Awalnya gue ngerasa ini efek dari nonton Youtube Channel: Jurnal Risa. Seru banget plus serem. Gue sempat mikir apa ada makhluk halus yang naik ke pundak gue. Nembus dari layar hape ke tempat gue berada. Mungkin juga gara-gara nonton video Mbak Risa (sok akrab), ada makhluk-makhluk yang ikut nonton bareng. Ngikutin kemana-mana. Karena pundak dan kaki gue rasanya capek banget. Berat.
Jam tidur gue lebih dari cukup.
Gue tidur jam sebelas malam. Bangun jam setengah lima pagi. Harusnya jam tidur tersebut
udah sangat cukup di umur gue yang mau menginjak dua puluh dua tahun ini. Or
else, kadang gue tidur lebih awal. Sekitar jam sepuluh dan bangun di jam yang
sama. Nggak tau kenapa rasanya ngantuk banget. Kalo gue menyerah, biasanya gue
akan tidur lagi sebentar setelah sholat subuh which is sebenernya kurang baik. Dulu gue bisa tidur jam sepuluh,
bangun jam setengah tiga pagi untuk sholat tahajud. Kemudian lanjut ngerjain sesuatu sampai subuh. Lalu beraktivitas sebagaimana mestinya. Sekarang? Boro-boro deh.
Bangun tidur pun nggak terasa fresh. Memang. Kualitas tidur nggak
ditentukan dari seberapa lama kita tidur. Ya namanya aja kualitas. Beda dengan kuantitas.
Jadi ya kerjaan gue tidur-bekerja-capek-tidur-capek. Intinya gue ngerasa selalu
capek.
Suatu hari gue ketemu pacar temen
gue. Anak lulusan psikologi. Belum jadi psikolog. Tapi dia lumayan ngerti soal psikis
dan tetek bengeknya. Dia bilang gue
lagi ada “gangguan”. Aura menjadi redup dan gue emang kelihatan capek.
Seberapapun keras gue mencoba menutupinya. Dia bilang gue lagi banyak pikiran.
Berkecamuk. Terlalu banyak hal yang gue mikirin matang-matang, karena tanpa
sadar gue menjadi lebih perfeksionis dari the
old version of me. Efeknya ngaruh ke badan gue yang berasa kek ditunggangi makhlus halus tadi. Berat dan capek sekujur badan.
Sedangkan perspektif gue
mengatakan tentang kegabutan yang menghampiri hari-hari gue. Bayangin aja.
Semester I dan II kuliah, gue punya banyak kesibukan. Mulai dari bisnis yang
gue rintis (handmade, jadi pasti
menyita waktu), kuliah selalu 24 SKS, ada dua organisasi yang gue urus (AIESEC
dan Ei Lab), dan chill juga tetep
jalan. Walaupun untuk poin terakhir gue nggak terlalu suka sih. Semester
selanjutnya pun begitu.
Sekarang gue semester delapan. Ekpektasi
gue untuk lulus semester ini sangat besar. Kalau bisa bisnis yang gue pause selama—alamak—tiga tahun itu bisa
gue jalankan kembali. Kerjaan gue cuma ngerjain skripsi dan sisa-sisa power di organisasi. Itupun sudah gue
bangun sistemnya sehingga yang mengeksekusi adalah tim gue. Bukan gue seorang
diri. Bisa gue bilang, gue cukup gabut untuk dibilang banyak pikiran. Terlebih
lagi gue selalu punya waktu buat ngobrol, main monopoli, nonton video-video di
Youtube dan explore Instagram dengan
waktu yang tidak terkontrol.
Tapi.
Sepertinya argumen tadi salah
besar. Gue nggak gabut. Gue cuma sedang menghindari kenyataan. Yang mulai pahit.
Di postingan sebelumnya, gue
nulis tentang possible nggak sih
millennials punya rumah? Saat itu gue sangat menyadari tuntutan hidup yang
lebih tinggi dan menekan. Walaupun nggak ada juga sih yang menuntut. Datang
dari diri gue sendiri. Dan itu sudah pasti nyebelin.
Ternyata gue nggak gabut. Karena
waktu malam gue sadar banyak banget yang belum gue kerjakan. Misalnya skripsi
yang nggak berkembang sama sekali. Beban mikir strategi juga belum digarap. Konten
di sosmed Kanggo Tresno (nama bisnis gue yang vakum selama 3 tahun) yang nggak
nambah juga. Persiapan S2 apa kabar? Ish, katanya mau belajar practical skill? Isi kantong yang makin menipis. Hal-hal lain yang belum mau gue
ceritain disini. Ah, banyak ternyata. Di fase ini biasanya gue cuma bisa nyesel
kenapa malah main monopoli, kenapa malah ngobrol, kenapa malah kenapa malah
lainnya.
Kata Putu (nama temen lulusan
psikologi tadi), gue sedang butuh waktu sendiri. Butuh waktu. Butuh ruang juga.
Butuh me time.
Gue pribadi sebetulnya sudah merasa
menyisihkannya. Dengan garis bawah: secara tidak bijak. Sudah cukup gue
memutuskan untuk langganan paket premium Netflix untuk gue tonton setiap akhir
pekan. Ada Viu juga yang nemenin gue refreshing
dengan video-video Park Naeun dkk di serial The Return of Superman. Kayaknya porsi nonton video di Youtube juga
nggak kurang-kurang. Mungkin ini representatif dari “penghindaran realita” itu.
Menolak fakta bahwa gue harus perform. Lalu seolah alam bawah sadar gue nggak ingin merespon fakta itu. Alhasil gue gini-gini aja.
Lantas kenapa gue masih merasa
capek dan sumpek? Capek di pikiran itu kemudian menyalur ke badan. Bikin gue
gampang ngantuk even gue olahraga.
Oke. Gue resapi ini sebagai tahap “pendewasaan
pola pikir”. Makin kita tumbuh, makin banyak yang harus dipikirkan. Tapi apakah
sepertinya gue belum siap untuk menerima tuntutan itu? Lantas apa yang bisa
membuat gue kembali bersemangat dan bergairah seperti sedia kala?
Putu pernah bilang, “Nggak
masalah kalo lo mau main games,
nonton film, dan ngelakuin kegiatan fun lainnya
di jam kerja yang lo bilang. Konsekuensinya, lo harus ganti dengan jam tidur.
Kalo nggak mau jam tidur berkurang, ya lo ngga perlu ngelakuin hal-hal kayak
gitu.”
Kalo kata Fourtwnty dalam lirik
lagunya:
Nafsu dulu baru logikaTinta biru tinggal ceritaRealita
Kalo gue ngerasa masih belum bisa bekerja secara efektif dan efisien. Sekarang. Setidaknya menurun. Kayaknya dulu gue baik-baik aja. Entah waktu itu magic-nya apa. Huft gregetan sekali.
Gimana nih menurut kalian?
No comments:
Post a Comment