February 2019 - Lagi Monolog

Saturday, February 23, 2019

Fix! Millennials Nggak Bisa Beli Rumah

9:44 AM 1
Fix! Millennials Nggak Bisa Beli Rumah


Setiap piket, teman-teman di Ei Lab (Entrepreneurship and Innovation Laboratory) wajib membahas sesuatu dalam forum diskusi kecil. Hari itu diskusi dipimpin oleh Isra dan Oji. Walaupun nggak jelas juga yang mimpin diskusi siapa. Anggap saja begitu. Topik yang mereka bahas, yang menurut gue menarik adalah “Kapan millennials punya rumah?”. Sungguh sebuah pertanyaan menohok kalau kita kuat mental nengok kantong, isi ATM, dan fakta-fakta pahit di lapangan.


Kenapa?


Bayangkan saja. Jumlah penduduk Indonesia yang berusia di bawah 34 tahun sudah mencapai hampir 60 persen dari total jumlah penduduk. Dengan hitungan kasar, harga rumah dan apartemen menunjukkan kenaikan pertumbuhan 7 persen hingga 10 persen. Sementara itu, dari sisi pendapatan hanya meningkat sebesar 3 persen sampai 5 persen saja. Itu pun cuma di posisi tertentu dan nggak terjadi setiap tahun. Bisa disimpulkan. Pendapatan stagnan, harga properti makin mahal, jadi makin nggak kebeli. Inilah problem mendasar, sehingga generasi millennials makin sulit beli rumah. Fakta pahitnya lagi, lo cuma akan jadi nol koma sekian persen dari 60 persen tadi. Sedangkan tinggal berapa sisa lahan yang ada nanti buat nampung semua millennials itu?


Nah, hasil diskusi yang gue curi dengar dari Isra dkk saat piket berlangsung, millennials baru bisa beli rumah 15 tahun kemudian. Entah cash atau kredit. Itupun dengan gaji 10 juta rupiah. Sedangkan gaji rata-rata generasi ini adalah 7 juta rupiah. Lagi. Itupun dengan catatan si millennial ini nanggung biaya pribadi doang. Artinya belum menikah. Oh shit. Makin susah aja kan. Nggak mungkin juga dong ingin menjomblo terus selama 15 tahun dan nggak nikah-nikah? Belum lagi soal inflasi. Bahkan krisis ekonomi yang siapa tahu dateng saat lagi nabung buat beli rumah.


MINDSET

Berdasarkan analisa gue sebagai millennials juga, masalah utamanya bukan pada gaji. Jika itu dianggap sebagai satu-satunya sumber pendanaan buat beli rumah. Millennial susah punya rumah karena M-A-N-J-A. Ya. Manja. Mereka lebih mementingkan gaya hidup. Nggak mau dianggep nggak gaul karena nggak nongkrong chill bareng teman-teman. Keluar gadget baru, nggak mau ketinggalan. Intinya lebih mengedepankan membeli keperluan yang nggak mendesak seperti baju baru, koleksi tas, borong case handphone (kalo yang ini gue banget), dll. Alhasil masih banyak juga mereka yang seharusnya sudah pada tahap bisa punya rumah sendiri, memilih tinggal bareng orang tua. Ada juga yang memang bisa beli rumah, tapi itupun karena dibeliin orang tua.


Ali Tranghanda, pengamat properti dari Indonesia Property Watch (IPW) pernah mengatakan bahwa dengan penghasilan 7 juta sebenarnya millennials bisa beli hunian seharga 300 jutaan di pinggiran Kota Jakarta. Sayangnya masih banyak mindset yang “jiper” kalo punya rumah di pinggiran Jakarta. Maunya di Pusat Kota, bagus, murah. Susah deh. Maunya banyak, tapi manja.


Menabung memang solusi yang tepat. Tapi kalo kebutuhan makin naik dan pemasukan segitu-gitu aja, apa yang mau ditabung?


BEYOND THE LIMIT

Di sisi lain, nyadar nggak sih kalo tren di dunia ini semakin aneh? Rasanya kalo ada dari kalian yang baca ini masih berpikiran bahwa “pekerjaan” adalah sesuatu yang cuma bisa dilakukan di kantor-kantor... duh. Coba keluar, lihat dunia.


Kayaknya nggak ada deh yang nggak bisa di-uangin. Dulu. Gue punya temen deket nih cowok. Suka banget ke warnet kalo pulang sekolah atau sembari nunggu jadwal les dimulai. Diem-diem dia suka dapet rezeki nomplok cuman dari jualan char dia ke sesama gamers. Itu dulu. Sekarang kondisinya makin menjadi-jadi coy. Banyak orang yang bisa beli mobil, rumah, kapal pesiar. Kalo ditanya apa pekerjaannya? Gamers. Begitu pun dengan selebgram, vloggers, bahkan bloggers. “Gaji”nya bisa lebih dari 10 kali lipatnya yang jadi manajer atau karyawan kantoran!


Ada cerita konyol sih. Gue bahkan pernah dapet duit ratusan ribu cuma dengan nyediain jasa upload foto ke Shopee dan hapus foto di Instagram. Come on. Pekerjaan ini bahkan nggak perlu skill apapun selain perlu nguatin jempol aja. Bahkan sambil merem pun gue bisa. Pen nangis nggak kalo tau cari duit segampang itu.


Temen gue. Besar dari investasi. Dia mengaku nggak pandai berbisnis. Alih-alih memutar uang melalui active income, dia merasa lebih punya passion di bidang investasi. Jadi tiap dia punya duit, dibelikan aset berupa saham dan reksadana. Walaupun jumlahnya minim, angkanya tetap bergerak. Teman lainnya mengaku pernah investasi sebanyak 5 juta, sebulan-dua bulan kemudian dapat 50 juta dari perdagangan cryptocurrency. Gila nggak.


Semalam seorang teman datang berkunjung ke Ei Lab. Gue panggil dia Mas Faza. Dia cerita banyak soal kekecewaan dan rasa takjub yang dia rasain ketika lulus. Kalo sebenarnya banyak banget hal yang dia sesali nggak dia pelajari saat semasa kuliah dulu. Mungkin ada banyak hal yang-sudah-dia-sadari, tapi menolak dia latih dengan anggapan “ah, nanti aja belajarnya”.


Contoh sederhananya adalah kemampuan menulis. Satu skill dasar ini aja, kita bisa menghasilkan uang. Banyak jenis pekerjaan yang bisa kita lakukan, misalnya jadi content writer, blogger, bahkan jadi penulis lepas pun ada “cuan”nya, kalo dia bilang. Pernah lihat nggak sih ada e-book bertebaran di internet yang ditulis oleh penulis indie? Orang-orang pun bisa beli buku tersebut secara bebas di internet. Ada duitnya coy!


Persaingan di dunia ini yang makin menyakitkan, jangan ditambah dengan sikap manja dan acuh begitu intinya. Belajarlah dimana saja. Kepada siapa saja. Kemudian bagikan untuk siapa saja. Dari obrolan dengan Mas Faza yang singkat tapi bernilai itu gue bisa menyimpulkan bahwa keadaan di luar sana itu gila. Kalo gue jadi manusia yang biasa aja, nerima input cuma pas dikasih doang, apatis, nggak kreatif, pasrah, meeenn gue bakal mati dimakan peradaban.


Gila ya. Gue bener-bener baru ngeh bahwa dunia tuh se-dinamis ini. Usia “bekerja” makin kabur. Karena bikin video TikTok aja bisa dianggap sebagai sebuah pekerjaan. Gue yakin dan pasti udah dimulai. Nanti ketika calon mertua lo tanya “Nak, pekerjaannya apa?”, lo akan bingung ngejawabnya. Karna yang lo kerjain random banget. Pun saat lo punya anak dan dia harus ngisi biodata orang tua di bagian “pekerjaan”.


Ah, jadi nggak ada alasan ya buat lo, para millennials, termasuk gue lagi ngomong ke diri sendiri, untuk ngeluh nggak punya duit. They pay you for your creativity and innovation.


Balik lagi ke judul tulisan ini. Jadi sekarang punya alasan nggak buat kalian para millennials untuk nggak bisa beli rumah?



-
Ditulis oleh seorang millennial untuk kawanku para millennials.





Saturday, February 9, 2019

Setengah Jalan (yang Nggak Ada Apa-Apanya)

10:04 AM 1
Setengah Jalan (yang Nggak Ada Apa-Apanya)
Postingan ini gue dedikasikan buat diri ini, hell yeah.
Semprotulation my self!
Lo udah setengah jalan menuju garis finish. Artinya lo udah setengah jalan melawan rasa males itu. Keep going. Jalan masih panjang. 

***

Tiap orang punya timeframe yang nggak sama dengan orang lainnya. Itu gue rasain banget pas ngerjain skripsi ini. Mulai dari kena apes karena masuk rombongan yang musti bikin outline dulu 3 judul buat diajuin ke jurusan, hingga mogok selama sebulan lebih bingung mau mulai darimana. Gue baru balik ke Malang bulan Oktober 2018. Baru banget melek dan kembali ke realita, dimana temen-temen gue udah pada nge-lobby dosen dan mulai ngerjain skripsi masing-masing. Gue saat itu masih plonga-plongo bahkan nggak punya ide buat topik sekalipun.

Saat itu motivasi gue cuma nyelesaiin laporan magang dengan niat dan sebaik-baiknya. Hasil laporan magang dan proses penulisannya gue jadikan tolak ukur apakah gue bisa nulis skripsi dengan metode yang sama: pake bahasa inggris. Bukan sok inggris atau mau show off, tapi salah satu college life goals gue adalah bisa bikin skripsi pake bahasa inggris. Tujuannya, ya...siapa tau beberapa tahun lagi gue ada di negara orang lagi belajar di graduate school mereka. Jadi, buat latihan nulis dan membaca.

Tanggal 25 Oktober 2018, akhirnya setelah berpikir selama dua puluh lima hari gue bisa juga ngajuin tiga judul ke jurusan.  Jujur gue deg-deg-an banget saat itu karena takut aja kalo yang dipilih malah yang kualitatif karena gue prefer penelitian kuantitatif aja. Anyway saat itu ketiga judul gue sama sekali nggak saling berkaitan. Topiknya bener-bener beda. Tapi yaudahlah ya, gue udah mentok nggak mau nunda lagi untuk ngajuin judul karena “done is better than perfect”.

Setelah dua minggu gue nunggu hasil judul yang dipilih oleh jurusan, dalam hati gue lega karena dosen pembimbing gue adalah sosok yang nemenin gue saat gue lomba di U.S. Kita pernah nglewatin hari-hari bareng dan bahkan jadi roomates. Gue koreksi. Lega sih iya, tapi lebih banyak tegangnya karena ini pertama kalinya gue bakal membangun hubungan profesional dengan beliau. Skripsi coy.

Tanggal 8 November 2018 gue ngadep ke depan beliau untuk pertama kali sebagai mahasiswa bimbingan. Wah, ternyata beliau orangnya paperless! Gue bersyukur banget sih nggak perlu buang-buang banyak kertas untuk bimbingan karena cukup lewat email aja. Setelah itu beliau minta gue bikin outline lengkap sampai bab 3 dan balikin ke dia lagi, sebelum bener-bener nulis proposal skripsi. Di proses inilah gue kehilangan banyak motivasi. Hingga gue sama sekali nggak nyentuh outline dan hal-hal yang berkaitan dengan skripsi selama satu bulan!

Gue merasa mulai hilang arah dan ada pada titik gue harus berprogres setiap hari. Banyak tuntutan yang harus gue lakukan dan skripsi adalah salah satu penghambat gue untuk maju. Ada Ei Lab, Melijo, Come App, Kanggo Tresno, persiapan S2 yang entah kapan, dan urusan dunia lainnya yang harus gue kerjakan juga. Gue banyak dicari orang dengan tuntutan serius untuk perform. Tapi gue merasa nggak bisa maju sama sekali. Mungkin memang skripsi ini harus gue selesaiin terlebih dahulu. Akhirnya, tanggal 7 Desember 2018 gue kirim outline ke Ibu Pembimbing.

Sembilan hari berikutnya Ibu Pembimbing ngajak gue diskusi via WA. Topik skripsi gue terancam gugur kalo gue nggak bisa membuktikan manfaat yang akan diperoleh dari penelitian tersebut. Kalang kabut semaleman gue nyari dan nyusun argumen logis untuk meyakinkan Ibu Pembimbing bahwa penelitian gue bakalan punya manfaat untuk masyarakat. Posisinya, saat itu topik yang gue ambil belum diatur oleh pemerintah Indonesia. Sehingga gue harus cari-cari alasan dan nunjukin bahwa gue optimis dalam waktu dekat pemerintah bakal merilis regulasi tentang topik terkait. Esok harinya, tanggal 17 Desember 2018 gue ngadep langsung ke beliau dan jelasin argumen gue, tanpa bukti regulasi karena memang belum dirilis pada saat itu. Untungnya, di hari yang sama gue diperbolehkan mulai nulis proposal skripsi.

Gue bersyukur punya temen-temen yang memotivasi dalam proses menulis proposal skripsi ini. Gara-gara Vida bilang nulis proposal 3 bab selama seminggu gue jadi ikutan pengen juga bisa nyelesaiin 3 bab secepat itu. Sayangnya sengoyo apapun gue nggak bisa. Butuh dua minggu tambahan buat gue nyelesaiin 3 bab itu. Anyway gue cuman ngerjain skripsi di hari efektif kerja yaitu Senin-Jumat, tanpa mengurangi chill time gue di hari Sabtu dan Minggu yang biasanya gue pake untuk mengunjungi kerabat dan pekerjaan-pekerjaan lain seperti membaca buku dan blogging. Itupun gue kerjakan di jam malam selama maksimal 3-4 jam aja. Di liburan semester minggu pertama (tanggal 24-31 Desember 2018) gue juga off dari skripsi, hehe.

Tanggal 12 Januari 2019 gue kirim hasil proposal skripsi gue ke Ibu Pembimbing dengan ekstra minta waktu ketemuan untuk diskusi. Tapi beliau nolak. Di tanggal 21 Januari 2019, Ibu Pembimbing ngasih tag-tag di skripsi gue dan gue revisi saat itu juga. Keesokan harinya, 22 Januari 2019 gue ketemuan lagi dengan beliau untuk ngomongin tentang revisi yang udah gue masukin. Beliau memutuskan untuk membawa proposal yang sengaja gue print buat dikoreksi ulang dengan seksama, sumpah baik banget! Tanggal 28 Januari 2019 gue ketemuan lagi untuk ngambil proposal gue ditambah revisi-revisinya dan gue udah boleh daftar sempro!

Walaupun masih banyak kekurangan disana-sini dan sempro ini cuma proses bersin aja. Gue ingin berterima kasih kepada pihak-pihak yang udah membantu gue sampai titik ini. Karena balasan rasa terima kasih gue nggak bakal seberapa, biarkan YME aja yang membalas ketulusan dan kebaikan hati kalian semua.

Terlebih lagi, gue pengen mengapresiasi diri gue sendiri yang super awesome melawan rasa malas dan selaw yang sering banget dateng.

You are strong because you never get burn out throughout things.

You are a deadliner but you know your responsibilities.

I adore you, my self!

Jajaran Moderator yang dipanggil H-1, Pembahas, teman SMA, dan Ei Lab



Keluarga Binter yang mau menerimaku selama hampir 4 tahun dengan tulus

Anak-anak Ei Lab, Tim Mading SMA yang jauh-jauh dateng dari FK, dan panitia hari ini <3

Hadiah dari kalian semua :")

Terima kasih buat yang berkenan dateng ke Sempro gue di hari Jumat pagi dan yang nungguin di depan ruangan. Maaf kalo mungkin gue sempat nyuekin or gimana, huhu pokoknya jangan menilai isi hati gue dari tampang gue aja ya. I was so impressed!

***






 Karena sebenar-benarnya berperang adalah berperan dengan diri sendiri, melawan rasa malas...