Lagi Monolog

Tuesday, August 30, 2022

Law of Attraction: Catatan Kecil Tentang Pentingnya Percaya Diri

8:19 PM 0
Law of Attraction: Catatan Kecil Tentang Pentingnya Percaya Diri

"Fix. Ini sih bakal gagal."


"Aku kurang persiapan, pasti nilainya jelek."


"Pengen daftar program X, tapi gak yakin bakal lolos."


Sering dengar omongan kayak gini? Lucunya, kadang yang ngomong begini tuh diri sendiri, bukan orang lain. Seriap orang memang punya inner voice atau suara-suara dari dalam diri. Cuma nggak sedikit dari suara tersebut yang bersifat negatif. 


Ini lah yang seringkali membuat banyak orang (termasuk aku) merasa ketakutan berlebihan yang pada akhirnya berimbas pada keyakinan diri memandang masa depan yang belum tentu terjadi (wuitsss). 


Beberapa bulan belakangan, aku stress banget karena persiapan pendaftaran S2. Bukan karena aku suka sekolah kayak Maudy Ayunda, tapi karena aku mau mengembangkan bisnisku dan ilmu yang kupunya sekarang belum cukup, jadi lah aku ngide untuk daftar sekolah lagi. 


Salah satu syarat wajib yang harus dipenuhi oleh calon pendaftar jurusan bisnis ke jenjang magister adalah GMAT. Ini tuh tes yang mirip sama SBMPTN, bedanya, tes ini pakai bahasa Inggris dan jelas... lebih susah. Satu minggu sebelum tes, aku coba ngerjain try out dengan keyakinan bahwa aku nggak jago matematika dan mengucap mantra:


"Aduh, pasti nilainya jelek, nih!"


Kenapa? 

Karena semua materi yang harus dipelajari belum selesai aku pelajari.


Dan hasilnya beneran... ancur


Waktu itu aku cukup evaluatif sih. Walaupun hasilnya jelek, aku pengen tau kenapa nilaiku bisa jelek (udah jelas karena kurang belajar lah, ucapku dalam hati). Akhirnya aku pakai diagnosed test untuk mencari tau apa faktor utama kegagalanku meraih target skor yang aku pengen. 


Dan hasilnya mencengangkan, pemirsa!



Kekhawatiran dan ketakutanku pada tes tersebut serta kepercayaan diri yang minim ternyata

hurting my score.


Akhirnya pada hari dimana aku beneran ambil tes official-nya, aku coba berpikir positif, bilang ke diri sendiri kalau,


"Kamu bisa kok ngerjainnya!"


"Anggap aja ini lagi ngerjain soal SBMPTN, bisa pasti!"


dan kata-kata afirmasi positif lainnya supaya kepala lebih dingin, jantung lebih tenang, dan mental lebih siap. 


Hasilnya? Nyata, terasa. Nilai tes 'beneran' malah lebih tinggi 90 poin daripada nilai try out. Padahal di banyak kasus, nilai try out lebih tinggi dari nilai asli. Dari sini aku paham tentang Law of Attraction.



Gampangnya gini, Law of Attraction tuh kalau pikiran kita diisi sama hal yang positif dan optimis, maka hal baik akan selalu mengikuti. Sebaliknya, kalau pikiran kita pesimis mulu (kayak aku), ya hasilnya juga nggak akan berhasil (valid, no debat!). 


Pikiran kita adalah energi yang mampu menarik hal-hal yang kita inginkan. Karena pikiran dan alam semesta sebenarnya saling terhubung karena punya frekuensi yang sama. Ada daya magnet yang bikin alam semesta seakan bermanifestasi terhadap impian yang kita pikirkan berulang kali. 


Jadi daripada bilang “Duh, nilainya pasti jelek” atau khawatir mulu sama hasilnya, lebih baik nyanyi bilang “Aku bisa, aku pasti bisa”.



Law of Attraction juga bilang bahwa kita harus mencurahkan energi yang kita punya untuk hidup di masa kini, bukan di masa depan atau masa lalu. Intinya, jangan ngabisin waktu dan energi kita untuk mikirin hal yang gak pasti (kayak nilai GMAT tadi). 


Ada hal-hal di luar kendali kita. So, fokus sama apa yang mampu kita selesaikan (ngomong ke diri sendiri di depan kaca). 



Tulisan ini sekaligus jadi reminder buat aku dan temen-temen semua yang masih suka memandang rendah diri sendiri. Percaya deh apa yang kita pikirkan bisa se-powerful itu


Karena sejatinya, siapa sih yang bisa sepercaya itu sama diri kita kalau bukan kita sendiri? Memberi rasa percaya kalau kita bisa melakukan sesuatu adalah bentuk paling sederhana dari mencintai diri sendiri kan?



Semoga teman-teman semua bisa mengambil manfaat dari tulisan ini ya! Kalau ada yang merasa gak relate, gak papa, memang gak semua hal bisa digeneralisir.


Warm hug!

Sunday, December 26, 2021

Jadi Awardee LPDP Jalur Kewirausahaan

7:31 PM 0
Jadi Awardee LPDP Jalur Kewirausahaan
Halo, apa kabar? Sudah berapa lama ya? Tepat satu tahun lalu tulisan terakhir di blog ini dimuat. Sebetulnya ada banyak yang terjadi, tentu saja menunggu untuk diceritakan. Tapi ada satu hal hebat yang akan kuceritakan kali ini. 

Sejak lulus S1 di tahun 2019, aku sudah putuskan untuk melanjutkan pendidikanku ke jenjang S2. Sejak saat itu aku sudah membuat rencana dan daftar beasiswa yang kuharapkan bisa membantu untuk mewujudkan mimpi ini. Walaupun memang misi ini nggak langsung aku jalankan karena aku memang ingin ambil gap year dulu selama setahun sebelum mulai mencari beasiswa. 

Tepat di bulan Januari 2021, aku memenuhi janji pribadiku untuk mulai jadi scholarship hunter sembari membangun art label-ku sendiri. Di sepanjang tahun, ada 4 kesempatan yang aku ambil, diantaranya: 

1. GKS (Global Korean Scholarship) 
Di beasiswa ini aku ambil kedua jalur, yaitu jalur embassy dan jalur universitas. Tentu saja, keduanya gagal. Mungkin aku akan ceritakan pengalamanku di tulisan terpisah.

2. AAS (Australian Awards Scholarship) 
Selama melakukan riset tentang beasiswa ini, aku jadi jatuh cinta pada Australia. Selain dari ketersediaan banyak jurusan yang pro terhadap social inclusion, jaraknya yang tidak terlalu jauh dari Indonesia juga membuatku bisa mengontrol bisnis yang sudah kubangun sebelumnya. Tapi ternyata aku tidak lolos.

3. LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) 
Jujur, beasiswa ini tidak ada di list prioritasku tahun ini. Namun, mentorku selalu mengingatkan untuk mengambil setiap kesempatan yang ada karena kita tidak pernah tau pintu mana yang menjadi jalan kita. Ternyata, Tuhan tau mana yang terbaik untukku. Yup, aku berhasil lolos menjadi awardee LPDP. Untuk selanjutnya pada tulisan kali ini aku akan menjelaskan tentang pengalamanku mendapatkan beasiswa ini. 


source: unsplash


Sekilas Tentang LPDP 


Siapa sih yang nggak tau beasiswa ini? Mengutip dari laman LPDP, LPDP memberikan beasiswa bagi putra/putri terbaik bangsa yang ingin menempuh pendidikan magister/doctoral, maupun pendanaan riset. Beasiswa ini diberikan oleh pemerintah Indonesia bagi warga negara Indonesia yang ingin meneruskan pendidikannya di dalam atau di luar negeri dengan tujuan negara yang tak terbatas. Untuk list kampusnya bisa dicek di website sesuai dengan jalur beasiswanya. 

Ngomong-ngomong tentang jalur, biasanya LPDP menyediakan beberapa jenis beasiswa, yakni:

- Beasiswa Afirmasi, yang di dalamnya dibagi lagi menjadi Beasiswa Berkebutuhan Khusus, Beasiswa Daerah Afirmasi, Beasiswa Prasejahtera, dan Beasiswa Santri.
- Beasiswa Targeted, yang di dalamnya dibagi lagi menjadi Beasiswa PNS, TNI, dan Polri; dan Beasiswa Kewirausahaan.
- Beasiswa Umum, yang didalamnya dibagi lagi menjadi Beasiswa Reguler, Beasiswa Perguruan Tinggi Utama Dunia, dan Beasiswa Kerjasama Pendanaan (Co-Funding). 

Aku pribadi mendaftar melalui Beasiswa Targeted Kewirausahaan, jalur yang baru dibuka pada tahun 2021. Pada saat mendaftar beasiswa ini, aku mendaftar di Gelombang 2 yang deadlinenya ada di bulan September 2021. Pengumuman akhir beasiswa ini pun tergolong cepat yaitu di 6 Desember 2021.Tapi kalo aku bandingin dengan beasiswa pemerintah lainnya seperti GKS dan AAS yang aku pernah daftar, tahapan seleksi LPDP ini lebih panjang ketimbang beasiswa lainnya, tapi timelinenya sangat singkat.

Untuk tahapan seleksinya sendiri ada: 
1. Seleksi administrasi 
2. Seleksi substantif dan kebangsaan 
3. Seleksi wawancara 

Nanti aku akan buat tulisan terpisah untuk tiap tahapan seleksinya yaaaa biar lebih nampol. 

Beasiswa Targeted Kewirausahaan


Komponen lengkap tentang beasiswa ini sudah cukup dijelaskan oleh pihak LPDP di halaman ini, sehingga aku akan lebih menceritakan tentang pengalaman pribadi saat mendaftar dan alasan aku memilih beasiswa ini ketimbang beasiswa lainnya yang disediakan oleh LPDP. 

Kenapa memilih beasiswa targeted kewirausahaan? 


Beasiswa ini baru dibuat di tahun 2021 yang artinya tahun ini akan menjadi tahun pertama bagi LPDP memiliki awardee di jalur beasiswa ini. Seperti halnya ‘kelas yang baru dibentuk’, kalo kita ngomongin soal peluang, maka peluangnya tentu akan lebih besar dibanding jalur lainnya yang sudah lebih dulu memiliki ‘senior’ di kelasnya. 

Selain itu, kalo kita ngomongin tentang latar belakang aku sebagai applicant, aku sudah memiliki track record yang jelas di bidang kewirausahaan yang bahkan sudah kumulai secara amatir sejak kecil. Apalagi semenjak lulus kuliah, aku memutuskan untuk menjadi full time entrepreneur. Dengan begitu, aku punya competitive advantage lebih banyak di jalur kewirausahaan ini. 

Nah, sekarang kalo kita ngomongin soal studi lanjutku nanti, kupikir ini juga jalur yang tepat. Aku berencana melanjutkan studiku di jurusan yang sama saat S1. Saat kubedah lagi list kampus dan kucari tau satu-persatu program dan kurikulum kampus-kampus tersebut, aku menemukan beberapa kampus yang menyediakan concern ke social enterprise management dan program lainnya yang berfokus pada social entrepreneurship. Ini adalah bidang yang ingin aku pelajari lebih dalam. Jadi meskipun aku mengambil MBA (Master of Business Administration), aku akan memilih konsentrasi di bidang-bidang tersebut. Nah, beasiswa targeted kewirausahaan ini memang hanya mendukung jurusan yang berhubungan dengan bisnis dan kewirausahaan. 

Dokumen yang Perlu Disiapkan Saat Pendaftaran 


Dokumen-dokumen yang dibutuhkan kurang lebih sama dengan dokumen di beasiswa jalur lainnya, namun ada beberapa dokumen dan persyaratan khusus yang dibutuhkan untuk mendaftar jalur kewirausahaan ini. 

Memiliki usaha atau yang bergerak dalam bidang kewirausahaan yang dibuktikan dengan Rencana Bisnis bagi yang belum memiliki bisnis atau Rencana Pengembangan Bisnis atau Rencana Bisnis Baru bagi yang sudah memiliki bisnis sesuai format LPDP. 

Karena aku adalah full time entrepreneur, jadi aku lebih menceritakan tentang bisnis aku dan progresnya Ketika menulis essay LPDP dan membuat Rencana Bisnis ini. Apa yang aku buat adalah Rencana Bisnis Baru yang masih berkorelasi dengan bisnis aku yang sekarang. 

Melampirkan Surat Rekomendasi dari Rektor atau Dekan yang akan/sudah memiliki Program Kewirausahaan untuk menjadi bagian dalam memperkuat tenaga pendidik/clinical faculty di Perguruan Tinggi.

Untuk surat rekomendasi ini aku minta ke dekan fakultas aku saat S1 dengan meminta bantuan dari Wakil Dekan bagian Akademik karena aku memang dekat dengan beliau. Isi rekomendasinya kami buat berdua sebelum mengajukannya ke Bapak Dekan. Hal yang sering jadi pertanyaan adalah mengenai “…menjadi bagian dalam memperkuat tenaga pendidik/clinical faculty di Perguruan Tinggi”. Ada tiga komitmen yang aku ajukan ke fakultas, yaitu menjadi dosen tamu, memberikan coaching clinic untuk bisnis mahasiswa di Laboratorium Kewirausahaan dan Inovasi yang ada di fakultasku, dan menyediakan tempat magang bagi mahasiswa fakultasku di Yayasan yang aku bangun selama ini. 

Oke sekian tulisan aku kali ini, di tulisan selanjutnya aku akan jelaskan tentang essay dan seleksi administrasi. Kalau kalian ada pertanyaan tentang LPDP atau spesifik tentang beasiswa jalur kewirausahaan ini, boleh tuliskan di kolom komentar aja yaaaa atau ke email ekanandapna@gmail.com ^^.

Tuesday, December 8, 2020

Sekarang Lagi Sibuk Apa?

11:06 AM 0
Sekarang Lagi Sibuk Apa?
"Kamu sekarang lagi sibuk apa?"

"Hai, Kak. Apa kabar? Lagi sibuk apa sekarang?"

Gak ada yang salah sama pertanyaannya. Wajar. Buat yang nanya pun gak dosa kalau nanya begitu ke orang yang udah lama banget gak ketemu atau diajak ngobrol. Sewajarnya nanyain kabar, pertanyaan soal kesibukan apa yang sedang dikerjakan juga harusnya bisa dimaklumi.

Tapi gak tau kenapa pertanyaan itu kayak jadi momok yang gede banget buat gue, sumber rasa insecure dan emosi-emosi yang nggak sehat. Sudah jelas yang salah adalah gue sendiri. Kok bisa-bisanya merasa takut dan bingung ngejawab pertanyaan mudah kayak begitu.

Jujur aja. Gue nggak pede dengan apa yang gue kerjakan sekarang. Setelah lulus, gue memutuskan untuk nggak bekerja di Multinational Company seperti yang dulu pernah gue pikirkan. Gue nggak pernah kepikiran lagi jadi Duta Besar seperti yang gue inginkan saat SMA. Pada dasarnya gue nggak bekerja di perusahaan at all. 

Gue memilih buat terombang-ambing di badai yang gue ciptain sendiri. Gue memilih balik ke meja kerja bekas mesin jahit yang dibuat Ayah dan mengerjakan idealisme-idealisme yang selama ini cuman jadi khayalan belaka. Gue memutuskan buat withdrawal aplikasi gue di sebuah perusahaan multinasional dan kembali menjadi entrepreneur. Kalo lagi nganggur gue suka inget lagi: gila woy, cari kerja susah main lepas-lepas aja kesempatan bagus kerja di mnc.  






Kadang gue merenung lamaaaa banget mikirin hidup. 

"Kira-kira kalau milih jalan yang beda gini gue bisa sama-sama makmur kayak temen-temen gue yang gajinya stabil gak ya?"

"Kira-kira gue bisa tetep berprestasi gak ya?"

"Kira-kira gue bisa dapet pembelajaran gak ya dari profesi gue yang sekarang?

"Kira-kira gue bisa berkembang sebagai seorang praktisi dan sebagai manusia in general  gak ya?"

"Kira-kira bisa gak ya gue menginspirasi banyak orang dengan jalan yang gue pilih ini?"

"Emang iya gue bisa gedein bisnis gue dan inisiasi-inisiasi lain walaupun gue gak punya pengalaman manajerial di perusahaan well-established?"

Banyaaaaakkk banget. Yaaa pada dasarnya gue memang manusia yang ribet dan rumit jadi kalo udah kepikiran sesuatu MasyaAllah detailnya luwarrr biyasaaah. 

Makanya waktu ditanya sama orang gue sekarang lagi sibuk apa, rasanya tuh campur aduk. 

Enaknya dijawab basa-basi juga atau perlu dijelasin panjang kali lebar yaaa?

Dan jawaban itu pun berakhir "Ya gitu deh, banyak." Songooong banget gak sih?

Makanya sekarang gue bikin tulisan ini buat merapikan isi kepala gue yang udah mau meledak dengan asumsi-asumsi gue sendiri. Pahamilah guys, gue lagi menguatkan diri sendiri disini. 

Satu, orang nggak peduli-peduli amat sama lu.

Dua, lu itu lulusan bisnis. Jadi sudah sewajarnya lu bikin bisnis alias ilmu lu gak sia-sia juga, bun. Orang lain pun yang sekarang lagi berkarir mungkin aja tujuannya mau bikin bisnis sendiri. Lu cuman memulainya lebih dulu dari mereka. 

Tiga, buka mata. Banyak temen-temen lu yang juga milih jalan yang sama. Bisa saling dukung, kan?

Empat, please banget untuk bisa lihat sisi positifnya. Bersyukur. Lu masih bisa punya tabungan, bisa beli barang-barang konsumtif, dan segala macem hal materialistis yang dulu lu nggak punya.  I mean, economically upaya lu menunjukkan hasilnya. 

Lima, tentunya lu belajar banyak. Ketika ada complain dari klien, lihat gimana cara lu memperlakukan mereka. Lu belajar ngehandle tim, manajemen waktu, dsb. Memang benar lu nggak punya jenjang karir yang jelas karena the world is your oyster. Lu langsung jadi pimpinan. 

Enam, networking lu macet? Evaluasi lagi. Mulai sekarang coba buka diri ke orang lain dan belajar dari expertnya. Be active, sis!

Tujuh, at the end of the day this is what you preferred. Please respect and take responsibility on it. Lu sendiri yang milih berhenti apply kerja, lu sendiri yang berani memulainya, lu harus berani menjalaninya dong?

Hal terakhir yang mau gue sampein ke diri sendiri adalah soal konsistensi. Daridulu gue selalu jadi kutu loncat. Ada saat dimana gue lagi suka banget bahasa inggris, bisnis internasional, dan isu internasional, disana gue jadi kepikiran buat jadi duta besar. Pernah juga gue lagi suka banget sama Biologi, nilai Biologi gue bagus sendiri dibanding nilai pelajaran IPA lain, disana gue kepikiran buat jadi dokter. Terlalu random pemikiran gue sampai gue lupa ada framework untuk connecting the dots. 

Bahwa dari sejak SD-SMP gue udah punya pemasukan sendiri dari jual-jualin karya gue, bahwa saat kuliah gue udah mulai bereksperimen bikin-bikin startup teknologi ranging from farming to tourism, bahwa wisdom dari semua event di kehidupan gue ujung-ujungnya balik lagi ke hal-hal berbau sosial. Lantas apa yang membuat gue begitu ragu menjalaninya?

Kembali ke konsistensi. 

Ada orang yang rela sampai semester sepuluh bahkan lebih gak lulus-lulus kuliah demi menjalankan bisnisnya, nyoba ini itu, banyak sekali. Ada orang yang rela gak nongkrong karena sibuk ikutan lomba sana-sini buat memperbagus profil dia saat lulus. Ada orang yang hasilnya dengan mudah gue lihat, tapi perjuangannya sama sekali gak dipertontonkan. 

Dan hasil yang mereka dapat tentu saja ada campur tangan dari konsistensi. Makanya gue mau nyoba buat konsisten, berhenti jadi kutu loncat, dan fokus dengan apa yang lagi gue buat. Waktunya emang gak bentar. Orang-orang hebat di luar sana bisnisnya baru bisa stabil mulai dari tahun ketiga atau keempat, trus lu mau berharap apa di tahun pertama lu memulai semua ini? Sabarrrr.....

Sekarang gimana? Bisa kan jawab kalau ditanyain lagi sibuk apa?
Sibuk bertarung dengan pemikiran sendiri. 
Karena pada dasarnya tiap orang punya insecurity-nya masing-masing.



Monday, July 6, 2020

Enam Juli Dua Ribu Dua Puluh

6:57 PM 0
Enam Juli Dua Ribu Dua Puluh
Hai Juli! 

Ketemu lagi kita sama tanggal 6. Kalau nggak salah, 23 tahun yang lalu gue dilahirkan ke bumi. Hari yang disebut-sebut sebagai hari ulang tahun ini udah nggak terasa spesial lagi. 

Biasa aja.

Lagian nggak cocok banget kalau dinamain ‘ulang tahun’. Kan nggak ada yang bisa diulang?




Ngomong-ngomong tentang tanggal 6 Juli, sejak kuliah gue jadi ketemu banyak banget orang yang lahir di tanggal yang sama. Mulai dari temen bule gue si Tracy; mantan Vice President di AIESEC, Kak Dito; kakak tingkat yang sekaligus pernah terlibat di project dan organisasi yang sama, Mbak Clara; hingga temen sekelas gue si Hafiz juga lahir di tanggal 6 bulan Juli. Lucu aja gitu, Hp dan sosmed gue jadi rame banget di tanggal 6 karena pada saling kirim ucapan.

Daaaann ngomongin soal ulang tahun pasti nggak jauh-jauh hubungannya sama umur. Kalau inget umur, gue jadi inget salah satu teori yang berhubungan dengan tokoh dunia, Leonardo Da Vinci. Menurut salah satu sumber, Da Vinci punya kebiasaan tidur yang dinamakan Uberman Sleep Cycle. Ia hanya tidur selama 20 menit dalam empat jam. Jadi misalnya jam 1-4 dia bangun, terus dia bakal tidur selama 20 menit, kemudian bangun lagi. Yaaaa kalau ditotal dia hanya tidur selama 2 jam sehari.

Ada salah satu video yang membahas tentang kebiasaan tidur Om Da Vinci ini. Let’s say, umur hidup manusia tuh rata-rata 72 tahun. Ketika kita tidur selama 8 jam per hari dan kita kalikan dengan umur hidup manusia, maka total 24 tahun kita habiskan untuk tidur. Ketika Om Da Vinci menerapkan Uberman Sleep Cycle, dia bisa menghemat 18 tahun di hidupnya untuk terjaga.

Setelah nonton dan mempelajari teori itu gue jadi mikir, apa iya orang-orang sukses tuh tidurnya bentar? Atau malah jarang tidur?

Eittssss, tunggu...tunggu...

Kenapa jadi ngomongin sleep cycle Om Da Vinci, sih?

Hehehe, habisnya gue kehabisan topik. Bener-bener nggak ada yang spesial di hari ulang tahun, sampai nggak ada yang bisa diceritain, kecuali kenyataan bahwa gue masih bisa melakukan sesuatu yang—InsyaAllah—bermanfaat buat orang lain, masih dikelilingi temen-temen yang masih peduli—walau temen gue juga nggak banyak-banyak amat, keluarga gue masih utuh, gue masih punya orang-orang yang masih sayang sama gue, dan tentunya masih dipercaya oleh Sang Pemilik Semesta untuk mendiami semestanya.

Moreover, kenyataan bahwa kenikmatan-kenikmatan itu bisa gue peroleh setiap hari tanpa perlu harus menunggu hari ulang tahun, rasanya sungguh luar biasa. Kayak nggak butuh apa-apa lagi.

Di tulisan kali ini gue lebih kepengen ngomong ke diri sendiri aja sih.  

Be strong.
23 might be more challenging and having more shit to throw at you.
23 may not be the best year of your life,
But to have that 'best', you gotta pass a year of 23.  

Thank you for always believe what you believe
Thank you for being confident enough to choose a life that may be harder than the others
Thank you for always make even tiny little steps everyday to live and go ahead.

Dan yang nggak kalah penting adalah….

Semoga dikuatkan ketika harus berhadapan dengan berbagai pertanyaan “kapan” yang bahkan gue sendiri nggak tau apa jawabnya.

Saturday, May 23, 2020

Ngomong-Ngomong Soal Minta Maaf

1:26 PM 0
Ngomong-Ngomong Soal Minta Maaf

Wow! Nggak kerasa udah 22 hari gue nggak posting di blog ini—walaupun juga nggak ada yang nunggu-nungguin tulisan gue disini, sih. Emang dasar ge-er lu!

 

Nggak terasa juga, besok sudah lebaran. Cepet banget ya? Gue juga nggak ngerti kenapa Ramadhan kali ini justru setengah waktu berharganya malah gue habiskan buat ‘bolos’—secara alamiah. Padahal harusnya gue bisa lebih banyak nabung buat urusan akhirat. Tapi ya gitu. Seprogresif apapun manusia, tetap ngerasa kurang. Nggak ada yang bener-bener cukup, kecuali dicukupkan. Tapi soal ini, poin kedua kan nggak berlaku.

 

Btw, lebaran selalu jadi momen yang selalu ditunggu-tunggu setelah Ramadhan. Tapi rasanya semua orang tahu betul bahwa Ramadhan kali ini, lebaran kali ini bener-bener beda. Rasanya kayak yaudah aja gitu. Nggak ada perayaan, nggak ada kumpul-kumpul, nggak ada momen spesial tatap mukanya—kecuali yang memilih menyerah untuk membela egonya sendiri dan mengesampingkan nurani. Lu ngerti maksud gue. No judgement!


Source: Unsplash
 


Hal menarik yang terjadi dalam society adalah lebaran selalu jadi momen buat kita maaf-maafan. Dan ngomong-ngomong soal maaf-maafan, gue lagi sering banget lihat atau denger kata-kata itu di pemberitaan, sosial media, bahkan yang gue tau sendiri dengan mata kepala. Ketika banyak manusia berharap dan berusaha buat nggak ngulangin kesalahan yang sama, banyak manusia lainnya yang justru menjadikan ucapan maaf dan acara klarifikasi jadi jalan ninja.

 

Kalau kata senior kuliah gue dulu:

Lebih baik meminta maaf, daripada meminta izin.

 

Jangan salah paham dulu.

Kan nggak semua hal bisa pakai aturan yang sama?

 

Kayak contohnya hal yang gue alamin beberapa hari ini. Puncaknya kemarin. Gue ada bantuin proyek buat tabungan lebaran gitu kan untuk ibu-ibu sekitar rumah. Nanti hasil tabungannya tuh dibelanjakan sesuai kontrak awal dia milih paket apa. Barangnya macam-macam. Ada sembako, snack, telur, sampai daging. Jadi kalau si ibu milih paket daging, beliau akan dapat paket dagingnya saat lebaran. Tabungannya disetor tiap bulan selama setahun.

 

Nah, si vendor daging ini berulang kali mengingkari janjinya buat nganterin daging potongnya sesuai waktu yang disepakati. Harusnya gue dan Mama udah nerima dagingnya hari Rabu, eh ditunda Kamis. Kamis ditunggu, bilangnya Jumat bakal dianter. Begitu udah hari Jumat, dia malah nelpon bilang “maaf” karena nggak bisa nganter trus nanya gimana kalau daging yang jumlahnya sekian ton itu dikirim Sabtu pagi. Posisinya ibu-ibu ini udah nyiapin masakan dan segala hal sesuai yang direncanakan, cuma kurang dagingnya.


Di situasi ini jelas gue kesel banget sih karena complain kan datang terus. Setelah gue protes dia baru jujur kalau duitnya dia pakai dulu. Like, seriously? Trus ya gue nggak mau tau dong gimana caranya tuh daging pesenan dateng malam itu juga atau dibalikin duitnya sekalian. Gue minta dia offer solusi konkrit yang enak buat kedua belah pihak, walaupun nggak ada keputusan yang enak kan ya di situasi kayak gini? Lagi, dia cuman bilang maaf. Udah.

 


Sedangkan di satu sisi banyak orang yang protes sana-sini, ngancem-ngancem, dan minta duitnya balik. Gue sangat paham dan sangat setuju dengan itu karena gue bakal melakukan hal yang sama bila ada di posisi mereka karena kecewa banget!

 

Di luar ngomongin soal bisnis (mungkin bakal gue bahas lain kali di blog ini), gue akan ngebahas soal permintaan maafnya. Dari 22 tahun gue hidup, gue mengambil kesimpulan bahwa kebanyakan orang minta maaf ya cuma berucap maaf aja. Gue bukan orang suci dan gue akuin gue kadang gitu soalnya. Lu juga kan? Apalagi pas lebaran. Kita sungkem ke orang yang lebih tua, mohon maaf lahir batin ke semuanya, tapi besoknya gitu lagi.

 

Balik lagi ke kejadian. Melihat konteksnya, harusnya mbak ini minta maaf yang tulus disertai dengan solusi. Solusinya apa? Harus gimana tindakan adaptifnya? Karena as professional, dia vendor. Kesannya kayak lepas tangan gitu aja. Malah dia balik nanya, gimana mbak? Saya betul-betul minta maaf. Begitu gue minta ganti rugi atau minta dia buat usaha ke pasar saat itu juga, dia justru tanya, mbak harga dagingnya naik, gimana?

 

Ya elu tanggung jawab dong gimana! Sebagai customer kan kita nggak mau tau, call me don’t have empathy but I’m her customer and I have customers.

 

Kami udah kasih duitnya dari jaman kapan tapi barang malah gak ada pas kami sekeluarga datengin dia di tempat—sampai didatengin tuh. Kalau nggak didatengin langsung gitu, gue udah nggak ada ide dia bakal kasih alasan apalagi. Ternyata, dari yang harus disiapin sekian kwintal, dia nggak ada barang sama sekali karena duitnya dia pakai semua. Lu bayangin.

 

Ya kita semua ngerti lah. Namanya bisnis kan emang punya risiko. Beside that, kita juga punya tanggung jawab dong. Kalau gue harus kehilangan duit sekian puluh juta, itu tanggung jawab gue ke customer gue karena sudah memilih vendor yang nggak trusted. Tapi dia punya tanggung jawab ke gue juga sebagai vendor. Kalau si vendor ini berurusan sama gue doang, okelah. Tapi ini menyangkut orang banyak. Jadi gue geram banget sama perilakunya!

 

Dari sini gue menarik kesimpulan ke sebagian besar dari mereka yang hanya minta maaf tapi nggak ngasih solusi. Termasuk beberapa orang yang baru-baru ini rame di sosial media. Pasti deh alurnya tuh bikin ulah, ngecewain orang, minta maaf, trus diulangi lagi, bikin ulah lagi, ngecewain orang lagi, minta maaf lagi.

 

Sisanya, manusia yang lain diharapkan bisa memaklumi kesalahannya dengan narasi:


manusia kan nggak sempurna, bisa bikin salah.

 

Narasi ini menurut gue menyesatkan. Bisa bikin salah paham bahwa manusia dibebaskan ngapain aja karena, ya kita manusia. Seolah nggak ada pilihan lain gitu selain udah terlanjur melakukan, lalu minta maaf, padahal setiap tindakan kita bisa dikontrol. Kan kita punya akal sehat. Punya nurani.

 

Gue yakin setiap manusia pernah bikin salah. Yang membuat kita beda dari manusia lainnya di bumi, salah satunya bisa kita nilai saat si manusia itu bikin salah. Gimana pertanggungjawaban si manusia atas kesalahannya? Gimana pertanggungjawaban si manusia atas kesalahannya yang menyangkut kehidupan manusia lainnya?

 

Other than that, gimana pertanggungjawaban si manusia buat orang yang udah terlanjur dibikin sakit dan dikecewain?

 

Apa pemakluman selalu jadi penyelesaian?

 

Semoga setelah hari ini, kita bisa jadi manusia yang bisa benar-benar lebih baik.


*gue nulis ini sambil emosi, mind my grammar.