March 2019 - Lagi Monolog

Monday, March 11, 2019

Sama Sekali Nggak Hebat

9:09 AM 0
Sama Sekali Nggak Hebat



Sadar. Lo nggak hebat. Jangan sok.
_____

Disclaimer: Tulisan ini dibuat tidak dengan tujuan untuk menyindir siapapun. Baca hingga selesai untuk mendapatkan isi tulisan yang utuh. 


Akhir-akhir ini gue ‘nongkrong’ sama temen-temen yang dulu waktu masih sibuk kuliah, gue sebut “cool kids”. Sumpah ya. Mindblowing banget. Kita banyak ngomongin fenomena bisnis terkini. Mereka pun nanggepin dengan ngasih insight-insight baru buat gue. Cukup menarik gimana dulu waktu kuliah gue selalu sebel kalo dapet anggota kelompok salah satu dari mereka.

Oke. Kali ini gue nggak ngomong soal how good enough I am karena sudah bisa ‘nongkrong’ bareng cool kids. Tapi, buat ngingetin bahwa seringkali yang kita lihat dengan mata telanjang adalah sesuatu yang nggak bener-bener terjadi, bahwa kita harus selalu belajar dari siapapun dan sebarkan kepada siapapun, bahwa kita tuh nggak sehebat yang kita kira. Sebagai manusia yang banyak kurangnya, mari belajar.

Now jump to the story. Sebut saja ia prinses. Untuk golongan orang nerdy kayak gue ini sama sekali nggak masuk ke topik pembicaraan prinses yang saat itu ‘keliatannya’ suka main, sombong, pokoknya susah digapai lah. Nah gue berada di lingkungan yang betul-betul beda sama nih anak. Kemudian gue secara sengaja—nggak sengaja ikutan memperbincangkan si prinses dan segala hal tentangnya. Kadang gue ikutan nanggepin kalo hal itu ada sangkut pautnya dengan gue, kadang gue dengerin aja. Akhir-akhir ini gue betul-betul sadar kalo situasi “ngomongin” kayak gitu toxic banget. Walaupun udah lama sadar, daridulu gue nggak pernah mengambil tindakan buat mengurangi nor menghindari itu.

Entah bagaimana, setelah lama nggak sekelas, gue dan segerombolan prinses bisa duduk bareng. Ngerjain sesuatu. Bareng. 

Bayangin. 

Bareng.

Ternyata mereka baik banget. Peduli sesama. Bahkan sampai nanyain kabar temen-temen lama kita satu-persatu. Lalu ikutan nostalgia jaman masih sibuk kuliah. Nggak cuma itu. Mereka juga cerdas menyikapi hal-hal yang lagi happening di luar sana. Ada banyak hal yang mereka ketahui, daripada gue—orang yang mereka anggap paling ngerti soal topik itu.

Pertemuan itu ngubah perspektif banget. Bisa-bisanya dulu gue ngomongin mereka tanpa tahu faktanya gimana. Sampai pernah suatu hari temen gue bilang “Eh si ini cuma kerja seminggu abis itu cabut”. Setelah gue tahu, dia nggak cabut. Tapi punya hal lain yang harus dia urus. Urusan itu terjadi tiap minggu dan dia kerja selama berbulan-bulan. Jadi dia harus bolak-balik ngurusin urusan dia sambil kerja. Like seriously, gue nggak bakal tahu kalo gue nggak nyari tau or dia cerita soal itu.

Gue pernah dengar dari seseorang bahwa gue termasuk “not a type of person I can hangout with”. Mungkin sama kayak mereka ngelihat gue, or gue ngelihat mereka. Tapi, buat nyari ilmu sih, why not? Banyak hal yang bisa dipetik dari seseorang. Siapapun. Even from the cool kids you think they don’t know anything.

Kejadian itu adalah contoh nyata dan menjadi bukti bahwa “gue itu bodoh”. Namun, seseorang pernah bilang bahwa jangan menyebut diri kita bodoh. Artinya gue nggak bisa menghargai diri sendiri. Nah. Untuk sekarang, bukan berarti gue nggak mengapresiasi diri. Ada waktunya untuk itu. Merasa sadar bahwa kita itu bodoh juga perlu. Supaya nggak merasa hebat. Supaya merasa kurang terhadap ilmu. Supaya mau belajar terus-menerus. Supaya nggak meremehkan orang lain.


Ada sebuah kutipan yang gue suka, tapi maaf entah dari siapa:

“Kosongkan dulu gelasmu ketika bertemu orang baru”.



Artinya, jangan sok. Dengerin. Belajar.


Thursday, March 7, 2019

Catatan Singkat Tentang Manajemen Emosi

10:37 AM 1
Catatan Singkat Tentang Manajemen Emosi


Emosi, dalam konteks marah adalah hal yang paling bisa gue lakuin. Pertama, mungkin karena gue pernah jadi anggota Paskibra. Menjadi partner Komisi Disiplin yang bertugas sebagai center ketika pressing. Membuat gue mengenal dekat ‘marah-marah’ itu seperti apa. Kedua, mungkin karena alasan lingkungan keluarga. Ayah gue orang militer. Terbiasa disiplin dan tegas. Kalo dimarahin ayah, gue cuma bisa kicep. Tapi bukan berarti dia otoriter. Ayah selalu kasih space untuk gue membela diri. Open dialogue. Sebaliknya, fyi Mama lebih sabar dan kalem. Pandai menahan.

Mungkin karakter gue ada di tengah-tengah. Antara ayah dan mama. Kadang hati gue sakit denger omongan orang tentang gue. Apalagi yang nggak bener, yang menyinggung prinsip, yang membercandakan sesuatu yang mengandung value buat gue, dan yang sok tau. Tapi gue bisa memaklumi. Mungkin begitu cara orang-orang mengakrabkan diri. Sayangnya, nggak semuanya bisa gue tahan. Ada beberapa hal yang mudah menyulut emosi dan gue memilih untuk membuang emosi itu kembali supaya nggak jadi endapan di hati gue. Males manajemennya. Ribet. Jadi gue buang rasa-rasa mengganggu itu dengan 1) marah atau 2) nangis.

Dulu gue suka marah-marah. Lebih ekspresif lah dibanding sekarang. Kalo ngomong nyablak dan apa adanya. Ternyata itu bisa melukai orang lain. Gue baru sadar banget setelah ada orang-orang yang ngingetin gue bahwa kita juga hidup berdampingan dengan orang lain. Terima kasih kepada siapapun itu. So, I realized that my words cut deeper than a knife. Kayak lagunya Shawn Mendes. Not only my words. Your words too, guys! Untuk sekarang, gue nggak ngerti apa cara gue dalam mengatur rasa marah sudah tepat atau belum. Namun sepertinya udah lebih baik. Nggak jor-joran. Abis ngerasa kecewa langsung mengekspresikannya. Gue diemin dulu bentar. Nanti kalo udah waktunya keluar, gue keluarin.

Perkara nangis, gue juga paling jago. Temen-temen bilang gue cengeng. Kalo gue boleh membela diri, gue akan bilang itu adalah upaya untuk nggak menimbun elemen negatif yang mungkin bisa jadi alasan gue buat depresi. Habis nangis syaratnya satu. Tidur. Ajaibnya, gue pasti bangun dengan perasaan lebih baik. Bisa berpikir jernih dan rasional. Emosi negatifnya ikut luntur dengan air mata. Lalu gue pasti akan kesulitan untuk menceritakan kembali alasan gue nangis. Karena semua terasa menguap begitu saja.

Ada yang bilang nangis cuma buat orang yang baperan. Padahal, menurut gue buat apa Tuhan menciptakan manusia punya perasaan. Buat apa ada rasa kecewa, marah, sedih, dan teman-temannya kalau hal itu nggak seharusnya kita rasain. Ibaratnya, emosi-emosi ini yang membedakan kita, manusia dengan mesin.

Gue juga nggak setuju dengan kutipan “Boys don’t cry”. Nggak semua cowok yang nangis itu pantas disebut banci. Mereka juga punya hak buat meluapkan emosinya. Seolah dunia ini kita setting dengan batas-batas hal yang boleh dan nggak boleh dilakukan oleh gender tertentu. Dalam konteks yang positif, rasanya setiap manusia yang diberi akal dan perasaan berhak menggunakannya sebagaimana porsinya. Asal ada alasan. Lalu disampaikan dengan cara yang elegan. Marah nggak selalu bisa dibilang kasar dan emosian, bisa jadi memang ada alasan di balik itu. Pun menangis. Nggak melulu dikaitkan dengan kata ‘lemah’ karena pada kasus gue, itu adalah kegiatan gue untuk menguatkan diri dan berpikir lebih rasional. Setiap orang punya caranya sendiri untuk memanajemen emosi. Segera cari tau, kawan.

Tuesday, March 5, 2019

Belajar Bahasa Inggris Udah Nggak Penting Lagi

11:15 AM 1
Belajar Bahasa Inggris Udah Nggak Penting Lagi


Memang.
Belajar Bahasa Inggris udah nggak penting lagi. Karena sesungguhnya kemampuan berbahasa inggris itu mutlak dimiliki.

Mostly, persyaratan lamaran pekerjaan mengharuskan pelamar mempunyai kemampuan bahasa inggris. Syarat kemampuan bahasa inggris ini dibutuhkan di semua level, mulai entry staff level, senior staff, coordinator, supervisor, Manajer Departemen hingga level chief.

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Education First (EF) tentang indeks kecakapan bahasa Inggris, peringkat Indonesia tahun 2017 turun dari tingkat kemahiran menengah menjadi peringkat 13 (tingkat kemahiran rendah) dari 21 negara di Asia atau setara di peringkat 55 dari 88 negara. Masih dari penelitian yang sama.

Rata-rata nilai kecakapan Bahasa Inggris negara Asia adalah 53,60. Sedangkan nilai rata-rata kecakapan Bahasa Inggris di Indonesia adalah 52,15. Angka ini masih di bawah rata-rata. Posisinya jauh di bawah Singapura dengan nilai 68,63 (tingkat kemahiran very high proficiency). Lalu diikuti oleh Malaysia dengan nilai 58,32 (tingkat kemahiran tinggi) dan Philipina dengan nilai 61,84 (tingkat kemahiran tinggi). Bahkan Indonesia masih di bawah Vietnam yang memperoleh nilai 53,12 (tingkat kemahiran menengah).

Negara dengan kemampuan Bahasa Inggris tingkat rendah menunjukkan kemampuan bangsa tersebut masih dalam tahap mengonsumsi dan belum mampu melakukan negosiasi, mediasi atau melobi, bahkan berkompetisi dengan negara lain dalam Bahasa Inggris. Negara-negara dengan tingkat kemahiran Bahasa Inggris yang tinggi, cenderung memiliki pendapatan rata-rata lebih tinggi, kualitas hidup lebih baik, serta investasi yang lebih besar dalam bidang penelitian dan pengembangan. Nanti di tahun 2030 ketika Indonesia mengalami bonus demografi, ada 60% anak muda dari total populasi. Bayangkan saja ketika saat itu tiba, lalu SDM kita masih belum siap mengisi tenaga profesional di berbagai bidang karena salah satunya terkendala bahasa.

Salah satu mindset yang sering banget gue temui di kalangan temen-temen gue sendiri, yang bisa jadi sample adalah mindset ‘mencintai bahasa’. Bahasa Inggris dianggap tak seharusnya ‘menggantikan’ Bahasa Indonesia. Mereka yang berlatih berbahasa inggris selalu dapat cibiran mengesampingkan Bahasa Indonesia dan tidak mencintai negara. Terutama di lingkup orang-orang berpikiran terbelakang. Padahal siapa yang tidak mencintai negara.

Belajar bahasa asing adalah pelengkap untuk meng-upgrade diri. Tidak sepatutnya dibilang nggak nasionalis. Karena justru yang sedang kami lakukan adalah upaya nyata membangun Indonesia. Biar nggak terbelakang. Biar bisa negosiasi di kancah internasional. Biar bisa membela kalau kita dijajah asing. Anggapan-anggapan seperti ini yang sering menjadi barrier bagi teman-teman yang lagi struggling belajar bahasa inggris kemudian jadi nggak pede ngomong di depan publik.

Mikir.

Di dunia yang makin keras ini, lo cuman punya kemampuan Bahasa Inggris rasanya nggak cukup men. Itu hal yang biasa. Bahkan justru wajib. Jika temen-temen yang baca ini masih pada stigma nggak pede, yang lebih parah nggak mau belajar, aduh mending sembunyi deh di lemari. Gue bukannya merendahkan. Tapi nyoba buat ngingetin bahwa kemampuan Bahasa Inggris yang diajarin sedari SD sampe SMA itu harusnya udah cukup buat lo bisa punya kemampuan itu. Dua belas tahun belajar. Nggak perlu lah nunggu punya aksen-aksen gitu. Yang penting mau speak up.

Kembali ke konteks perusahaan. Gue punya kenalan di sebuah perusahaan besar konsultan HRD. Dia bilang Bahasa Inggris itu mutlak, bahasa asing lain adalah nilai plus. Artinya nggak cukup cuman punya kemampuan Bahasa Inggris aja. Nilai plus baru akan muncul ketika kita punya kemampuan berbahasa asing lainnya. Misalnya Bahasa Mandarin, Jerman, or it could be anything.

Jujur. Dulu gue nggak punya kemauan besar buat belajar bahasa. Sampai ada dalam perjalanan gue yang ngerasa minder. Apalagi pas ketemu orang baru yang pinter-pinter. Jago negosiasi. Disitu gue ngerasa jadi kecil banget. Tapi perjuangan nggak boleh berhenti sampai disana kan? Start to learn. Belum terlambat. Setidaknya dengan belajar bahasa asing, lo nggak akan gampang ketipu orang. Pikiran jadi terbuka dan kritis. Dan serius. Kinerja otak akan lebih lebih kalo kita terbiasa berpikir secara bilingual or multilingual. Kapasitas otak bakal makin melebar.

Jadi, again. Belajar Bahasa Inggris udah nggak penting. Karena itu hal mendasar di era yang semakin 'keras' ini.

Monday, March 4, 2019

Menghindari Realita

10:18 AM 0
Menghindari Realita



Awalnya gue ngerasa ini efek dari nonton Youtube Channel: Jurnal Risa. Seru banget plus serem. Gue sempat mikir apa ada makhluk halus yang naik ke pundak gue. Nembus dari layar hape ke tempat gue berada. Mungkin juga gara-gara nonton video Mbak Risa (sok akrab), ada makhluk-makhluk yang ikut nonton bareng. Ngikutin kemana-mana. Karena pundak dan kaki gue rasanya capek banget. Berat.

Jam tidur gue lebih dari cukup. Gue tidur jam sebelas malam. Bangun jam setengah lima pagi. Harusnya jam tidur tersebut udah sangat cukup di umur gue yang mau menginjak dua puluh dua tahun ini. Or else, kadang gue tidur lebih awal. Sekitar jam sepuluh dan bangun di jam yang sama. Nggak tau kenapa rasanya ngantuk banget. Kalo gue menyerah, biasanya gue akan tidur lagi sebentar setelah sholat subuh which is sebenernya kurang baik. Dulu gue bisa tidur jam sepuluh, bangun jam setengah tiga pagi untuk sholat tahajud. Kemudian lanjut ngerjain sesuatu sampai subuh. Lalu beraktivitas sebagaimana mestinya. Sekarang? Boro-boro deh.

Bangun tidur pun nggak terasa fresh. Memang. Kualitas tidur nggak ditentukan dari seberapa lama kita tidur. Ya namanya aja kualitas. Beda dengan kuantitas. Jadi ya kerjaan gue tidur-bekerja-capek-tidur-capek. Intinya gue ngerasa selalu capek.

Suatu hari gue ketemu pacar temen gue. Anak lulusan psikologi. Belum jadi psikolog. Tapi dia lumayan ngerti soal psikis dan tetek bengeknya. Dia bilang gue lagi ada “gangguan”. Aura menjadi redup dan gue emang kelihatan capek. Seberapapun keras gue mencoba menutupinya. Dia bilang gue lagi banyak pikiran. Berkecamuk. Terlalu banyak hal yang gue mikirin matang-matang, karena tanpa sadar gue menjadi lebih perfeksionis dari the old version of me. Efeknya ngaruh ke badan gue yang berasa kek ditunggangi makhlus halus tadi. Berat dan capek sekujur badan.

Sedangkan perspektif gue mengatakan tentang kegabutan yang menghampiri hari-hari gue. Bayangin aja. Semester I dan II kuliah, gue punya banyak kesibukan. Mulai dari bisnis yang gue rintis (handmade, jadi pasti menyita waktu), kuliah selalu 24 SKS, ada dua organisasi yang gue urus (AIESEC dan Ei Lab), dan chill juga tetep jalan. Walaupun untuk poin terakhir gue nggak terlalu suka sih. Semester selanjutnya pun begitu.

Sekarang gue semester delapan. Ekpektasi gue untuk lulus semester ini sangat besar. Kalau bisa bisnis yang gue pause selama—alamak—tiga tahun itu bisa gue jalankan kembali. Kerjaan gue cuma ngerjain skripsi dan sisa-sisa power di organisasi. Itupun sudah gue bangun sistemnya sehingga yang mengeksekusi adalah tim gue. Bukan gue seorang diri. Bisa gue bilang, gue cukup gabut untuk dibilang banyak pikiran. Terlebih lagi gue selalu punya waktu buat ngobrol, main monopoli, nonton video-video di Youtube dan explore Instagram dengan waktu yang tidak terkontrol.

Tapi.

Sepertinya argumen tadi salah besar. Gue nggak gabut. Gue cuma sedang menghindari kenyataan. Yang mulai pahit.

Di postingan sebelumnya, gue nulis tentang possible nggak sih millennials punya rumah? Saat itu gue sangat menyadari tuntutan hidup yang lebih tinggi dan menekan. Walaupun nggak ada juga sih yang menuntut. Datang dari diri gue sendiri. Dan itu sudah pasti nyebelin.

Ternyata gue nggak gabut. Karena waktu malam gue sadar banyak banget yang belum gue kerjakan. Misalnya skripsi yang nggak berkembang sama sekali. Beban mikir strategi juga belum digarap. Konten di sosmed Kanggo Tresno (nama bisnis gue yang vakum selama 3 tahun) yang nggak nambah juga. Persiapan S2 apa kabar? Ish, katanya mau belajar practical skill? Isi kantong yang makin menipis. Hal-hal lain yang belum mau gue ceritain disini. Ah, banyak ternyata. Di fase ini biasanya gue cuma bisa nyesel kenapa malah main monopoli, kenapa malah ngobrol, kenapa malah kenapa malah lainnya.

Kata Putu (nama temen lulusan psikologi tadi), gue sedang butuh waktu sendiri. Butuh waktu. Butuh ruang juga. Butuh me time.

Gue pribadi sebetulnya sudah merasa menyisihkannya. Dengan garis bawah: secara tidak bijak. Sudah cukup gue memutuskan untuk langganan paket premium Netflix untuk gue tonton setiap akhir pekan. Ada Viu juga yang nemenin gue refreshing dengan video-video Park Naeun dkk di serial The Return of Superman. Kayaknya porsi nonton video di Youtube juga nggak kurang-kurang. Mungkin ini representatif dari “penghindaran realita” itu. Menolak fakta bahwa gue harus perform. Lalu seolah alam bawah sadar gue nggak ingin merespon fakta itu. Alhasil gue gini-gini aja.

Lantas kenapa gue masih merasa capek dan sumpek? Capek di pikiran itu kemudian menyalur ke badan. Bikin gue gampang ngantuk even gue olahraga.

Oke. Gue resapi ini sebagai tahap “pendewasaan pola pikir”. Makin kita tumbuh, makin banyak yang harus dipikirkan. Tapi apakah sepertinya gue belum siap untuk menerima tuntutan itu? Lantas apa yang bisa membuat gue kembali bersemangat dan bergairah seperti sedia kala?

Putu pernah bilang, “Nggak masalah kalo lo mau main games, nonton film, dan ngelakuin kegiatan fun lainnya di jam kerja yang lo bilang. Konsekuensinya, lo harus ganti dengan jam tidur. Kalo nggak mau jam tidur berkurang, ya lo ngga perlu ngelakuin hal-hal kayak gitu.”

Kalo kata Fourtwnty dalam lirik lagunya:

Nafsu dulu baru logika
Tinta biru tinggal cerita
Realita


Kalo gue ngerasa masih belum bisa bekerja secara efektif dan efisien. Sekarang. Setidaknya menurun. Kayaknya dulu gue baik-baik aja. Entah waktu itu magic-nya apa. Huft gregetan sekali.

Gimana nih menurut kalian?