Beberapa waktu belakangan, gue coba iseng sharing di
Instagram gue tentang profesionalitas versi gue. Gue Cuma menyimpulkan dari pengalaman gue dalam
mengelola kehidupan sosial dan keorganisasian gue selama kuliah. Yah, kira-kira
selama 2 th kebelakang lah. Lalu tanpa gue sangka-sangka ternyata feedback yang
gue dapet banyak banget dari snapgram yang gue share tersebut. Gue jadi berpikir
untuk membahas ini lebih dalam lagi.
Biasanya profesionalitas identik dengan bagaimana kita
mengelola something based on its priority. Nah prioritas itu tergantung dengan
bobot dan tingkat urgency-nya. Oke, intinya profesionalitas yang gue percayai
selama ini identik dengan the way you pick some condition based on its priority
and urgency. From the highest to the lowest scale of it. Namun, makin lama gue
ngerasa bahwa profesionalitas itu nggak cuma sekedar gimana gue mengerjakan
sesuatu berdasarkan kedua hal di atas. Ada beberapa hal lain yang bisa gue ceritain
disini as my conclusion selama sepak terjang gue berkehidupan sebagai makhluk
sosial.
Karena gue masih anak kemaren sore dan masih mahasiswa. Gue bakal
pake perspektif mahasiswa buat ceritain ini.
Mahasiswa kan identik dengan segudang kegiatan. Kadang kita
ngerasa stres banget kalo satu pekerjaan belum selesai atau ngalamin suatu
kendala. Nah, biasanya ketika masalah yang ini belom kelar, dateng lagi masalah
yang lain. Numpuk. Banyak. Trus nggak kelar-kelar. Belom lagi tuntutan hidup
daaan masalah lain-lainnya. Nah, disini butuh banget yang namanya manajemen stress.
Ini yang gue bilang merupakan aspek profesionalitas versi gue. Mengapa penting?
Biar kita nggak mencampur-adukkan segala masalah. Kalo ada kendala di
organisasi A misal, jangan sampe kita bawa-bawa itu ke lain-lain tempat. Yang
ada kita cuma bakal nyebarin masalah yang sama ke tempat lain. Bukannya kelar,
eh malah bikin masalah. That’s so damn bad!
Selain itu ada tingkatan yang lebih tinggi lagi tentang
profesionalitas ini. Gue sebut sebagai manajemen hati, yaitu nggak
mencampur-adukkan masalah kerjaan dengan masalah personal. Most of my friend
said that was so difficult to be implemented. Contohnya ketika kita nggak suka
sama cara kerja rekan kita, yaudah. Bukan berarti ntar pas ke kantin kita nggak
mau satu meja sama dia kan? Atau sebaliknya. Ketika kita ngrasa nggak cocok
sama personality orang lain, bukan berarti kita punya hak untuk mengintimidasi
dia di tempat kerja kan? Semua itu ada batas-batasnya.
Mungkin ini bakal susah untuk diimplementasi, tapi really,
sebenernya konsepnya ringan banget. Kita harus mulai yakin dan start to think
that :
“What happens here stays here.”
That’s the one and only rule yang berhasil banget gue terapin.
Mungkin beberapa temen gue ngerasa sulit karena emang belom terbiasa. Mungkin
sulit karena kita masih berpegang teguh pada ego kita masing-masing. Disini perlu banget yang namanya skill bermain peran. Salah satu indikasi diri kita punya skill leadership adalah bisa bermain peran. Pretend like nothing happen di tempat sebelah padahal di tempat sebelahnya lagi ampe pusing nangis-nangis. Tapi, dengan begitu, percaya deh. Kadar stres dalam otak kita tuh nggak akan berkembang biak.
Yaaa intinya profesionalitas itu juga terkait sama
batas-batas tertentu. Nggak semua hal bisa dibawa-bawa ke hal lain. Nggak semua
yang salah di satu sisi bakal salah di sisi lainnya. Yang ada kita sendiri yang
hancur. Hancur di semua sisi.
Terakhir, manajemen hati dalam sikap profesional termasuk
offensing di dalamnya. Gue baru sadar kalo itu termasuk dalam asas-asas
profesionalitas versi gue right before gue nulis postingan ini sih. Gue sering
banget dikira marah-marah sama temen gue karena sikap yang gue anggep sebagai
suatu ketegasan alih-alih suatu kemarahan. Jadi, hati-hati buat kita-kita yang
punya sikap tegas. Kadang orang lain menganggap ketegasan itu sebagai sebuah
kemarahan. Niatnya negasin eh ditangkepnya lagi marah-marah.
Kan komunikasi itu disebut komunikasi kalo ada pengirim
informasi (speaker) dan penerima informasi (listener). Ada 2 kemungkinan sih
disini. Si speaker ngomongnya kurang pas
atau listenernya terlalu offensing ke informasi yang didapet. Wah cukup
susah sih. Si speaker mungkin niatnya ngomong ke 1 orang aja. Eh, orang lain yang nangkep info yang sama merasa info tersebut nggak cocok sama dia. Muncullah kalimat "Lah kok gitu sih?". Because sometimes offensing comes from your deeply mind yang too far in processing information aja kok. Bahasa gaulnya baper. Nah, most of people
biasanya kurang memilah konteksnya, berpikiran sempit, dan terlalu percaya apa
yang dia anggap benar padahal belum tentu. Intinya perlu pengertian dari kedua
belah pihak sih. Speakernya kudu tau karakteristik listenernya dan listenernya
ini harus tau dalam konteks apa sih si speaker itu ngomong demikian.
Nah, beberapa hal di atas itu yang gue simpulkan sebagai
aspek dari profesionalisme. Tetep. Versi gue. Karena jelas pengalaman yang kita
dapet beda. Kalopun sama, perjalanannya pasti beda. Jadi ini bukan kesimpulan
mutlak. Karena gue cuma anak kemaren sore, bukan ahli. Thanks for reading J