Gue cuma compile doang tanpa mengubah totally kaya dulu lagi. Hasilnya lebih memuaskan. Gue tetep dapet nilai bagus tanpa membebani diri untuk being perfect for something yang nggak terlalu menentukan hasil akhirnya.


Satu hal yang gue ingat juga mulai hari itu sampai hari ini, ke hal-hal lain yang lebih berat dari sekadar tugas kuliah.
Mistakes are okay.
Gue ulangi. 
Don’t place such an importance on yourself that you don’t get shit done.
Better done than perfect. Karena once you get shit done, you know how to fix the mistakes daripada you fix on something yang sama sekali nggak selesai.


--
Dari gue,
yang mendamba Indomie Rasa Ayam Panggang.

Wednesday, April 3, 2019

See You When I See You, Pak Inggang!

8:37 PM 0
See You When I See You, Pak Inggang!


Mungkin agak aneh dan canggung banget buat gue untuk nulis tentang impression seseorang di blog ini. Pertama kali pula. Tapi gue merasa ingin mengabadikan sosok ini dalam tulisan.




Sekali lagi, tulisan ini gue dedikasikan untuk dosen terfavorit, Pak Inggang namanya. In fact, gue cuma dapat satu kali mata kuliah beliau. Nama mata kuliahnya Berpikir Sistem. Walaupun begitu, gue malah banyak ketemu dan berdialog dengan beliau di luar kelas. Pak Inggang baru saja berangkat dan akan pergi selama 3 tahun untuk melanjutkan studi di Jepang. Sosok pekerja keras ini banyak menyadarkan gue untuk terus maju dan thinking on what really matter.

Singkat cerita. Gue nggak sengaja dipertemukan dengan Pak Inggang melalui sebuah proyek sebuah bank. Saat itu gue yang masih “kecil” merasa nggak punya pengalaman untuk ngerjain suatu proyek bareng dosen. Jadi, gue menunda-nunda mulu untuk ketemu beliau. Takut, hehe. Suatu hari beliau masuk ke Lab dan nyariin gue buat ngomongin proyek itu. Gue amazed banget sih karena beliau super humble dan nyantai banget. Walaupun saat itu gue dan tim sempet bikin masalah, Pak Inggang nggak segan bantu kita untuk nyari jalan keluarnya.

Image beliau yang nyantai abis luruh seketika saat mengajar di kelas. Beliau mampu menciptakan ketegangan luar biasa—ini sih yang dibilang temen-temen gue. Cara penyampaian materinya yang lugas dan terstruktur membuat gue cepat paham, bahkan banyak yang gue ingat dan terapkan sampai sekarang.

Sebelumnya, gue tau nama beliau dari seorang kakak kelas, namanya Mas Satrio. Saat itu gue punya obsesi yang sama dengan Mas Satrio yaitu ikut program exchange. Mas Satrio sendiri adalah penerima beasiswa exchange selama lima minggu ke Amerika Serikat melalui program YSEALI. Dia cerita bahwa Pak Inggang banyak membantu dia dalam pembuatan essay dan latihan interview. Frankly speech, Pak Inggang lulusan Inggris, jadi Bahasa Inggrisnya udah pasti bagus. Kebetulan saat itu gue memang sedang mengerjakan pendaftaran untuk program Obama Foundation. Jadi gue mulai intens ketemu Pak Inggang untuk membahas essay yang gue tulis.

Nggak cuma satu essay. Tulisan-tulisan gue selanjutnya sering di-review oleh Pak Inggang. Bahkan nggak cuma essay, tapi Surat Rekomendasi juga. Udah pasti hasilnya jadi bagus banget karena Pak Inggang sangat detail melihat requirements dan membuat korelasinya pada sebuah tulisan. Dari sana gue nggak heran sih kalau beliau getol banget bikin buku. Pak Inggang adalah penulis yang baik.

Suatu hari gue lolos ke tahap interview. Sebagai balasan, gue kabarin Pak Inggang kalo gue lolos dan kasih tau kapan gue interview. Gue minta doa dan restu. Pak Inggang malah ngajakin ketemuan untuk latihan interview. Sayangnya, gue masih di Jakarta karena magang. Fokus gue terbagi-bagi sampai gue lupa buat latihan sungguh-sungguh untuk wawancara itu. Beberapa hari sebelum wawancara, ada pesan muncul dari Pak Inggang.

“Eka persiapan interview bagaimana?
Biasanya yang ditanyakan seputar:
1.       Introduce yourself
2.       Your motivation
3.       Your project
4.       How would this experience impact your society
5.       Dll (gue nggak terlalu inget)”


Jujur. Gue terharu banget. Karena bukan gue yang approach beliau duluan. Pak Inggang dulu yang nanyain persiapan gue, bahkan kasih beberapa hint pertanyaan tanpa gue nanya. Tanpa ada angin, tanpa hujan.

Di proyek-proyek lainnya, Pak Inggang ngajarin gue arti profesionalisme. Suatu hari beliau minta gue bantuin untuk meriksa proposal lomba yang di submit dalam suatu lomba kepenulisan. Gue sama sekali nggak berharap tentang benefit apa yang bakal gue dapet. Tapi Pak Inggang kasih gue amplop berisi “gaji” yang dia bagi buat gue dan Chiki yang ikut bantuin koreksi proposal-proposal tersebut. Ini pertama kali gue ketemu dosen yang dengan serta merta memberi gue feedback lebih, walaupun buat gue kata “terima kasih” saja sudah cukup.

Banyak hal bisa gue petik dari sosok pekerja keras ini. Secara profesional, gue belajar tentang pembuatan essay dan surat rekomendasi. Gue yakin skill ini sangat dibutuhkan dimanapun gue berada, termasuk bakal jadi bekal untuk apply S2 nanti. Sekarang, essay dalam Bahasa Inggris yang gue buat bisa lebih terstruktur dan to the point.

Secara personal, gue belajar banyak banget. Buat nggak pernah mengeluh dan tetep senyum aja walaupun situasi berat sedang dihadapi. Pak Inggang sering curhat colongan tentang pekerjaan saat beliau minta tolong gue bantuin nyelesaiin printilan-nya. Walau begitu, beliau cerita sambil cengengesan. Nggak cuma itu. Cara beliau mengatur waktu juga sangat memengaruhi gue buat nggak punya alasan untuk over deadline dan menyalahkan situasi. Cara beliau menghargai orang lain dengan memerlakukan mahasiswanya sebagai teman, sebagai murid, sebagai tim juga menjadi pembelajaran buat gue. Hal lain yang paling nancep adalah bagaimana beliau mengajari gue untuk nggak fokus pada event-event dalam masalah, tapi root problem-nya. Nggak cuma sebagai figur dosen, beliau bisa menjadi mentor dan juga “bapak”.

Jumat lalu (29/3) mungkin adalah hari terakhir gue ketemu beliau. Selama tiga tahun ke depan gue bertekad untuk ketemu Pak Inggang lagi dalam keadaan yang jauh lebih baik. Waktu ketemu nanti gue pengen bilang terima kasih sekali lagi karena telah mempersilakan gue mengenal beliau dan mengambil beberapa pelajaran yang membentuk diri gue. Ketemu di Jepang atau dimanapun, gue pengen kasih kabar baik buat Bapak gue satu ini. See you when I see you, Pak Inggang!

Monday, March 11, 2019

Sama Sekali Nggak Hebat

9:09 AM 0
Sama Sekali Nggak Hebat



Sadar. Lo nggak hebat. Jangan sok.
_____

Disclaimer: Tulisan ini dibuat tidak dengan tujuan untuk menyindir siapapun. Baca hingga selesai untuk mendapatkan isi tulisan yang utuh. 


Akhir-akhir ini gue ‘nongkrong’ sama temen-temen yang dulu waktu masih sibuk kuliah, gue sebut “cool kids”. Sumpah ya. Mindblowing banget. Kita banyak ngomongin fenomena bisnis terkini. Mereka pun nanggepin dengan ngasih insight-insight baru buat gue. Cukup menarik gimana dulu waktu kuliah gue selalu sebel kalo dapet anggota kelompok salah satu dari mereka.

Oke. Kali ini gue nggak ngomong soal how good enough I am karena sudah bisa ‘nongkrong’ bareng cool kids. Tapi, buat ngingetin bahwa seringkali yang kita lihat dengan mata telanjang adalah sesuatu yang nggak bener-bener terjadi, bahwa kita harus selalu belajar dari siapapun dan sebarkan kepada siapapun, bahwa kita tuh nggak sehebat yang kita kira. Sebagai manusia yang banyak kurangnya, mari belajar.

Now jump to the story. Sebut saja ia prinses. Untuk golongan orang nerdy kayak gue ini sama sekali nggak masuk ke topik pembicaraan prinses yang saat itu ‘keliatannya’ suka main, sombong, pokoknya susah digapai lah. Nah gue berada di lingkungan yang betul-betul beda sama nih anak. Kemudian gue secara sengaja—nggak sengaja ikutan memperbincangkan si prinses dan segala hal tentangnya. Kadang gue ikutan nanggepin kalo hal itu ada sangkut pautnya dengan gue, kadang gue dengerin aja. Akhir-akhir ini gue betul-betul sadar kalo situasi “ngomongin” kayak gitu toxic banget. Walaupun udah lama sadar, daridulu gue nggak pernah mengambil tindakan buat mengurangi nor menghindari itu.

Entah bagaimana, setelah lama nggak sekelas, gue dan segerombolan prinses bisa duduk bareng. Ngerjain sesuatu. Bareng. 

Bayangin. 

Bareng.

Ternyata mereka baik banget. Peduli sesama. Bahkan sampai nanyain kabar temen-temen lama kita satu-persatu. Lalu ikutan nostalgia jaman masih sibuk kuliah. Nggak cuma itu. Mereka juga cerdas menyikapi hal-hal yang lagi happening di luar sana. Ada banyak hal yang mereka ketahui, daripada gue—orang yang mereka anggap paling ngerti soal topik itu.

Pertemuan itu ngubah perspektif banget. Bisa-bisanya dulu gue ngomongin mereka tanpa tahu faktanya gimana. Sampai pernah suatu hari temen gue bilang “Eh si ini cuma kerja seminggu abis itu cabut”. Setelah gue tahu, dia nggak cabut. Tapi punya hal lain yang harus dia urus. Urusan itu terjadi tiap minggu dan dia kerja selama berbulan-bulan. Jadi dia harus bolak-balik ngurusin urusan dia sambil kerja. Like seriously, gue nggak bakal tahu kalo gue nggak nyari tau or dia cerita soal itu.

Gue pernah dengar dari seseorang bahwa gue termasuk “not a type of person I can hangout with”. Mungkin sama kayak mereka ngelihat gue, or gue ngelihat mereka. Tapi, buat nyari ilmu sih, why not? Banyak hal yang bisa dipetik dari seseorang. Siapapun. Even from the cool kids you think they don’t know anything.

Kejadian itu adalah contoh nyata dan menjadi bukti bahwa “gue itu bodoh”. Namun, seseorang pernah bilang bahwa jangan menyebut diri kita bodoh. Artinya gue nggak bisa menghargai diri sendiri. Nah. Untuk sekarang, bukan berarti gue nggak mengapresiasi diri. Ada waktunya untuk itu. Merasa sadar bahwa kita itu bodoh juga perlu. Supaya nggak merasa hebat. Supaya merasa kurang terhadap ilmu. Supaya mau belajar terus-menerus. Supaya nggak meremehkan orang lain.


Ada sebuah kutipan yang gue suka, tapi maaf entah dari siapa:

“Kosongkan dulu gelasmu ketika bertemu orang baru”.



Artinya, jangan sok. Dengerin. Belajar.


Thursday, March 7, 2019

Catatan Singkat Tentang Manajemen Emosi

10:37 AM 1
Catatan Singkat Tentang Manajemen Emosi


Emosi, dalam konteks marah adalah hal yang paling bisa gue lakuin. Pertama, mungkin karena gue pernah jadi anggota Paskibra. Menjadi partner Komisi Disiplin yang bertugas sebagai center ketika pressing. Membuat gue mengenal dekat ‘marah-marah’ itu seperti apa. Kedua, mungkin karena alasan lingkungan keluarga. Ayah gue orang militer. Terbiasa disiplin dan tegas. Kalo dimarahin ayah, gue cuma bisa kicep. Tapi bukan berarti dia otoriter. Ayah selalu kasih space untuk gue membela diri. Open dialogue. Sebaliknya, fyi Mama lebih sabar dan kalem. Pandai menahan.

Mungkin karakter gue ada di tengah-tengah. Antara ayah dan mama. Kadang hati gue sakit denger omongan orang tentang gue. Apalagi yang nggak bener, yang menyinggung prinsip, yang membercandakan sesuatu yang mengandung value buat gue, dan yang sok tau. Tapi gue bisa memaklumi. Mungkin begitu cara orang-orang mengakrabkan diri. Sayangnya, nggak semuanya bisa gue tahan. Ada beberapa hal yang mudah menyulut emosi dan gue memilih untuk membuang emosi itu kembali supaya nggak jadi endapan di hati gue. Males manajemennya. Ribet. Jadi gue buang rasa-rasa mengganggu itu dengan 1) marah atau 2) nangis.

Dulu gue suka marah-marah. Lebih ekspresif lah dibanding sekarang. Kalo ngomong nyablak dan apa adanya. Ternyata itu bisa melukai orang lain. Gue baru sadar banget setelah ada orang-orang yang ngingetin gue bahwa kita juga hidup berdampingan dengan orang lain. Terima kasih kepada siapapun itu. So, I realized that my words cut deeper than a knife. Kayak lagunya Shawn Mendes. Not only my words. Your words too, guys! Untuk sekarang, gue nggak ngerti apa cara gue dalam mengatur rasa marah sudah tepat atau belum. Namun sepertinya udah lebih baik. Nggak jor-joran. Abis ngerasa kecewa langsung mengekspresikannya. Gue diemin dulu bentar. Nanti kalo udah waktunya keluar, gue keluarin.

Perkara nangis, gue juga paling jago. Temen-temen bilang gue cengeng. Kalo gue boleh membela diri, gue akan bilang itu adalah upaya untuk nggak menimbun elemen negatif yang mungkin bisa jadi alasan gue buat depresi. Habis nangis syaratnya satu. Tidur. Ajaibnya, gue pasti bangun dengan perasaan lebih baik. Bisa berpikir jernih dan rasional. Emosi negatifnya ikut luntur dengan air mata. Lalu gue pasti akan kesulitan untuk menceritakan kembali alasan gue nangis. Karena semua terasa menguap begitu saja.

Ada yang bilang nangis cuma buat orang yang baperan. Padahal, menurut gue buat apa Tuhan menciptakan manusia punya perasaan. Buat apa ada rasa kecewa, marah, sedih, dan teman-temannya kalau hal itu nggak seharusnya kita rasain. Ibaratnya, emosi-emosi ini yang membedakan kita, manusia dengan mesin.

Gue juga nggak setuju dengan kutipan “Boys don’t cry”. Nggak semua cowok yang nangis itu pantas disebut banci. Mereka juga punya hak buat meluapkan emosinya. Seolah dunia ini kita setting dengan batas-batas hal yang boleh dan nggak boleh dilakukan oleh gender tertentu. Dalam konteks yang positif, rasanya setiap manusia yang diberi akal dan perasaan berhak menggunakannya sebagaimana porsinya. Asal ada alasan. Lalu disampaikan dengan cara yang elegan. Marah nggak selalu bisa dibilang kasar dan emosian, bisa jadi memang ada alasan di balik itu. Pun menangis. Nggak melulu dikaitkan dengan kata ‘lemah’ karena pada kasus gue, itu adalah kegiatan gue untuk menguatkan diri dan berpikir lebih rasional. Setiap orang punya caranya sendiri untuk memanajemen emosi. Segera cari tau, kawan.

Tuesday, March 5, 2019

Belajar Bahasa Inggris Udah Nggak Penting Lagi

11:15 AM 1
Belajar Bahasa Inggris Udah Nggak Penting Lagi


Memang.
Belajar Bahasa Inggris udah nggak penting lagi. Karena sesungguhnya kemampuan berbahasa inggris itu mutlak dimiliki.

Mostly, persyaratan lamaran pekerjaan mengharuskan pelamar mempunyai kemampuan bahasa inggris. Syarat kemampuan bahasa inggris ini dibutuhkan di semua level, mulai entry staff level, senior staff, coordinator, supervisor, Manajer Departemen hingga level chief.

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Education First (EF) tentang indeks kecakapan bahasa Inggris, peringkat Indonesia tahun 2017 turun dari tingkat kemahiran menengah menjadi peringkat 13 (tingkat kemahiran rendah) dari 21 negara di Asia atau setara di peringkat 55 dari 88 negara. Masih dari penelitian yang sama.

Rata-rata nilai kecakapan Bahasa Inggris negara Asia adalah 53,60. Sedangkan nilai rata-rata kecakapan Bahasa Inggris di Indonesia adalah 52,15. Angka ini masih di bawah rata-rata. Posisinya jauh di bawah Singapura dengan nilai 68,63 (tingkat kemahiran very high proficiency). Lalu diikuti oleh Malaysia dengan nilai 58,32 (tingkat kemahiran tinggi) dan Philipina dengan nilai 61,84 (tingkat kemahiran tinggi). Bahkan Indonesia masih di bawah Vietnam yang memperoleh nilai 53,12 (tingkat kemahiran menengah).

Negara dengan kemampuan Bahasa Inggris tingkat rendah menunjukkan kemampuan bangsa tersebut masih dalam tahap mengonsumsi dan belum mampu melakukan negosiasi, mediasi atau melobi, bahkan berkompetisi dengan negara lain dalam Bahasa Inggris. Negara-negara dengan tingkat kemahiran Bahasa Inggris yang tinggi, cenderung memiliki pendapatan rata-rata lebih tinggi, kualitas hidup lebih baik, serta investasi yang lebih besar dalam bidang penelitian dan pengembangan. Nanti di tahun 2030 ketika Indonesia mengalami bonus demografi, ada 60% anak muda dari total populasi. Bayangkan saja ketika saat itu tiba, lalu SDM kita masih belum siap mengisi tenaga profesional di berbagai bidang karena salah satunya terkendala bahasa.

Salah satu mindset yang sering banget gue temui di kalangan temen-temen gue sendiri, yang bisa jadi sample adalah mindset ‘mencintai bahasa’. Bahasa Inggris dianggap tak seharusnya ‘menggantikan’ Bahasa Indonesia. Mereka yang berlatih berbahasa inggris selalu dapat cibiran mengesampingkan Bahasa Indonesia dan tidak mencintai negara. Terutama di lingkup orang-orang berpikiran terbelakang. Padahal siapa yang tidak mencintai negara.

Belajar bahasa asing adalah pelengkap untuk meng-upgrade diri. Tidak sepatutnya dibilang nggak nasionalis. Karena justru yang sedang kami lakukan adalah upaya nyata membangun Indonesia. Biar nggak terbelakang. Biar bisa negosiasi di kancah internasional. Biar bisa membela kalau kita dijajah asing. Anggapan-anggapan seperti ini yang sering menjadi barrier bagi teman-teman yang lagi struggling belajar bahasa inggris kemudian jadi nggak pede ngomong di depan publik.

Mikir.

Di dunia yang makin keras ini, lo cuman punya kemampuan Bahasa Inggris rasanya nggak cukup men. Itu hal yang biasa. Bahkan justru wajib. Jika temen-temen yang baca ini masih pada stigma nggak pede, yang lebih parah nggak mau belajar, aduh mending sembunyi deh di lemari. Gue bukannya merendahkan. Tapi nyoba buat ngingetin bahwa kemampuan Bahasa Inggris yang diajarin sedari SD sampe SMA itu harusnya udah cukup buat lo bisa punya kemampuan itu. Dua belas tahun belajar. Nggak perlu lah nunggu punya aksen-aksen gitu. Yang penting mau speak up.

Kembali ke konteks perusahaan. Gue punya kenalan di sebuah perusahaan besar konsultan HRD. Dia bilang Bahasa Inggris itu mutlak, bahasa asing lain adalah nilai plus. Artinya nggak cukup cuman punya kemampuan Bahasa Inggris aja. Nilai plus baru akan muncul ketika kita punya kemampuan berbahasa asing lainnya. Misalnya Bahasa Mandarin, Jerman, or it could be anything.

Jujur. Dulu gue nggak punya kemauan besar buat belajar bahasa. Sampai ada dalam perjalanan gue yang ngerasa minder. Apalagi pas ketemu orang baru yang pinter-pinter. Jago negosiasi. Disitu gue ngerasa jadi kecil banget. Tapi perjuangan nggak boleh berhenti sampai disana kan? Start to learn. Belum terlambat. Setidaknya dengan belajar bahasa asing, lo nggak akan gampang ketipu orang. Pikiran jadi terbuka dan kritis. Dan serius. Kinerja otak akan lebih lebih kalo kita terbiasa berpikir secara bilingual or multilingual. Kapasitas otak bakal makin melebar.

Jadi, again. Belajar Bahasa Inggris udah nggak penting. Karena itu hal mendasar di era yang semakin 'keras' ini.

Monday, March 4, 2019

Menghindari Realita

10:18 AM 0
Menghindari Realita



Awalnya gue ngerasa ini efek dari nonton Youtube Channel: Jurnal Risa. Seru banget plus serem. Gue sempat mikir apa ada makhluk halus yang naik ke pundak gue. Nembus dari layar hape ke tempat gue berada. Mungkin juga gara-gara nonton video Mbak Risa (sok akrab), ada makhluk-makhluk yang ikut nonton bareng. Ngikutin kemana-mana. Karena pundak dan kaki gue rasanya capek banget. Berat.

Jam tidur gue lebih dari cukup. Gue tidur jam sebelas malam. Bangun jam setengah lima pagi. Harusnya jam tidur tersebut udah sangat cukup di umur gue yang mau menginjak dua puluh dua tahun ini. Or else, kadang gue tidur lebih awal. Sekitar jam sepuluh dan bangun di jam yang sama. Nggak tau kenapa rasanya ngantuk banget. Kalo gue menyerah, biasanya gue akan tidur lagi sebentar setelah sholat subuh which is sebenernya kurang baik. Dulu gue bisa tidur jam sepuluh, bangun jam setengah tiga pagi untuk sholat tahajud. Kemudian lanjut ngerjain sesuatu sampai subuh. Lalu beraktivitas sebagaimana mestinya. Sekarang? Boro-boro deh.

Bangun tidur pun nggak terasa fresh. Memang. Kualitas tidur nggak ditentukan dari seberapa lama kita tidur. Ya namanya aja kualitas. Beda dengan kuantitas. Jadi ya kerjaan gue tidur-bekerja-capek-tidur-capek. Intinya gue ngerasa selalu capek.

Suatu hari gue ketemu pacar temen gue. Anak lulusan psikologi. Belum jadi psikolog. Tapi dia lumayan ngerti soal psikis dan tetek bengeknya. Dia bilang gue lagi ada “gangguan”. Aura menjadi redup dan gue emang kelihatan capek. Seberapapun keras gue mencoba menutupinya. Dia bilang gue lagi banyak pikiran. Berkecamuk. Terlalu banyak hal yang gue mikirin matang-matang, karena tanpa sadar gue menjadi lebih perfeksionis dari the old version of me. Efeknya ngaruh ke badan gue yang berasa kek ditunggangi makhlus halus tadi. Berat dan capek sekujur badan.

Sedangkan perspektif gue mengatakan tentang kegabutan yang menghampiri hari-hari gue. Bayangin aja. Semester I dan II kuliah, gue punya banyak kesibukan. Mulai dari bisnis yang gue rintis (handmade, jadi pasti menyita waktu), kuliah selalu 24 SKS, ada dua organisasi yang gue urus (AIESEC dan Ei Lab), dan chill juga tetep jalan. Walaupun untuk poin terakhir gue nggak terlalu suka sih. Semester selanjutnya pun begitu.

Sekarang gue semester delapan. Ekpektasi gue untuk lulus semester ini sangat besar. Kalau bisa bisnis yang gue pause selama—alamak—tiga tahun itu bisa gue jalankan kembali. Kerjaan gue cuma ngerjain skripsi dan sisa-sisa power di organisasi. Itupun sudah gue bangun sistemnya sehingga yang mengeksekusi adalah tim gue. Bukan gue seorang diri. Bisa gue bilang, gue cukup gabut untuk dibilang banyak pikiran. Terlebih lagi gue selalu punya waktu buat ngobrol, main monopoli, nonton video-video di Youtube dan explore Instagram dengan waktu yang tidak terkontrol.

Tapi.

Sepertinya argumen tadi salah besar. Gue nggak gabut. Gue cuma sedang menghindari kenyataan. Yang mulai pahit.

Di postingan sebelumnya, gue nulis tentang possible nggak sih millennials punya rumah? Saat itu gue sangat menyadari tuntutan hidup yang lebih tinggi dan menekan. Walaupun nggak ada juga sih yang menuntut. Datang dari diri gue sendiri. Dan itu sudah pasti nyebelin.

Ternyata gue nggak gabut. Karena waktu malam gue sadar banyak banget yang belum gue kerjakan. Misalnya skripsi yang nggak berkembang sama sekali. Beban mikir strategi juga belum digarap. Konten di sosmed Kanggo Tresno (nama bisnis gue yang vakum selama 3 tahun) yang nggak nambah juga. Persiapan S2 apa kabar? Ish, katanya mau belajar practical skill? Isi kantong yang makin menipis. Hal-hal lain yang belum mau gue ceritain disini. Ah, banyak ternyata. Di fase ini biasanya gue cuma bisa nyesel kenapa malah main monopoli, kenapa malah ngobrol, kenapa malah kenapa malah lainnya.

Kata Putu (nama temen lulusan psikologi tadi), gue sedang butuh waktu sendiri. Butuh waktu. Butuh ruang juga. Butuh me time.

Gue pribadi sebetulnya sudah merasa menyisihkannya. Dengan garis bawah: secara tidak bijak. Sudah cukup gue memutuskan untuk langganan paket premium Netflix untuk gue tonton setiap akhir pekan. Ada Viu juga yang nemenin gue refreshing dengan video-video Park Naeun dkk di serial The Return of Superman. Kayaknya porsi nonton video di Youtube juga nggak kurang-kurang. Mungkin ini representatif dari “penghindaran realita” itu. Menolak fakta bahwa gue harus perform. Lalu seolah alam bawah sadar gue nggak ingin merespon fakta itu. Alhasil gue gini-gini aja.

Lantas kenapa gue masih merasa capek dan sumpek? Capek di pikiran itu kemudian menyalur ke badan. Bikin gue gampang ngantuk even gue olahraga.

Oke. Gue resapi ini sebagai tahap “pendewasaan pola pikir”. Makin kita tumbuh, makin banyak yang harus dipikirkan. Tapi apakah sepertinya gue belum siap untuk menerima tuntutan itu? Lantas apa yang bisa membuat gue kembali bersemangat dan bergairah seperti sedia kala?

Putu pernah bilang, “Nggak masalah kalo lo mau main games, nonton film, dan ngelakuin kegiatan fun lainnya di jam kerja yang lo bilang. Konsekuensinya, lo harus ganti dengan jam tidur. Kalo nggak mau jam tidur berkurang, ya lo ngga perlu ngelakuin hal-hal kayak gitu.”

Kalo kata Fourtwnty dalam lirik lagunya:

Nafsu dulu baru logika
Tinta biru tinggal cerita
Realita


Kalo gue ngerasa masih belum bisa bekerja secara efektif dan efisien. Sekarang. Setidaknya menurun. Kayaknya dulu gue baik-baik aja. Entah waktu itu magic-nya apa. Huft gregetan sekali.

Gimana nih menurut kalian?