August 2018 - Lagi Monolog

Tuesday, August 21, 2018

Let's Talk about Mental Health

8:11 AM 0
Let's Talk about Mental Health
Thanks to Amel yang udah mengingatkan gue buat selalu belajar dimanapun dan dari siapapun sumbernya. Alhasil, Sabtu lalu gue pertama kalinya pergi ke @america dan dapet session yang mindblowing banget. Sesuatu yang belum pernah gue pelajarin selama ini. Psikologi dan dunia Mental Healthnya. Thank you juga buat panitia Ubah Stigma yang udah bikin sesi sebagus ini. Selain gue mau nge-test daya tangkap gue selama diskusi, berbagai ke kalian juga nggak dosa kan? Biar kita jadi komunitas yang saling mengedukasi. Jadi, kalo ada any thoughts from what I have written here, please kindly blast my comment box below.

Disclaimer: this post is dedicated as a result of a summary of the discussion, not to judge certain parties or those related to personal disorder case. Please see the reliable person for consultation. 


Sesi 1
Kesehatan Mental pada Anak dan Remaja
Narasumber: 
- Elizabeth Santosa, M.Psi, Psi SFP. ACC
-Margareth Khoman, M.Psi Psikolog

Di sesi ini kita lebih banyak membicarakan tentang parenting. Betapa pentingnya membina pola asuh/parenting ini karena dapat meningkatkan kemampuan anak. Parenting ini pula nggak cuma dilakukan sedari kecil aja, tapi harusnya sejak dalam kandungan juga. Ada beberapa parenting style yang bisa mendeterminasi mental anak hingga nanti ia besar. Gampangnya dipetakan jadi 4:

1. Otoriter
Tipe ini ya tau lah ya gimana. Orang tua maunya A, B, C. Nggak bisa dibantah. Pokoknya anak harus nurutin kemauan orang tua. 

2. Permissive
Kalo yang ini sih pola asuh yang serba boleh. Mending diturutin aja deh daripada nangis, daripada ngambek. 

3. Neglective
Kalo yang ini kebalikan dari pola asuh permissive. Neglective ini style yang mengabaikan. Jadi anaknya mau ngapain, terserah. Orang tua kaya punya dunia sendiri. Mungkin kalo orang tua milenials gini ortu yang suka main gadget lah ya sampe anaknya main sendirian. Kan banyak tuh sekarang. 
4. Demokratis
Pola asuh yang paling ideal adalah pola asuh demokratis. Orang tua melakukan perannya dalam mengetahui kebutuhan anak, meresponnya, dan melakukan hal yang bisa mengeratkan hubungan orang tua dan anak.

Salah satu peran orang tua dalam memastikan kesehatan mental pada anak bisa dilakukan dari mengamati cara anak bersikap, apakah mereka tau potensi dirinya, apakah mereka paham dan menerima kelebihan dan kekurangannya? Ataukah anak tersebut emosional? Kalau ya, itu adalah tanda-tanda anak yang tidak sehat secara mental. Btw, tidak sehat secara mental bukan berarti gila ya teman-teman. Be smart.

Nah sehat mental sendiri menurut WHO memiliki 4 kriteria:
1. Hidup harmonis dengan sesama
2. Tidak memiliki gangguan jiwa
3. Sehat secara fisik (Mens sana in corpore sano)
4. Memiliki kontrol diri (terutama terhadap emosi)

Nah, parenting di digital era is not easy at all. Kita aja sebagai millennials susah banget hidup di digital era, ngadepin netizen uneducated, hate speech, fake news, nah gimana jadi orang tua?
Lantas gimana kalo anak main / diberikan gadget sejak dini?

Ayo guys, be smart. Jangan salahkan gadgetnya. Gadget cuma alat. Games cuma alat. Sosmed cuma alat. Subjeknya ada pada lazy parents.  Gue gedein gak tuh, haha. Sedangkan anak-anak, butuh Coach, bukan tools.  Dan sama sekali nggak ada aturan pakem kapan baiknya anak diberikan gadget, karena parents know best for their children. The point is responsibility. Apakah sudah menjadi orang tua yang punya tanggung jawab? Atau malah neglective? Contohnya ketika anak nggak mau makan sayur. Apakah parents tersebut memilih "oh. Yaudah deh. Berarti emang anaknya nggak suka makan sayur." That's all. Atau malah ngajarin anaknya makan sayur? Anak butuh coach, bukan tools. Karena ketika orang tuanya nggak suka sayur, gimana anaknya mau makan sayur? Ketika orang tuanya sehari-hari main gadget pas lagi sama anaknya, gimana anaknya nggak main gadget? Leading by example is also real for kids.

Topik lain yang juga dibahas adalah sistem sekolah yang sama untuk semua anak, sedangkan tipe setiap anak tidak sama. Apakah hal tersebut ada dampaknya buat perkembangan anak? Ternyata tidak terlalu signifikan. Karena mental anak dibentuk dari keluarga. Pendidikan pertama anak ada pada keluarga. Jadi, kalo ada orang tua yang menyalahkan sekolah karena anaknya nggak pede, harusnya introspeksi dulu kali ya. Apakah parents tersebut pernah menyebut anak mereka "bodoh" atau kata-kata judgement sejenisnya, karena itu sangat berpengaruh ke mental anak.

So, good parents adapted to what children needs. Cause it's not about the parents, it's the children. Kalo parentsnya pengen nonton sinetron sedangkan anak-anak harusnya dikasih tontonan kartun, for example, parents harus ngalah dong. Again, good parents adapted to what children needs. Lastly, to raise a happy kids, parents have to be happy. When life give you lemon, ow kecut yah. Then, don't bring it at home, for your children.


..............to be continued................


Wednesday, August 8, 2018

Pesan Pak Didik, Jangan Pulang Malam-Malam

1:51 PM 0
Pesan Pak Didik, Jangan Pulang Malam-Malam
Tulisan ini gue dedikasikan pada seorang pria paruh baya di tengah hubungan LDR kita. Orang itu adalah Pak Didik. Bapak gue.

Dari dulu Pak Didik adalah yang paling bawel nanyain gue pulang kapan, pergi kemana, sama siapa. Berangsur-angsur, pertanyaan yang dia kasih nggak sebanyak dulu. Tapi, ada satu pertanyaan wajib yang sampe sekarang masih doi tanyain ketika gue away. "Pulang kapan? Jangan malem-malem." Sebagai anak muda yang aktif kegiatan ini itu, gue sama sekali nggak ngerti sih batasan "malem" yang dia maksud kapan. Kalo gue pulang dari organisasi jam 11 malem, di rumah nih, Pak Didik bakal bilang "Dulu mamamu aja maksimal pulang jam 9." Tapi gue nggak mau ngerti. Ya, alasannya masih sama. Jaman sekarang beda sama jaman dulu. Gue aja nih kadang-kadang baru janjian buat nugas keluar rumah jam 8 malem, gimana mau pulang jam 9?

Sebagai anak, gue menuntut mereka untuk ngikutin jaman. Ngasih pengertian kalo anaknya ini alhamdulillah punya prinsip dan bisa jaga diri. Jadi maksud gue, mereka nggak perlu khawatir. Walaupun begitu, Pak Didik tetep bakal end up tidur di Ruang Tamu buat nunggu anak gadisnya pulang ke rumah. Kalo doi nggak ada di sana, berarti doi memilih nunggu di depan gang sambil ngopi dan merenung entah apa. Saking egoisnya, gue tetep aja ngulangin hal yang sama. Pulang "malem" dan langsung tidur. Sedangkan tanpa gue pahami, Pak Didik udah nunggu daritadi, mikir jauh tentang anaknya yang masih di luar kandang dan doi bodo amat kalo besoknya harus berangkat jam 5 pagi PP Surabaya-Malang. Setiap hari. Pokoknya gimana caranya anaknya nggak dijalanan malem-malem. Sampai di suatu kasus-kasus tertentu, dia akan jemput gue atau minta gue untuk nginep kosan Chiki atau siapapun di deket lokasi gue pergi. Sekalian pulang pagi aja. Menurut dia akan lebih aman dibandingkan gue harus nyetir malem-malem.

Nggak cuma soal pulang malem. Pak Didik nggak pernah setuju kalo gue pergi ke gunung. Alasannya sih,"Jangan. Kamu pasti nggak kuat. Nggak pernah olahraga." Oke. Akhirnya gue nego buat dibolehin pergi ke pantai. Nggak cukup sampe disitu, doi pasti bakal nanya perginya berapa orang, berapa jumlah cowok dan cewek dalam rombongan itu, pulangnya jam berapa. Pernah suatu hari gue lolos final suatu lomba dan harus pergi ke Malaysia. Waktu itu gue bilang ke Pak Didik kalo budget gue dikit banget. Gue juga nggak mau ngrepotin dia sehingga no money from him. Gue bilang ke Pak Didik untuk membatasi budget di hostingnya. Sehingga saat itu gue harus berbagi ruang dengan anggota tim gue yang notabene cowo semua. Jadi kita pesen 1 apartment di Airbnb yang punya 2 kamar. Actually 1 kamar, satunya lagi kaya living room gitu dengan couch. Sisanya ruang makan. Intinya gimana caranya kita bisa bagi budget hostingnya bertiga. Sesampainya gue disana, Pak Didik langsung (seperti biasa) nanya-nanya. Nah, doi sampe minta foto fresh gue bareng tim. Jadilah kita selfie bertiga sekaligus gue kasih kontak mereka.

Pak Didik nggak pernah ngelarang gue deket sama cowok. Katanya, anak-anak jaman sekarang kalo dilarang-larang malah ngelunjak. Tapi, lagi-lagi ada syarat yang dia minta. "Suruh dia temuin ayah dulu." Akhirnya gue jadi sadar diri. Tiap gue punya temen deket cowok, pasti bakal gue ceritain ke dia.

Semalem, gue diskusi masalah keluarga sama om dan tante, karena selama 3 bulan ini gue nginep rumah mereka buat keperluan magang. Banyak banget yang kita diskusiin. Akhirnya di suatu isu, gue sampe pada titik paham kenapa sih bapak gue sampe sebegitunya selama ini. Om pun ngaku kalo bapak gue sering tiba-tiba ngechat buat nanyain kabar gue. Padahal, Pak Didik jaraaang banget ngechat gue. Nelpon juga nggak pernah kalo nggak gue yang duluan.

Kata om, beban terberat seorang laki-laki dewasa bukan ke istrinya, melainkan jagain anak perempuannya. Karena kita tau sendiri kalo being a woman is the most awesome thing ever. Saking awesome-nya, lecet dikit, pasti bakal ngefek banget. Di saat anak perempuannya terluka (secara batin maupun fisik), saat itulah setiap naluriah bapak/ayah secara langsung akan menyalahkan diri mereka sendiri. Nah, dengan dunia sekarang yang makin berbahaya, ditambah lagi banyaknya manusia-manusia aneh yang bertingkah, bisa dibayangkan gimana sih perasaan orang tua kalo anak gadisnya belum pulang?

Gue nggak akan pernah kasih tau doi tentang tulisan ini. Pasti bakal kegeeran dan dibahas-bahas gitu deh pas di rumah. Yang ada gue malah dibully. Pada akhir kesimpulannya, gue mau ngucapin terima kasih sama ayah buat segala proteksinya selama ini. Gue ngerasa beruntung banget bisa jadi anak yang kaya sekarang karena didikan mereka. Segala kebaikan gue akan gue hargai sebagai buah upaya mereka mendidik gue. Tapi, gue nggak akan pernah bolehin seseorang yang memandang kesalahan dan keburukan gue sebagai keburukan mereka juga. Karena kesalahan murni karena pribadi gue sendiri.

Sesaat setelah gue sadar kalo gue selama ini kurang paham apa maksud ayah begitu selama ini, gue langsung bilang makasih disertai derai air mata. Nggak tau kenapa gue rasanya fragile banget kalo ngebahas soal orang tua. Pas sungkem aja baru juga salim, gue udah mewek kejer-kejer. Nggak kebayang kalo gue pas nikah nanti, belom 5 menit make up udah luntur duluan.

Tuesday, August 7, 2018

Belajar dari Remehan Orang Lain

9:25 AM 0
Belajar dari Remehan Orang Lain
Sejak beberapa bulan yang lalu, banyak yang nanya dan ngajak gue diskusi. Pertanyaannya, "Gimana sih caranya bangkit kalo sering diremehin? Kalo udah kerja keras tapi nggak membuahkan hasil, gimana? Diremehin terus pokoknya!"

Adakah dari kalian yang punya pertanyaan yang sama?

Well, menurut gue we do not live to pleased everyone. Orang yang kerja keras hanya untuk membuktikan pada orang lain bahwa dirinya bisa, niatnya kurang tepat. Sekarang giliran gue yang nanya. What for? You need people approval? You think you would be happier if people nod their heads and said "Wow, we're wrong and you are awesome!" Gue sangat nggak setuju kalo orang-orang memotivasi dirinya maupun memotivasi orang lain dengan bilang "Buktikan ke semua orang bahwa kamu bisa!" Such a bullshit. Selamat, kalian terperdaya.

Gue punya pendapat lain soal ini. Kita nggak perlu kok sampai naruh kaki di kepala, kepala di kaki cuma buat "balas dendam" dan approve people kalo mereka salah menilai kita. Menurut gue, lebih tepat ketika kita kerja keras untuk diri sendiri, buat buktiin only to ourself that we are not like they said. Penilain orang terhadap kinerja kita itu pasti bakal ada. But, who cares? Manusia sekarang sibuk membuat standar yang sebenernya nggak ada. 

Gue sendiri tumbuh dan berkembang dengan remehan orang-orang. Gue punya mimpi besar yang seringkali kedengeran terlalu besar buat orang lain. Pokoknya menurut mereka gue nggak mungkin mampu. Ketika orang lihat gue kesandung-sandung, mereka senengnya minta ampun. Kesel sih pasti, tapi lantas nggak membuat gue jadi punya kewajiban untuk showing ke mereka apalagi sampe dendam segitunya cuma buat bungkam mulut orang-orang yang ngeremehin. Kenapa sih? Once, we do that gue yakin apa yang kita lakuin bakal nggak sesuai standar dan value hidup sendiri. Kita bakal sibuk menyesuaikan dengan langkah orang lain supaya bisa dilihat. Kita bakal sibuk cari tau gimana sih standar orang-orang itu dan berusaha mencapai standar yang nggak pernah kita buat sendiri. 

Lain halnya ketika you hit your score and you said, "Tuhkan, self! You are not like what people think." Done. Lo akan mengapresiasi diri sendiri dengan benar, apa adanya, dan lebih mencintai diri lo sendiri. Lo akan sadar lo punya prinsip dan track record, tanpa berusaha menjadi standar yang orang lain buat.

Gue banyak mengambil hikmah dari perjalanan hidup gue dan perjalanan orang lain. Contohnya ketika gue naik panggung buat pitching startup gue, ketemu orang lain, belajar kesana sini, niatnya nggak buat nunjukin ke orang kalo gue pantas dilihat orang. Cuma satu niat gue,"Ayo, jangan malu-maluin diri sendiri." Udah. Itu doang. 

Buat sobat yang merasa usahanya nggak membuahkan hasil, mungkin kita butuh waktu yang lebih lama lagi buat sabar. Daripada menilai diri kita dengan kata "nggak" (nggak bisa, nggak mampu, nggak capable, and all the shit things), anggep aja "belum". Kan kita masih hidup, masih bisa berproses.