2017 - Lagi Monolog

Tuesday, December 26, 2017

(Assertiveness) Lugas : Tegas namun Tak Menyakiti Orang Lain

4:16 PM 0
(Assertiveness) Lugas : Tegas namun Tak Menyakiti Orang Lain

Assertive, dalam kamus diartikan tegas. Sedangkan assertiveness berarti ketegasan. Menurut Rhenald Kasali, assertiveness adalah sebuah training tentang keberanian menyatakan apa yang dipikirkan atau dirasakan secara jujur dan terbuka tanpa mengganggu hubungan. Celakanya “tegas” disini seringkali diartikan sebagai sesuatu yang garang. Seperti halnya pendapat tentang kepala negara yang seringkali kita dengar,”Pak Presiden nggak tegas!” Tapi, lihatlah bagaimana cara orang-orang ini menyampaikannya. Semua disampaikan dengan nada tinggi penuh kemarahan—agresif.




Di jalan-jalan raya kota, ribuan caci maki sering dilontarkan oleh orang-orang yang nggak sabaran. Sepeda motor, angkutan kota, mobil, bus, truck, semuanya hingar bingar nggak mau kalah membunyikan klakson hanya karena lampu sudah hijau tapi kendaraan di depan kurang sigap menginjak pedal gasnya. Jalanan pun rusuh, berisik. Nggak ada yang mau ngalah.

Di Kota Malang sendiri pengendara sepeda motor brutal beraksi di jalanan. Mungkin sambil berkendara mereka berimajinasi ada di sirkuit balapan. Situasinya sesak. Lampu belum beranjak hijau, mereka sudah memacu kendaraan. Padahal ada orang sedang menyeberang. Alhasil yang nyebrang cuma bisa bersungut pelan sambil mengelus dada, tak banyak pula yang menyumpah serapahi si pembalap gadungan.

Di lain pihak, kita juga banyak menyaksikan orang-orang yang membiarkan haknya dilanggar orang lain. Ini hidup saya selama tujuh tahun dalam kurun waktu tiga tahun yang lalu. Tiap kali ada kerja kelompok rasanya saya sendirian yang menanggung beban. Saya merasa porsi saya lebih banyak daripada orang lain. Saya yang membagi tugas, saya yang menjadi back-ing-an, ujung-ujungnya saya pula yang mengerjakan. Saya yang berkorban banyak. Orang lain bilang “kalo kamu merasa berkorban, maka sebenarnya kamu tidak sedang berkorban.” Ah, bodo amat. Memang saya tidak betul-betul ikhlas melakukannya. Lebih tepatnya saya tidak ikhlas diperlakukan seperti itu. Tapi, saat itu saya memilih diam. Takut. Entah pada siapa. Nggak berani protes atau setidaknya menyampaikannya ke teman-teman yang lain.

Contoh lainnya bisa kita saksikan di pom bensin, misalnya. Orang-orang tak berbudaya, datang dari lajur yang berbeda, belok-belok, merapat ke depan, diam-diam memotong jalan, memotong antrean, orang yang di’pepet’ diam saja, bahkan petugas pom bensin pun melayaninya.

Jadilah begitu, di satu pihak ada yang agresif, ada pihak lain yang susah bilang “tidak”. Jadilah kekacauan.

Orang-orang yang pasif terlalu toleran terhadap maunya orang lain, tetapi mereka tidak bisa menghormati dirinya sendiri. Sebaliknya orang-orang yang agresif tadi sering banget memicu konflik. Kalau gilirannya diserobot, mereka rela mengeluarkan kata-kata yang merendahkan martabat orang lain. Tapi, hobinya nyerobot-nyerobot. Orang-orang ini terlalu respek terhadap dirinya sendiri.

Lucunya, di tengah-tengah mereka ada kelompok pasif-agresif yang cenderung sarkastik. Hidupnya tidak diserobot, tapi juga tidak berani menegur atau memperbaiki cara-cara yang dianggap tepat. Ngomongnya kasar, sinis, tapi tidak di depan orang yang bersangkutan. Kalo orang Jawa bilangnya “nggerundel ndek mburi” atau ngomongnya di belakang. Beraninya pada teman-teman lewat gossip atau sosial media dengan nama samaran.

Ibaratnya saya lagi ada di sebuah loket antrean. Makan misalnya. Di tengah antrean, tiba-tiba ada sekelompok orang yang datang dari luar antrean dan ikutan ngantre di depan saya—karena ada temannya yang lebih dulu antre di depan saya—tanpa permisi.

Kalau saya orang yang pasif, meski kesal, saya akan diam seribu bahasa. Kalau saya orang pasif-agresif, saya juga kesal. Tapi saya cuma berani ngomel dibelakangnya sambil nyindir-nyindir.

Di Amerika, Kanada, bahkan Thailand, assertiveness sudah diajarkan di sekolah-sekolah sebagai wadah pembentuk karakter dan kepribadian. Dengan bekal itu, bawahan tidak akan ragu membiarkan atasannya berbuat kemungkaran. Pun dengan di kampus-kampus sekalipun, kita nggak akan ragu melaporkan teman-teman kita yang nyontek saat ujian. 

Kita memerlukan suasana win-win, bukan win-lose apalagi lose-lose. Sikap yang paling baik untuk segala kekacauan yang terjadi sebenarnya adalah assertive. Kita dilatih untuk berbicara terbuka, menyampaikan unek-unek, mengambil hak yang telah diambil orang lain, namun dengan seni yang tinggi agar tidak merendahkan martabat kita maupun orang lain. Malah mereka dapat menerimanya karena kita menegurnya dengan cara yang halus, santun, dan tidak menyakiti. Nah, itulah sebabnya assertiveness perlu dilatih.


___________________________________________________________

Dirangkum dan didaur ulang dari tulisan Rhenald Kasali : Assertiveness

dalam Self Driving.

Wednesday, December 20, 2017

Stay Strong

9:10 AM 2
Stay Strong



Duka sedang menyelimuti K-Popers di seluruh dunia atas meninggalkan seorang member SHINee, Kim Jonghyun. Ia diberitakan meninggal karena karbon monoksida yang berasal dari batu bara yang dihirupnya. Dari surat yang ia tinggalkan, Jonghyun merasa depresi karena merasa kehilangan ‘jiwa’ di musik yang udah membesarkan namanya, serta hal-hal lain yang nggak gue ngerti karena itu hangul semua. Kehilangan ini punya arti yang dalem banget buat para K-popers, apalagi Shawol (sebutan untuk fanbase SHINee), serta teammatesnya, SHINee itu sendiri. Gak memungkiri, gue juga K-Poper, back then. Kebetulan, gue adalah Shawol.

Seperti yang kita tahu bahwa dunia lagi panas akibat pernyataan Trump yang menggunakan hak veto USA untuk memutuskan memindahkan Kedutaan AS ke Yerusalem dan mengklaimnya sebagai ‘the capitol of Israel’. Pertentangan dan kerusuhan terjadi untuk menolak gagasan Bapak tersebut. Boikot udah mulai dijalankan dimana-mana. Negara-negara Islam sudah berunding lewat Konferensi luar biasa di bawah naungan OKI. Aktivist-aktivist humanisme bermunculan dan mulai rutin turun ke jalan menyuarakan suara penolakan tersebut. Akun-akun sosial media mulai bikin konten tentang bela Palestine di jalur yang berbeda, dunia maya.



Nah, kebetulan berita duka atas meninggalnya member SHINee ini terjadi di tengah-tengah panasnya konflik dunia tentang Yerusalem. Sama. Beribu-ribu orang menyampaikan rasa duka mereka lewat Sosial Media. Bahkan mereka buat konten yang khusus didedikasikan untuk Jonghyun (rose for Jonghyun) yang di share dan di post ribuan mungkin bahkan jutaan orang di luar sana. Dan mungkin menjadi viral. Sampe temen gue yang nggak K-Pop aja tau, saking banyaknya postingan itu di explore mereka. Kaya berasa semua orang ngomongin ini.

Ada akun media sosial yang kemudian menyetarakan kedua berita di atas—yang menurut gue pribadi nggak ada hubungannya. Akun ini posting :
“Ribuan manusia dibunuh di Palestina, mereka diam. 1 plastik bunuh diri, mereka menangis.”
Well, ditambah lagi ada orang yang nge-DM gue. Mbak-mbak. Oh salah. Dedek-dedek mungkin. Because I think she’s not mature enough. She said,
“haduh saudara-saudara kita yg sedang mati-matian berjuang demi menegakkan agama kita sendiri malah diabaikan. Sedangkan manusia kafir yg bahkan meninggal karena bunuh diri atau bisa dibilang ga punya otak bcs udh dikasih hidup masih ga bersyukur haha. Haduh jaman now emang yaa agak miris sih.”
Kadang gue jadi bertanya-tanya pada diri sendiri. Orang-orang itu sebenernya tau nggak sih tentang apa yang terjadi di luar sana? Apakah mereka udah observe atau hanya mengkonsumsi apa yang disampaikan media? Dan lagi, dua hal itu nggak ada nyambung-nyambungnya sama sekali.  Concern-nya beda. Kenapa gitu ya disambung-sambungin kalo udah jelas gak ada relasinya. Bukan berarti kalo ada temen kita yang meninggal kita tetep bela-belain Palestine dan jadi nggak peduli sama sekitar kan? Disini yang gue bingung, apa sih tolak ukur dari sebuah aksi? Darimana orang-orang ini tau bahwa orang-orang yang berduka atas Jonghyun ini nggak melakukan apa-apa buat Palestina? Final question gue, aksi seperti apa sih yang membuat orang-orang ini bisa membuat penilaian seperti itu atas aksi orang lain—yang mereka anggap tidak melakukan sesuatu sama sekali. Nggak cuma masalah ini aja sih. Sering banget loh orang-orang membuat sendiri sebuah sistem penilaian yang pada akhirnya dibuat untuk menilai aktivitas orang lain. Padahal tolak ukur itu tidak pernah ada.

Kedua, gue mau bahas soal depresi itu sendiri. Menurut portal-portal berita dan quick observation gue, Jonghyun meninggal karena depresi. Okay, some people are in deep of condolescene. But, gue coba lihat peristiwa ini dari sisi yang berbeda. Sebenernya ada beberapa hal yang bisa diambil dari peristiwa ini. First is about the depression itself. Gue masih 20th hidup di dunia ini. Masih 3th dianggap mampu ‘belajar untuk jadi dewasa’. Alhamdulillah, selama 20th ini gue masih punya dan meyakini Tuhan. Selama itu pula gue nggak pernah memberi cap ke diri gue—seberat apapun masalah yang gue punya—dengan kata “depresi”. Bukan karena jaim dan sok kuat, tapi lebih karena mau berhati-hati. Menurut gue, depresi adalah level teratas dari kadar emosi negatif,  while di bawahnya ada stress. Bahkan gue sama sekali nggak inget pernah men-cap diri ini dengan kata “stres”. Those words mean soooo deep for me.

Gue suka berargumen dengan diri sendiri. Berdialog. Ngomong sendiri.

Ketika gue merasakan sesuatu, otak dan perasaan gue akan aktif dan mendebat first hypothesis itu. Kadang hal ini memperlambat opini akhir gue, membuat gue sedikit lebih lama mikirnya dibanding orang lain. Tapi, ternyata hal ini ada gunanya untuk hal-hal tertentu. Contohnya, ketika gue punya masalah. I do believe that everyone has their lowest point of life. Dihubungin dengan teori gue di bahasan pertama. Siapa sih yang menentukan masalah ini lowest point atau bukan? Brother, kita sendiri. Kita yang nggak secara sadar nyiptain fragmen-fragmen itu, dude. Setiap gue ada masalah, gue bakal debatin itu sama otak dan perasaan, menentukan siapa yang kala itu.

The point is when I took those words either depress or stress to my problem, gue akan berpikir “Oh, jadi ini ya kemampuan maksimal gue menampung beban? Segini doang ya?” Gue tau setiap orang punya kapasitas yang beda-beda dan stage yang macem-macem dalam hidup. Tapi gue belajar untuk nggak membatas-batasi kemampuan dan kekuatan gue, atas izin Allah. Tujuannya supaya gue bisa tau apa lagi sih yang bisa gue lakukan di hidup ini? Kalo misal gue bisa membatasi diri gue, berarti gue udah nggak bisa lagi menantikan hal luar biasa yang bisa terjadi di hidup atau yang bisa gue buat. So, when I feel that everything is tough and I can not even escape it, gue selalu yakinin diri gue kalo “Well, I have Allah that is bigger than you, hey problem!”. Ketika gue ngrasa banyak banget beban dan sesuatu menghimpit di saat yang bersamaan, gue sadar bahwa gue cuman lagi stuck dan belum nemu solusinya aja. Time is healing and the best motivator is just ourselves. Maka, ketika gue yakin sesuatu bakal berlalu, ya gue secara nggak sadar akan nemu sendiri solusinya. Dan gue selalu percaya kalo hujan bakal reda kok. So, I dont even want to use “those words” in the whole part of my life. Dan gue percaya, orang-orang yang lagi dikasih masalah, mereka itu pilihan.

Setiap orang punya masalah, setiap orang punya kemampuannya masing-masing, setiap orang punya stage-nya sendiri-sendiri, dan setiap orang punya sudut pandang sendiri tentang bagaimana mereka akan melihat masalah itu. Ada orang yang memilih bunuh diri, ada pula orang yang memilih untuk nggak menganggap masalah itu sebagai beban. Ada orang yang murung di kantor, ada orang yang ketawa mulu tiap hari. Ada orang yang curhat di media sosial, ada pula orang yang memilih posting hal-hal yang positif. Semua itu pilihan and it is really depends on you. 


You are stronger than you think!

Saturday, August 26, 2017

PROFESIONALISME : BERMAIN PERAN DI SEGALA SITUASI

10:07 AM 2
PROFESIONALISME : BERMAIN PERAN DI SEGALA SITUASI
Beberapa waktu belakangan, gue coba iseng sharing di Instagram gue tentang profesionalitas versi gue. Gue Cuma menyimpulkan dari pengalaman gue dalam mengelola kehidupan sosial dan keorganisasian gue selama kuliah. Yah, kira-kira selama 2 th kebelakang lah. Lalu tanpa gue sangka-sangka ternyata feedback yang gue dapet banyak banget dari snapgram yang gue share tersebut. Gue jadi berpikir untuk membahas ini lebih dalam lagi.

Biasanya profesionalitas identik dengan bagaimana kita mengelola something based on its priority. Nah prioritas itu tergantung dengan bobot dan tingkat urgency-nya. Oke, intinya profesionalitas yang gue percayai selama ini identik dengan the way you pick some condition based on its priority and urgency. From the highest to the lowest scale of it. Namun, makin lama gue ngerasa bahwa profesionalitas itu nggak cuma sekedar gimana gue mengerjakan sesuatu berdasarkan kedua hal di atas. Ada beberapa hal lain yang bisa gue ceritain disini as my conclusion selama sepak terjang gue berkehidupan sebagai makhluk sosial.

Karena gue masih anak kemaren sore dan masih mahasiswa. Gue bakal pake perspektif mahasiswa buat ceritain ini.

Mahasiswa kan identik dengan segudang kegiatan. Kadang kita ngerasa stres banget kalo satu pekerjaan belum selesai atau ngalamin suatu kendala. Nah, biasanya ketika masalah yang ini belom kelar, dateng lagi masalah yang lain. Numpuk. Banyak. Trus nggak kelar-kelar. Belom lagi tuntutan hidup daaan masalah lain-lainnya. Nah, disini butuh banget yang namanya manajemen stress. Ini yang gue bilang merupakan aspek profesionalitas versi gue. Mengapa penting? Biar kita nggak mencampur-adukkan segala masalah. Kalo ada kendala di organisasi A misal, jangan sampe kita bawa-bawa itu ke lain-lain tempat. Yang ada kita cuma bakal nyebarin masalah yang sama ke tempat lain. Bukannya kelar, eh malah bikin masalah. That’s so damn bad!

Selain itu ada tingkatan yang lebih tinggi lagi tentang profesionalitas ini. Gue sebut sebagai manajemen hati, yaitu nggak mencampur-adukkan masalah kerjaan dengan masalah personal. Most of my friend said that was so difficult to be implemented. Contohnya ketika kita nggak suka sama cara kerja rekan kita, yaudah. Bukan berarti ntar pas ke kantin kita nggak mau satu meja sama dia kan? Atau sebaliknya. Ketika kita ngrasa nggak cocok sama personality orang lain, bukan berarti kita punya hak untuk mengintimidasi dia di tempat kerja kan? Semua itu ada batas-batasnya.

Mungkin ini bakal susah untuk diimplementasi, tapi really, sebenernya konsepnya ringan banget. Kita harus mulai yakin dan start to think that :
“What happens here stays here.”

That’s the one and only rule yang berhasil banget gue terapin. Mungkin beberapa temen gue ngerasa sulit karena emang belom terbiasa. Mungkin sulit karena kita masih berpegang teguh pada ego kita masing-masing. Disini perlu banget yang namanya skill bermain peran. Salah satu indikasi diri kita punya skill leadership adalah bisa bermain peran. Pretend like nothing happen di tempat sebelah padahal di tempat sebelahnya lagi ampe pusing nangis-nangis. Tapi, dengan begitu, percaya deh. Kadar stres dalam otak kita tuh nggak akan berkembang biak.

Yaaa intinya profesionalitas itu juga terkait sama batas-batas tertentu. Nggak semua hal bisa dibawa-bawa ke hal lain. Nggak semua yang salah di satu sisi bakal salah di sisi lainnya. Yang ada kita sendiri yang hancur. Hancur di semua sisi. 

Terakhir, manajemen hati dalam sikap profesional termasuk offensing di dalamnya. Gue baru sadar kalo itu termasuk dalam asas-asas profesionalitas versi gue right before gue nulis postingan ini sih. Gue sering banget dikira marah-marah sama temen gue karena sikap yang gue anggep sebagai suatu ketegasan alih-alih suatu kemarahan. Jadi, hati-hati buat kita-kita yang punya sikap tegas. Kadang orang lain menganggap ketegasan itu sebagai sebuah kemarahan. Niatnya negasin eh ditangkepnya lagi marah-marah.

Kan komunikasi itu disebut komunikasi kalo ada pengirim informasi (speaker) dan penerima informasi (listener). Ada 2 kemungkinan sih disini. Si speaker ngomongnya kurang pas  atau listenernya terlalu offensing ke informasi yang didapet. Wah cukup susah sih. Si speaker mungkin niatnya ngomong ke 1 orang aja. Eh, orang lain yang nangkep info yang sama merasa info tersebut nggak cocok sama dia. Muncullah kalimat "Lah kok gitu sih?". Because sometimes offensing comes from your deeply mind yang too far in processing information aja kok. Bahasa gaulnya baper. Nah, most of people biasanya kurang memilah konteksnya, berpikiran sempit, dan terlalu percaya apa yang dia anggap benar padahal belum tentu. Intinya perlu pengertian dari kedua belah pihak sih. Speakernya kudu tau karakteristik listenernya dan listenernya ini harus tau dalam konteks apa sih si speaker itu ngomong demikian.

Nah, beberapa hal di atas itu yang gue simpulkan sebagai aspek dari profesionalisme. Tetep. Versi gue. Karena jelas pengalaman yang kita dapet beda. Kalopun sama, perjalanannya pasti beda. Jadi ini bukan kesimpulan mutlak. Karena gue cuma anak kemaren sore, bukan ahli. Thanks for reading J


Tuesday, August 1, 2017

Tech4Good : Nongkrong di Internet

1:40 PM 0
Tech4Good : Nongkrong di Internet
Sekitar sebulan yang lalu gue diundang untuk menghadiri acaranya Marketeers : Tech4Good di Surabaya. Gue emang gemar baca Marketeers semenjak gue gabung di EI Lab (Entrepreneurship and Innovation Laboratory) di fakultas gue. Sebagai orang yang tertarik di Marketing gue sangat antusias pergi ke Surabaya naik bus bareng 9 orang lainnya dari Lab. Yah, walaupun ada beberapa poin yang mengecewakan dari acara tersebut, tapi gue mencoba meng-highlight hal positifnya saja.

Sebagai generasi milenials, internet dan teknologi udah jadi teman dekat kita sehari-hari. Entah disadari atau enggak, surfing di internet udah jadi kebiasaan. Gue sebut kegiatan gue itu nongkrong di Internet. Internet menjadikan segala hal tembus pandang. Lo bisa jadi apa aja dan pergi kemana saja cuma dengan klik. Hari ini gue mau main ke Amerika, besok gue wisata kuliner ke Korea, beberapa jam lagi gue mau lihat pemandangan di Alaska. Ntar sore gue mau tau kisah hidup Nadiem Makarim, 10 menit berikutnya gue mau jalan sama Jack Ma, malemnya gue mau makan malem sama Harry Styles. Apa aja.

Thanks to Larry Page dan Sergey Bin yang udah mendedikasikan berjuta-juta jam berharganya untuk membangun dan mengembangkan Google. Makasih juga kepada Telkom Indonesia yang udah ngesupport jaringan internet di negeri ini. Makasih, sekali lagi. Entah gue pantes atau enggak disebut sebagai seorang Netizen karena menurut Marketeers dalam serial Youth, Woman, Netizen, Netizen adalah sebutan untuk orang yang mengakses internet selama kurang lebih tiga sampai empat jam sehari dengan berbagai gadget. Relevan dengan kondisi kalian? Berarti kalian termasuk Netizen.

((btw gue emang nggak tau gimana caranya nulis dengan indah. Jadi tolong maklum kalo pemotongan paragraf dengan ide bercampur-campur itu))

Nah internet tidak akan bisa berfungsi tanpa teknologi. Mudahnya, teknologi itu berguna sebagai penopang internet. Keduanya bisa berfungsi secara positif dan negatif. Tergantung bagaimana cara kita memanfaatkannya.

Pernah dengar istilah TweetWar? Atau pernah jadi salah satu yang masuk ke dalamnya? TweetWar ini adalah salah satu fenomena penggunaan internet in a bad way. Maraknya tweetwar sepertinya sudah agak lewat, karena pengguna twitter tidak se-booming dulu. Walaupun sekarang twitter masih tetap digunakan, cuman untuk value yang berbeda.

Berita Hoax.
Ini salah satu hal yang sangat di-capslock di acara Tech4Good saat itu. Maraknya penyebaran berita Hoax didominasi di situs Facebook. Sekarang, wabahnya sudah mulai menyebar ke situs-situs dan media sosial lainnya seperti Instagram. Pengguna internet pun dituntut untuk selektif dalam memilih, memilah, dan membaca berita yang judulnya mengandung kontroversi. Faktanya, banyak pengguna internet yang tidak hati-hati dalam membaca. Judul berita yang mengandung bias itu seringkali dimaknai sebagai inti berita, padahal bisa saja itu cuma pancingan supaya orang-orang tertarik buat baca. Itu ilmu Jurnalistik. Sayangnya, sulit membuat orang sadar akan hal itu. Maunya menyebarkan apa yang dipercayainya sendiri, tanpa riset mendalam, tanpa diskusi, tanpa deep-diving. Langsung telan. Akibatnya banyak banget bad comments yang berceceran. Sudutin sana-sini, adu domba, SARA, isu ini dikaitkan dengan isu itu, dll. Lama-lama gue sumpek. Nggak terhitung deh berapa banyak akun official yang "ternyata" menebarkan berita-berita palsu gue unfollow. Laman Facebook, bahkan temen gue juga gue unfollow.  Gue mencoba mempersempit tongkrongan dan kawasan main gue untuk beberapa hal, seperti baca berita nggak di medsos. Hal ini memaksa gue untuk tetap baca koran atau majalah karena terbukti lebih real aja gitu. The point of why online can't change offline. Opsi lain adalah membaca berita di situs resmi koran-koran tersebut. Walaupun begitu, sebagai pengguna internet yang cerdas, tetep harus bisa membandingkan berita dan informasi, serta nggak menelannya mentah-mentah.

Contoh lainnya, masih banyak diantara kita (mungkin termasuk gue sendiri) masih menggunakan internet dan teknologi ini untuk hal yang nggak guna. Misal, kepoin orang, komentarin orang, dan hal-hal menuai tubir lainnya. Selain menambah dosa, kita cuma habisin waktu doang. Or cuma update postingan, snapgram yang isinya nggak berfaedah, live yang cuma makan doang. Udah kena radiasi, eh tapi nggak dapet apa-apa.

Nggak dipungkiri lagi kalau teknologi udah menggeser way of life masa kini. Kemunculan startup dengan misi menanggulangi masalah yang ada, adalah salah satu contoh Tech4Good. Ngeblog informatif, bikin vlog informatif, nulis artikel informatif, juga bisa jadi opsi buat menggunakan teknologi in a good ways. Opsi lainnya, kita bisa baca ebook, baca kisah inspiratif, mengetahui informasi tentang suatu negara, nonton video TEDx mungkin. Sebuah startup di London memanfaatkan GPS dan Teknologi untuk mengontrol kadar polusi di London dengan bantuan burung merpati. Timmy, CEO Kitabisa.com membuat situs kotak amal online untuk menghubungkan orang baik. Sebetulnya masih banyak banget yang bisa kita lakuin di internet. Dan itu pilihan.

Kalau hal-hal di atas masih terlalu berat untuk kita, kita bisa mulai dengan cara yang lebih mudah. Gue orang yang sangat mikir kalau mau bikin caption. Sampe Nama Instagram gue sekarang adalah "Spesialis Caption Panjang". Karena iya, sepanjang itu. Gue tau mungkin ada juga orang yang cuma skip foto gue beserta captionnya. But, what I believed kalo caption bisa turn into something powerful gitu buat orang yang ngebaca. Really believed that.

Selain itu, kalau kita nggak bisa menggunakan teknologi dan internet dengan baik, masa depan kita bisa terancam. Perusahaan-perusahaan sudah mulai menerapkan underground recruitment, yang artinya mereka tidak hanya menilai apa yang kita perlihatkan. Mereka bisa stalking medsos dan akun-akun kita hanya untuk menilai seperti apa sih diri kita yang sebenarnya. Ditambah lagi, apa yang sudah kita tuai di internet it means last forever. Bakal terekam di awan. Sebersih apapun gue ngehapus bad view tentang diri kita di internet, siapapun bisa menguaknya kapanpun dia mau.

Buat gue pribadi, internet dan teknologi udah mulai mendisrupsi hidup. Karena gue udah mulai expense too much time on handphone, but less on books. Padahal gue suka baca. Bacaan gue numpuk nggak bohong. Biasanya gue mampu buat habisin 1 buku untuk seminggu. Atau parah-parahnya 1 buku untuk 3 hari aja. Sekarang boro-boro deh, gue ngerjain tugas kuliah aja nongkrong di internet. Jujur aja gue takut tergerus oleh jahatnya dunia ini. Karena tindakan preventif apa sih yang bisa kita lakuin di internet yang menghapus batas-batas ini? Kecuali gue sendiri yang memproteksi diri, akal, dan pikiran gue dari hal-hal bad from the internet.

Oke, intinya gue cuma mau sharing aja isi acara Tech4Good di Surabaya kemarin. Semoga kita bisa jadi rakyat yang cerdas lahir dan batin ya dalam memanfaatkan apa yang telah disuguhkan. Bisa jadi berkah buat yang bikin kalau kita bisa nongkrong baik-baik.



Wednesday, June 28, 2017

Menjadi Perempuan dan Pemimpin

3:26 PM 0
Menjadi Perempuan dan Pemimpin


Mungkin gue belum sempat menulis di blog ini tentang project yang sedikit banyak mengubah hidup gue. Ah, bukan. Maksudnya, gue sedikit banyak berubah melalui sebuah project. Mungkin next time gue bakal bikin postingan khusus tentang itu. Sekarang gue mau ngomongin tentang perempuan yang menjadi pemimpin.

Gue aktif di sebuah organisasi internasional based on my campus, AIESEC Local Committee Universitas Brawijaya. Ini bukan organisasi bahasa inggris, tapi lebih ke organisasi kepemimpinan. Aktivitas di organisasi ini beda sama organisasi leadership lainnya, karena we do leadership through exchange. Meskipun sampe 2th term gue belom pernah ada kesempatan untuk exchange. Doain aja yaa. Nah, karena produknya adalah exchange, kerjaan utama kita (terutama banget di departemen gue) adalah bikin project sosial based on local issues yang ada di sekitar, mencoba solve itu dengan mengajak mahasiswa lokal dan asing dari seluruh dunia untuk jadi volunteernya. Yang menjadi tantangan dalam membuat project-project ini adalah support system yang sedikit, bahkan gue bisa bilang super duper sedikit untuk project internasional kaya gini. Gue cuma punya 9 team member dan kita harus running project selama 8 bulan total di term winter dengan brand One South East Asia Project. Hebatnya, di term gue semua project presidentnya adalah perempuan.

Disini gue mau ngomongin soal emansipasi. Terima kasih untuk Ibu Kartini yang sudah memperjuangkan emansipasi wanita sampai kita semua bisa merasakan manfaatnya sekarang. Gue nggak ngerti makna harafiah dari kata "emansipasi" itu apa sampe gue bisa ngerti sendiri maknanya. Sekarang pun gue akan menerjemahkan emansipasi itu sendiri sebagai persamaan hak atau derajat.

Kalo lo pernah nonton videonya Jack Ma di SCMP.TV tentang The Secret Sauce of Alibaba, beliau bilang "hire women as many as possible. Because women care for other people much more than men." Bahkan beliau juga menambahkan bahwa women are going to be powerful in 21st century.

Gue bersyukur bisa punya kesempatan memimpin sebuah tim kecil yang impactful buat sekitar (semoga). Lebih bersyukur lagi ketika gue sadar gue perempuan. Sedikit banyak gue bisa membroke-up rantai stereotipe kalau perempuan itu lebih mengedepankan perasaan dibanding akal. Ya, itu sih tantangannya. Di awal project gue susah banget buat deal with my self ketika gue melihat sekitar gue yang organisasinya dipimpin oleh laki-laki terlihat lebih lancar dibanding project yang gue pimpin. Gue nggak bisa serta merta meng-cut "anak" gue ketika dia lost. Gue musti cariin dia dulu, ngajak ngobrol, hasut dia, dll. Tapi memang perilaku-perilaku yang menggunakan feeling seperti ini nggak selalu bisa work on segala situasi. Kalo nggak gitu ya perkembangan tim lo bakal super lambat dan lo akan stres sendiri buat deal with yourself. Sedangkan, sosok pemimpin harus orang yang kuat, yang bisa empowering others, but at the same time dia harus bisa "ngemong" anak-anaknya.

Pelajaran yang gue ambil dari journey tersebut adalah sesekali gue harus mengurangi kadar feminimity gue sebagai hasil bawaan as a woman dan menaikkan kadar masculinity gue jauh lebih tinggi. Lagi-lagi, kalo nggak gitu gue nggak akan bisa marah kalo member gue emang saatnya dimarahin, gue nggak bisa tegas buat menggerakkan tim tersebut, dan gue nggak bisa kuat dan pretend like everything's okay kalo tim gue terguncang. Pernah gue nangis sambil nelpon personal motivator gue buat konseling karena international volunteer gue cuma 3 orang doang. Disitu dia bener. Emang gue yang lemah. Emang gue yang nggak bisa gerakin tim gue untuk punya pengertian yang sama tentang impact yang akan kita buat. Sejak saat itu, gue lebih ekspresif dan punya power walaupun on the other side gue masih saja perempuan, yang lembut hatinya.

Kalo masih ada orang yang suka aneh ngeliat cewek itu mimpin sesuatu dan dia itu cowok, mungkin dunianya tertukar. Kemana aja dia ketika sosok pemimpin dibutuhkan? Sedangkan perempuan itu punya tingkat careness yang tinggi. Ya akhirnya kita dong yang maju. Suka capek juga sama laki-laki gengsi tinggi tapi nggak ngapa-ngapain.

Sekarang menghalang-halangi perempuan untuk keluar, talk to people, dan meraih mimpi mereka itu kaya gimana yaaa. Nggak relevant aja. Kalau sudah berumah tangga itu beda kasus ya. Nanti tergantung kesepakatan antara suami-istri. Khususon untuk orang-orang yang suka menganggap wanita itu lemah dan nggak mampu memimpin hanya karena kita lebih mengedepankan perasaan, Anda salah. Mengapa masih ada border antara perempuan dan laki-laki? Karena mungkin laki-laki sudah mulai kehilangan kepercayaan dirinya karena wanita sudah mulai hebat-hebat. Andaikan kita semua bisa bekerjasama, tidak ada lagi kasus KDRT, stereotype wanita bodoh yang kerjanya cuma bisa manak-macak-masak (beranak, berdandan, memasak), dan Gender Inequalities lainnya. Mungkin laki-laki intoleran harus lebih terbuka kaliya dengan sedikit menurunkan egonya untuk mulai mengakui keberadaan wanita sebagai support system yang awesome. Apasih susahnya bekerja sama? Perempuan kan diciptakan untuk laki-laki. Let us standing beside you to make a better word, guys!

Saturday, June 24, 2017

Manusia Bernilai Atau Berilmu?

8:52 AM 0
Manusia Bernilai Atau Berilmu?
Seperti biasa, sebelum lo baca tulisan random gue ini, lebih baik lo ngerti dulu disclaimernya. Nilai yang gue maksud dalam postingan kali ini bukan nilai kualitatif ya, tapi nilai-nilai kuantitatif. Disini gue cuma mau berbagi dari apa yang gue tau. Ibaratnya masih dari beberapa sudut pandang yang gue rangkum dalam satu sudut pandang opini gue. Kalau misal ada yang mau diskusi atau nggak setuju tentang ini pun, gue terbuka untuk lo ajak main, komen-komen, dll. Lo bisa hubungin gue atau kalo nggak mau ribet, bisa komen di bawah. Jangan pernah sekalipun lo nulis sesuatu yang kontra di akun sosmed lo tanpa mention gue, karena gue nggak bakal tau dong :)

Gue lagi-lagi mau curhat tentang sesuatu yang berkecamuk di kepala. Emang sih, gue masih kuliah. Semester 4 pula. Masih 2 tahun lagi normalnya gue lulus. Tapi kebiasaan gue yang satu ini emang udah mendarah daging banget, berpikir jauh ke depan. Terlalu jauh mungkin.

Di kelas, gue bingung apakah gue harus ikut-ikutan ambis untuk sesuatu yang nggak informatif semacam nanya sesuatu hal yang udah jelas jawabannya. Gue pernah post di postingan yang berjudul "Nanya Juga Perlu Mikir". Lo bisa baca dulu kalo belom baca. Rata-rata temen-temen gue ambis untuk nilai. Bahkan ada yang udah dapet nilai bagus tapi jegal-jegal temen di atasnya supaya dia bisa naik tahta. Ini cerita nyata ya. Bukan sinetron. Atau mungkin hidup dia yang terinspirasi dari sinetron.

Logika normalnya, kalo lo liat nilai temen lo tinggi, lo pasti labelin dia jadi "anak pinter", ya gak? Misal nilai Keuangan lo jelek dan ada temen lo cuma salah 1 soal doang. Lo pasti langsung mikir "ih pinter banget sih!". Nah, trus ke depan-depannya untuk ujian di mata kuliah yang lo gabisa itu, lo pasti akan nanya ke temen yang cuma salah 1 soal doang tadi. Karena nilai dia bagus, berarti dia paham dan bisa ngerjainnya. Teorinya tercipta dari kejadian-kejadian semacam itu.

Nah, disini gue mau jelasin sesuatu yang janggal. Ada oknum-oknum yang IPKnya bahkan cuma kurang 0.2 lagi buat mencapai 4.00. Super nggak? Jenius kan? Tapi, ketika mereka ini diminta buat ngejelasin sesuatu, mereka nggak ngerti. Ketika ada belajar kelompok, mereka pasif. Nanya mulu. Bahkan ngitung pake rumus yang harusnya udah di luar kepala, mereka bingung. Alasannya lupa. Untuk isu-isu terkini mereka tutup mata. Banyak hal yang nggak mereka tau. Disini gue heran, trus nilai itu buat apa kalo mereka nggak ngerti apa yang mereka pelajari selama ini? Jangankan mikir gitu, lantas nilai itu dapet darimana?

Sebelum gue masuk kuliah, gue ditawarin daftar polwan. Tapi, jelas gue nggak mau. Gue mikir lagi buat apa sih gue kuliah? Ternyata, gue kuliah karena gue pengen dapet ilmu. Biar gue nggak bloon. Biar gue jadi orang yang berguna. Biar gue informatif. Gue kuliah bukan karna gue pengen lulus cumlaude. Ya, kalo Allah kasih pun gue nggak bakal nolak juga. Tapi menjadi orang yang berilmu itu yang lebih penting buat gue, apalagi cewek. Gunanya banyak banget. Dian Sastro pernah bilang,"Wanita cerdas akan melahirkan anak-anak yang cerdas." Selain itu, kalo gue sebagai cewek itu cerdas, itu bakal bantu gue memfilter lingkungan gue, komunitas gue, dan cowok-cowok yang mau ngedeketin gue. Gue nggak bilang kalau pilihan-pilihan lain selain kuliah menjadikan seseorang itu nggak berilmu lho yaaa. Cuman, di dunia kampus, sebagai penyandang kata "maha" lo bisa jadi apa aja yang lo mau, ngelakuin apa aja, dan segala platform terbentang luas dan lo tinggal pilih.

Stigma orang Indonesia masih banyak yang berpikir kalau lulus 3.5th udah jelas pinternya. Padahal nggak sedikit juga yang akhirnya nganggur, trus dapet kerja barengan sama yang lulus lama. Ada kating gue yang udah hampir 5.5 th belum lulus. Yang jelas dia nggak bodoh. Cerdik malah. Dia manfaatin statusnya sebagai mahasiswa buat cobain banyak opportunity yang bisa nambah-nambah ilmu dia. Waktu judul skripsi dia disetujui, dia malah dapet YSEALI Academic Fellows ke University of Connecticut, USA. Sebelum itu pun dia menunda skripsinya karena lolos International Business Model Canvas di Microsoft Campus, Redmond. Sekarang skripsi dia nggak jauh-jauh dari analisis perbandingan Indonesia-Amerika dan dia dapet profesor pembimbing juga dari Host Campus dia waktu exchange dulu. Ada lagi kating gue juga yang masih belum lulus tapi startupnya masuk 20 semifinalis di IBMC, Silicon Valley.

But, disini gue nggak mau dibilang men-stereotype atau mengeneralisasi semua orang. Ada juga kating gue yang skripsinya ngebut selama 4 bulan doang, lulus 3.5th dan sekarang kerja di Maybank. Ada yang tinggal nunggu jadwal wisuda dan sekarang dia punya startup fintech buat Mahasiswa.

Gue lagi-lagi cuma mau ngajak kalian brainstorming aja. Apa menurut kalian nilai itu penting? Kalau kata gue jelas. Nilai itu seringkali sebagai judgement kita mampu nggak ngelewatin suatu rintangan. Kebanyakan orang tua juga nanyanya soal IP dan pengen anaknya lulus cumlaude. Beasiswa juga pake nilai bagus sebagai tolak ukurnya. Ada minimal grade yang harus dicapai. Tapi, berilmu itu menurut gue lebih penting daripada bernilai. Gue agak gimana gitu sih, kalo ada orang yang ambis soal nilai pas di kelas tapi begitu di luar kelas dan diajak diskusi dalemnya kosong, walaupun nilai ujiannya bagus.

Bukankah lebih baik kalau kita bisa bernilai dan juga berilmu?
Nilai-nilai itu akan muncul dengan sendirinya walaupun tidak dalam bentuk angka sekalipun. Bukan nilai-nilai kuantitatif, tetapi nilai-nilai kualitatif. Itu kan yang sebenarnya dicari dalam hidup?

Wednesday, May 31, 2017

Anda Sibuk Atau Produktif?

3:49 PM 0
Anda Sibuk Atau Produktif?
Beberapa waktu belakangan ini saya sering banget dapet tugas kelompok, entah itu untuk diskusi, bikin paper, maupun presentasi. Sesuatu yang saya highlight disini adalah objektif dari tugas akelompok itu sendiri yang seharusnya membuat saya bisa mudah bekerja sama dengan orang lain, justru membuat saya lebih individualis. Bukan berarti saya sama sekali nggak bisa kerja bareng orang lain atau ansos ya, tapi entah mengapa hal ini justru membuat saya sering banget geregetan dengan tingkah temen-temen saya yang aneh-aneh.

Sebagai mahasiswa, segudang aktivitas di luar maupun di dalam kampus udah bukan sebuah kejutan lagi. Sebagian besar mahasiswa pun begitu adanya. Entah mengapa ada beberapa orang yang merasa dirinya sangat sibuk sehingga luput dari pekerjaan yang seharusnya mereka kerjakan. Misalnya, ketika saya menjadi inisiator dalam sebuah project kelompok (yang berujung selalu), beberapa dari orang-orang ini susah banget dimintai tolong. Padahal kan emang tugas mereka sebagai bagian dari kelompok itu untuk ikut mengerjakan sesuatu yang harusnya dikerjakan. Toh, saya bukannya melimpahkan semua tanggung jawab ke mereka kan? Lucunya, alasan sebagian besar dari mereka adalah "Aduh, nggak bisa nih. Aku banyak kerjaan." Disitu saya cuma bisa terdiam, nyengir dalam hati, trus nggak ngerti mau ngomong apa. 

Setelah banyak kejadian aneh-aneh semacam itu, saya sering brainstorming dengan orang-orang yang nasibnya sama kaya saya (exchanger) tentang arti sebenarnya dari istilah "sibuk" itu sendiri. Kesimpulan yang saya dapet, istilah "sibuk" itu bias. Mulai dari keadaan yang dimiliki seseorang ketika dirinya tidak bisa diganggu, cuma alasan aja supaya orang-orang nggak bisa ganggu dia, sampai untuk orang-orang yang tidak bisa atau sulit mengurutkan prioritas mereka. Sederhananya adalah,

"There is no busy people. It's all about priority. If you labelled your self with the word 'busy', it means that you have not known how to act efficient and effectively."

Sibuk adalah ketika kita merasa kita tidak punya waktu untuk melakukan suatu hal. Parahnya, ada yang sampai menghindari tugas-tugas yang sebenarnya harus dikerjakan, hanya karena dia men-cap dirinya sibuk. No, guys! Kalian harus mulai membedakannya sekarang. Jika kalian sampai merasa seperti itu, keadaannya kritis. Berarti kalian sama sekali nggak tau caranya memanfaatkan waktu dengan baik, nggak tau gimana caranya produktif, bukan sibuk.

Nah, kalau sibuk ini dibawa ke dalam sebuah hubungan, umumnya agak repot untuk pelaku-pelaku yang kadar kedewasaannya masih di perbatasan. Misal, A dan B punya hubungan khusus. A ngambek ketika B ini nggak bales chatnya lantaran si A nganggep si B ini sibuk. Nah, si A ini bukan tipe yang open minded dan pengertian. Jadi si A merasa dirinya berhak ngambek karena hal itu. Nah, si B ini sebenarnya produktif. Dia sedang sibuk ikut kegiatan bermanfaat seperti lomba kancah nasional dan program-program lain yang bisa meng-upgrade dirinya. Si A tau itu, tetapi salah men-cap si B sebagai seorang yang sibuk. Alhasil, si B dapet prestasi dan si A cuma bisa ngambek terus. Parahnya lagi, sebenarnya hubungan mereka sulit didefinisikan. Keluarga, bukan. Pacar, apalagi. Ya, cuma temen aja yang nggak jelas hubungannya kemana. 

Nah, jadi sebisa mungkin mulai dari sekarang, alih-alih menjadi orang yang sibuk, saya mencoba jadi orang yang produktif. Menjadi sibuk lebih capek dibandingkan dengan menjadi orang yang produktif. Karena ketika once kita merasa sibuk, bawaan kita tertekan mulu, stress, ngerasa kerjaan nggak selesai-selesai. But, beda kalau kita pretend diri kita as productive person, kita malah ingin melakukan hal yang lebih, karena kita justru ngerasain manfaatnya. 



Friday, February 24, 2017

My Hijab Story

12:32 PM 0
My Hijab Story
Sekitar bulan Agustus 2013, saya memulai masa yang kata orang terindah dalam hidup : Masa SMA. Saya yang notabene siswa baru, saat itu tertarik dengan iklan pensi sekolah saya yang terkenal yahud banget. Karena saya SMP seorang dancer (kalo kalian percaya), daftarlah saya buat jadi PSCS (Pagelaran Seni Citra SMANTI) Artist--semacam pengisi acara--dan gabung ke Bhawikarsu Best Dancer...oh maybe I forget the name. Ya, pokoknya itulah ya. Seleksinya lama karena banyak tahapnya. Giliran saya saat itu yang paling akhir. Jadi, sore-sore saya duduk di lapangan sekolah dan merenung "Apa benar ini yang saya butuhkan?"

***

Flashback sedikit. Saya orangnya demen blogwalking. Hmm intinya saya suka jalan-jalan di internet buat cari hal penting dan berguna sampai hal paling nggak make sense sekalipun. Entah kenapa hari itu saya ngebaca tentang hijab. Disitu saya baru tau kalo seorang anak gadis nggak berjilbab, ayahnya harus siap dapat sangsi dari Allah. Berangkat dari sana, saya mulai searching-searching lagi tentang hal yang menarik minat saya saat itu. Dari sana hati saya mulai terketuk untuk mempersiapkan diri saya pake jilbab suatu saat nanti. Noted that guys : suatu saat nanti. Kalo saya udah siap.

Balik lagi ke lapangan tempat saya duduk buat nunggu giliran. Kebiasaan yang sampe sekarang masih saya lakuin adalah berpikir dengan mempertanyakan sesuatu ke diri saya sendiri. Saya tiba-tiba inget bacaan tentang berhijab dan bagaimana Allah Yang Maha Penyayang itu memuliakan seorang wanita melalui hijabnya. 

Disini saya mulai dengan pertanyaan, apasih definisi dari siap? Apa ketika saya udah jadi orang baik? Lah, emang sekarang saya ini orang jahat? Kalo sekarang saya belom baik, terus kapan dong saya baiknya?

Pokoknya otak dan hati saya bergejolak. Apalagi suasana saat itu mendukung banget. Sore hari, teduh, dan berangin sepoi. Sampai akhirnya gejolak batin saya berakhir pada pertanyaan "Kalo saya nggak siap, kapan saya akan siap?" Sedangkan sebagai manusia kita nggak tau kapan bencana atau musibah akan muncul dan sampai saat tiba waktunya itu saya belum bisa menjalankan perintah Tuhan saya dengan menjadi muslimah yang sempurna. Selain itu, saya sayang sama orangtua saya. Mereka orang baik. Masa gara-gara saya mereka dihukum Allah? Saya juga pengen banget jadi amanah yang baik buat mereka, yang bisa membantu mereka ngedapetin Jannah.

Kemudian dengan tanpa pikir panjang, saya batalin seleksi dance saya hari itu. Saya pulang dan saya bilang ke mama kalo saya mau pake hijab.

Teman-teman saya ternyata sepeduli itu dan tiap hari ada aja dari mereka yang nanya apa hal yang membuat saya berhijab tanpa pikir panjang alias nekad. Karena kebanyakan dari mereka akan menggunaka hijab ketika mereka siap atau ketika mereka sudah dapat hidayah. Saya heran dong. Bukannya tugas kita untuk mempersiapkan? Bukannya tugas kita untuk mencari hidayah itu? Ini perintah Tuhan lho!

Okelah terserah mereka. Pada akhirnya mereka sendiri yang akan jadi pemeran utama dalam hidup mereka sendiri, saya cuma figuran. Saya pun akan menjadi pemeran utama cerita saya. Saya memilih berjilbab dan saya nggak nyesel. Kadang juga saya suka terheran-heran (hidup saya heran mulu) dengan pendapat orang-orang semacam "perbaiki diri dulu lah baru pake jilbab." Lah saya mikir. Sampai kapan?

Lucu juga orang-orang ini. Saya sih mikirnya jilbab ini sekalian buat tameng. Saya juga pake jilbab bukan karena saya udah jadi orang yang bener, but the point is ketika kita pake hijab, tanggung jawab untuk menjadi lebih baik akan semakin besar. Saya jadi punya rasa malu terhadap identitas saya sebagai muslimah ketika saya jadi orang yang nggak bener. Kalo kata orang sih, malu dong sama jilbabnya.

Saya juga sering dibuat heran sama orang yang dulunya pake hijab kemudian dia lepas jilbabnya dan memilih menjalani hidup dengan rambut badai berkibar dengan pakaian kekinian. Mungkin merasa lebih cantik kali ya. Honestly, saya juga merasa badai tanpa kain di kepala saya. Rambut saya bagus tauuu. Tapi, saya mikir lagi nih. Is it the trully meaning of "kekinian"? Karena menurut saya mereka bukannya kekinian tapi malah mengalami kemunduran. 

Inget kan jaman nenek moyang (re: manusia prasejarah) ketika manusia belum pake baju, trus seiring perkembangan jaman mereka mulai menutupi hal-hal vitalnya. Trus lama kelamaan mereka mengenal pakaian, dilanjutkan turunnya perintah berjilbab. 

Nah, sekarang mari bermain logika. Manusia yang awalnya nggak pake baju, semakin modern mereka semakin menutupi bagian dari tubuhnya. Sekarang, manusia yang awalnya pake jilbab, atau let's say pake baju yang biasa-biasa aja, lalu hal yang dianggap kekinian adalah yang pake crop tee, hotpants, rok kurang bahan, baju nerawang jaring-jaring, sampai cuman pake underwear di depan umum, apakah itu the trully meaning of kekinian? Ataukah kemunduran?

Justru pake hijab adalah the trully meaning of perkembangan jaman guys. Sekali lagi, pake logikanya. Jangan terbodohi oleh jaman guys! Hidup kita, kita sendiri yang tentukan. Ibaratnya kita punya pisau, sisi mana yang akan kita genggam, kita sendiri yang tentukan. Intinya, jadilah manusia yang cerdas!

Semoga yang baca bisa terketuk hatinya untuk memulai dan yang sudah memulai, semoga bisa disempurnakan, termasuk saya sendiri.


Thanks for reading :)
Wildflower.


Tuesday, February 14, 2017

Nanya Juga Perlu Mikir

4:32 PM 0
Nanya Juga Perlu Mikir


Celotehan ini berawal dari pengalaman pribadi saya selama di bangku perkuliahan so far. Topik ini udah jadi sesuatu yang mengganggu pikiran saya sejak lama. Semakin saya berpikir, semakin otak saya berasep dan saya jadi kesel sendiri. Tapi saya seneng sih, semakin banyak kesel, itu artinya otak saya cukup kepake buat mikir.

Jadi gini, di kelas, saya dan temen-temen dituntut untuk berdiskusi tentang topik yang dibahas hari itu. Normally, diskusi semacam ini dilakukan di setiap mata kuliah. Embel-embelnya sih supaya sumber informasi dikeluarkan dari dua arah, bukan dari dosen aja atau presentator aja, tapi partisipan di kelas juga bisa bertanya untuk memancing proses diskusi itu. Di kelas saya (Bisnis Internasional), saya dikelilingi temen-temen yang aktif dan enerjik di luar maupun di dalem kelas. Tapi, setelah dua tahun kuliah, saya melihat sesuatu yang lain disini, utamanya di sistem pendidikan Indonesia yang saya kira udah berubah, namun ternyata sama saja.

Awalnya kami dijanjikan skor lebih kepada siapa saja mahasiswa yang aktif bertanya atau mengemukakan pendapat. Automatically, semua orang di kelas berbondong-bondong bertanya dan mengeluarkan pendapat. Tentunya demi nilai yang baik di semester itu. Ternyata, dari awal saya bukan termasuk orang yang seperti itu. Sebuah fakta dari diri saya yang saya sadari karena hal itu adalah saya selalu mikir dulu sebelum bertanya dan ketika saya udah nemu jawaban dari apa yang saya pertanyakan, saya akan pasif dan mengikuti diskusi yang menurut saya kurang begitu membangun. Dalam diskusi di kelas, saya lebih berani untuk menyuarakan opini saya daripada membuka diskusi dengan pertanyaan yang bisa saya dapet jawabannya dengan mikir sendiri or cari solusinya di internet.

Hal yang paling membuat saya greget adalah pertanyaan dari kating saya yang saat itu mengulang salah satu mata kuliah bareng angkatan saya. Ya, okelah saya bisa maklumin mungkin dia emang cari nilai, tapi pertanyaan dia menurut saya saat itu kebangetan. Saat itu temen saya jadi presentator dan dia ngebahas tentang etika bisnis di perusahaan multinasional Asian Pulp and Paper. Ketika kelompoknya selesai presentasi, biasanya akan dibuka sesi pertanyaan. Saat itu saya bener-bener penasaran tentang sebuah topik, sehingga hari itu saya angkat tangan. Unfortunately, saya nggak kepilih untuk menyuarakan pertanyaan di otak saya karena slot maksimalnya cuma tiga pertanyaan (ini juga bikin saya kesel, but let's talk about it later). Si kating ini kepilih dan dia nanya "Kenapa Asian Pulp and Paper jualan kertas dan bukannya kelapa sawit?" Dan saat itu juga dahi saya berkerut dan otak saya nge-freeze dalam beberapa detik, like what the... Itu sama aja kaya nanya "Kenapa Bank Indonesia ngurus duit bukan jualan makanan?"

Seketika itu juga dalam diri saya berkecamuk. Dalam hati saya kesel banget tuh karena saya merasa pertanyaan saya lebih urgent untuk dibahas dan bakal informatif kalo bisa didiskusiin di kelas bersama dengan temen dan dosen saya saat itu. Disitu kekesalan saya nggak cuma satu, tapi numpuk-numpuk. Pertama, karena pertanyaan saya nggak tersampaikan. Kedua, saya merasa kurang dapet kesempatan yang besar di kelas untuk "diskusi" karena semua hal dibatasi, sehingga saya harus keluar kelas, ke ruangan dosen saya, dan memilih untuk nanya secara personal, tanpa menambah poin saya. Ketiga, kenapa orang-orang males untuk mencari jawaban atas pertanyaan mereka sendiri atau lebih memilih untuk mempertanyakan hal yang uda jelas jawabannya ada di depan mata.

Mungkin saya terlihat arogan disini, but guys if some of you know what I feel. Itulah kenapa saya lebih memilih beropini daripada bertanya tentang hal yang seharusnya saya pikir dulu supaya pertanyaam saya bisa lebih informatif buat orang lain. Dampaknya sudah jelas, poin saya emang nggak lebih baik dari yang lain, tapi setidaknya I got more when I put more efforts to ask myself first and filter my question sebelum saya mempertanyakan hal itu ke khalayak ramai. Memang saya bukan tipe orang yang menganggap IPK adalah segala-galanya. Asal saya bisa bikin bangga orang tua saya dengan prestasi saya, apapun itu saya yakin mereka cukup suportif untuk mengerti keadaan anaknya. Kesimpulan yang saya dapet disini adalah kebanyakan orang melakukan sesuatu cuma buat formalitas. Bahkan di komunitas sekecil ruangan kelas aja mereka bela-belain nyari-nyari pertanyaan cuma buat nilai, bukan karena mereka memang ingin tau. Buktinya, di beberapa mata kuliah yang notabene dosennya tidak menjanjikan "bonus" yang segamblang itu, mahasiswa yang aktif sangat jarang, bahkan bisa dibilang nol. Saya sih sampe have no idea ya about this.

Salah satu dosen saya pernah bilang, "Kebiasaan membaca orang Indonesia sangat rendah. Di bandara aja nih banyak juga orang yang nanya letak toilet, padahal disana penunjuk arah dimana-mana. Beda sama bule, mereka pasti akan berhenti dulu, trus baca dengan teliti, berusaha nyari dulu, baru kalo mentok nanya." Saya sepenuhnya setuju dengan itu. Beda banget ketika saya lihat lingkungan sekitar saya yang pada males baca sesuatu dan lebih memilih bertanya padahal informasi yang ada udah sangat jelas. Contoh lainnya waktu saya share poster seminar/lomba ke grup dan temen saya nanya "Daftarnya dimana?", "Bayarnya berapa?" Padahal dia tinggal buka posternya ato baca captionnya and voilaaa problem solved!

Saya banyak berdiskusi dengan temen-temen saya yang berasal dari berbagai negara di dunia (yang ikut project saya) tentang kebiasaan ini di negara mereka. Beberapa temen saya dari Eropa such as Belanda dan Perancis bilang yang intinya bisa dibilang "No stupid answer, no stupid question." Untuk orang-orang yang bertanya di kelas akan sangat diapresiasi. Tapi rupanya kalimat itu lagi-lagi nggak bisa saya terima begitu saja apalagi kalo ditujukan untuk komunitas saya. Sama kaya kalimat "Malu bertanya, sesat di jalan" yang rasanya kurang begitu koheren dengan keadaan jaman sekarang yang semuanya serba ada.

Lagi, dimensi budaya orang Eropa memang cenderung maskulin. Artinya mereka lebih subjektif dan begitu aktif untuk mencari informasi (termasuk nggak baperan) dengan membaca, memfilter informasi yang masuk ke diri mereka, kemudian berpikir sebagai bagian dari proses filtering, dan bertanya untuk hal yang memang menjadi perdebatan pikiran atau hal yang memang nggak mereka ngerti. Bukannya asal bertanya tanpa tau terlebih dahulu, akibatnya akan timbul pertanyaan semacam kenapa Asian Pulp and Paper jualan kertas. Judulnya aja udah Pulp and Paper loh. Sumpah, saya nggak ngerti lagi segitunya orang cari nilai.

Lantas, kapan orang Indonesia dan komunitas saya bisa lebih banyak berpikir dulu daripada bertanya hal yang sudah jelas?
Kapan orang Indonesia dan komunitas saya bisa stop membahas pembahasan sampis semacam ngebully orang dan gosipin selebgram yang bahkan nggak kita kenal?

Menurut saya, anggapan banyak bertanya cuma cocok buat anak-anak atau bocah karena mereka memang dalam fase pengenalan dan mereka emang nggak bisa tau tanpa dibantu. But, for us guys...kita udah bisa mikir kan? Otak kita udah terbentuk sempurna kan? Apalagi untuk pertanyaan yang udah sangat jelas jawabannya terpampang nyata. Terlalu banyak nanya juga bakal jadi annoying banget buat orang yang ditanyain. Apalagi untuk hal-hal yang nggak informatif.

Diriwayatkan dari Al-Mughirah bin Syu'bah R.A, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
"Allah membenci bagi kalian tiga perkara : bergosip, menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya."
(Hadits Riwayat Bukhari)

Tolong diresapi dan dicari dulu ya maknanya teman-teman :)

Terserah sih kalian mau setuju atau nggak dengan tulisan saya ini atau mungkin ada beberapa pihak yang ke-mention secara sengaja maupun tidak langsung, saya pure mau beropini aja. Saya nulis ini juga buat saya sendiri. Buat pengingat kalo saya jangan jadi seperti orang-orang yang saya tulis di atas. Semisal kalian nggak setuju, saya terbuka untuk diskusi dan dari situ kita bisa banyak tau.



Wildflower,
dari sudut ruangan yang dingin.