April 2020 - Lagi Monolog

Thursday, April 23, 2020

Buku: Tentang Pergerakan dan Hati yang Tak Mati

4:54 PM 0
Buku: Tentang Pergerakan dan Hati yang Tak Mati
Kawan, jangan ketawa pas baca ini.

Gue lagi nulis buku.

Dih, nggak usah ketawa!

Ini cuma soal mimpi lama yang memanggil kok. Walaupun nggak ada kepastiannya juga kapan bakal terbit. Boro-boro kapan terbit, nggak ada jaminan juga kapan bakal selesai. Padahal gue juga tau, buku yang bagus itu buku yang selesai.

Halah, gue capek muluk-muluk kayak yang udah-udah. Tulisan gue dibaca aja udah senengnya bukan kepalang!

(Makasih ya kalian para pembaca blog ini!)

Cerita dikit banyak. Gue pernah kirim naskah ke beberapa penerbit saat masih SMA. Nekad banget waktu itu. Dan iya, lu pasti udah tau gimana hasilnya.

Ditolak, lah!

Fortunately, penerbit-penerbit itu ngasih feedback buat tulisan gue. Kurangnya dimana aja, bisa ditingkatin di bagian mana aja, dll. Nggak secuek kayak yang saat itu gue asumsikan.

Setelah banyak mencoba dan nggak menemukan kemungkinan, akhirnya gue mengubur mimpi itu. Fokus aja ke Ujian Nasional dan belajar di Perguruan Tinggi. Sejak saat itu gue menampik buku-buku fiksi yang dari kecil gue suka. Cerita petualangan, misteri, cinta, apapun itu yang kedengarannya berasal dari imajinasi, nggak pernah lagi gue sentuh. Banting setir ke buku non-fiksi.

Ya gimana, gue juga pengen dong dipandang sebagai seorang intelek dan kritis gitu pikirannya. Nggak cuma menye-menye terjebak dalam imaji gara-gara buku-buku fiksi!




Bodohnya, gue menganggap cara pikir demikian itu benar adanya. Padahal sepanjang sejarah, kita banyak melihat seorang novelis yang juga menulis buku pemikiran dan seorang akademisi yang menuangkan kegelisahannya dalam fiksi.

Penulis fiksi harus membaca buku non-fiksi dan ilmuwan harus sebanyak-banyaknya membaca karya fiksi. Penulis fiksi yang tak pernah membaca buku pemikiran akan menghasilkan fiksi yang dangkal. Ilmuwan yang tak membaca fiksi, akan menghasilkan gagasan kering yang tak berjiwa.

Lebih dari itu, seorang penulis, yang menulis apapun itu, juga harus membaca.

Dan sebagai status gue sebagai seorang pembaca juga, ada suatu pesan dari seorang guru:
Bacalah buku-buku gerakan dan revolusi agar dirimu bergerak dan bacalah buku-buku sastra agar jiwamu kaya dan hati tak mati.

Non fiksi untuk tubuhmu, fiksi untuk jiwamu. Kira-kira begitu. 



Jadilah gue kembali ke pelajaran awal soal membaca dan menulis, biar isi tulisan gue nggak “kosong” dan cara membaca gue nggak “salah”. Buku-buku fiksi yang nggak pernah lagi gue lirik sejak 5 tahun lalu, udah mulai gue terima lagi dengan tangan terbuka. Bahkan sekarang mereka (buku fiksi dan pemikiran) berdampingan di rak-rak buku gue yang udah nggak muat—kalau gue fotoin gimana rumah mereka di kamar gue lu pasti langsung ilfeel, deh!

Contohnya waktu gue baca buku Bumi Manusia, yang meskipun fiksi, tapi jadi lebih paham sama gimana kondisi di masa kolonial. Nggak cuma itu, gue jadi ngerti gimana hukum ditetapkan pada masa itu.

Berhubung lagi ngomongin soal membaca, banyak banget yang nanya gue gimana caranya buat bisa membaca.

Aneh, ya? Bukannya dari kelas satu SD udah diajarin? 



Bener deh, kalau lu mau kuat membaca buku; nggak ngantuk, nggak bosen, nggak ini itu dan seribu alasan lu buat nutup sebuah buku; ya baca aja. Lanjutin membacanya. Jangan membaca sampai koma, tapi bacalah sampai titik.

Ngomong apa, deh?

Gini-gini. Kalian pernah nggak sih, beli buku trus pas dibaca, eh kok nggak menarik ya?

Kalau udah kayak gitu, gue pasti ngomong ke diri sendiri. Itu karena cara baca lu yang salah. Coba tutup dan diamkan sebentar, besok dibaca lagi dari awal. Gue percaya setiap buku itu menarik buat dibaca. 

Ada buku yang butuh berulang kali gue baca. Karya-karya klasik William Shakespeare awalnya bikin gue mual-mual. Pertama, karena bahasanya klasik. Kedua, karena gue butuh mikir maksudnya apa dari satu paragraf doang. Sampai akhirnya gue menemukan cara terbaik untuk menikmati buku itu. Kalau udah gini, begitu selesai baca, gue nggak bisa berhenti mikirin isi ceritanya. Setiap cerita itu unik. Dan karena unik, setiap cerita akan menemukan pembacanya masing-masing. Jadi kesimpulannya setiap buku itu akan menemukan pembacanya.

Tinggal, udah nemu belom?

Buku itu kayak jodoh. Seringnya sih nggak bisa ujug-ujug ketemu kalau nggak dicari. Kita semua sebenernya suka membaca, cuma banyak aja yang belum nemu buku yang cocok.

Coba metode yang mudah aja. Baca dikit-dikit. Nggak perlu buru-buru. Dikejar apa sih? Toh, membaca itu tugas seumur hidup. Lu baca tweet aja kuat, masa baca buku sejam 3 baris aja nggak bisa?

Bukan hutan yang luas, tapi alasanmu. 


Balik bentar ke masalah gue yang sok-sokan mau bikin buku segala, gue sadar BANGET bahwasanya gue masih banyak kekurangan. Kurang latihan, kurang ngerti tata bahasa, kurang kosakata. Namun, ada satu kekurangan paling besar dan sangat utama adalah gue masih kurang banyak membaca. Lu bisa kasih pendapat sendiri dari cara gue nulis dan tetek-bengeknya dari tulisan-tulisan gue yang lu baca.


Lagi. Makasih, makasih banyak udah mau baca tulisan-tulisan di blog ini.

Makasih, udah mau membaca.
 
Mumpung hari ini Hari Buku Sedunia, gue lanjutin baca novel karya Sapardi Djoko Damono yang judulnya Hujan Bulan Juni. Nih, contohnya novel yang nggak berhasil gue baca di perjumpaan pertama kita. Jadi gue ulang lagi dari awal. Apapun itu, selamat membaca ya kalian!



Wednesday, April 15, 2020

Menunggu Pulang

8:26 AM 0
Menunggu Pulang


Aku mengerjap setengah sadar. Sebuah dering telepon membangunkanku dari bunga tidur. Samar-samar aku tersenyum melihat namanya tersemat di layar ponsel.

“Halo? Passwordnya?” Gurauku walau kantuk lebih dulu merajai kesadaranku malam itu.

“Bintang satu dua tiga pagar,” jawabnya.

Password ini tak ada artinya. Keluargaku yang mendengar kalimat itu juga cuma geleng-geleng kepala. Jayus, kata mereka.

“Bian...,” panggilnya lirih. Bukan berbisik, tapi lebih ke nada hati-hati.

“Hmm?”

“Maaf aku belum bisa pulang.” Terdengar hela napas berat di ujung telepon.

Kalimat singkat itu mampu membuatku membuka mata. Kecewa. Dasar virus bajingan!

“Kenapa kamu nggak gantian aja sama yang lain? Pulang dulu lalu berangkat lagi?” Aku memberi saran, padahal aku sudah tau betul apa jawabannya.

“Nggak bisa sayang. Tiap hari korban makin banyak. Kami kekurangan tenaga medis. Beberapa dokter di tempatku ditugaskan meninggal dunia karena tertular pasien. Situasinya kacau.”

“Iya, nggak papa. Kamu hati-hati, ya? Sudah ada bantuan APD kan? Pastikan semua aman ya? Jaga kesehatan.”

“Iya. Kamu juga, ya? Bilang ke anak kita, jangan bikin ibunya ngidam. Ayahnya gak ada disana,” balasnya sambil tertawa.

Aku menunduk menatap perutku yang membesar. Ada nyawa yang tak sabar ingin kutemui di dalamnya. Pipiku memanas begitu ia menyebut ‘anak kita’. Oh, Tuhan aku rindu sekali pada pria ini! Ingin sekali kubeli kerinduan yang tertunda jarak.

“Aku tutup teleponnya ya? Aku sayang kamu.”

“Aku juga,” balasku.

“Bian, kamu percaya Mas akan pulang?”

“Tentu.”

“Aku pamit ya? Jaga diri baik-baik. Jaga anak kita. Maafkan aku...”

Mulutku baru ingin mengucap sesuatu ketika nada tanda telepon terputus memenuhi keheningan. Air mata yang tertahan sama dengan rindu kami, luruh menghujani pipi, mengantarkan aku pada bunga tidur yang kuharap bisa mempertemukanku dengannya.

“Mbak Bian, bangun! Mbak Bian!”

Aku membuka mata. Rasanya baru sejenak aku tertidur. Kepalaku sakit, mungkin karena terlalu banyak menangis. Mungkin juga karena kelelahan karena baru lelap sebentar. Benar saja, bantalku masih basah air mata. Cahaya ruangan berbinar canggung menerpa mataku yang masih sayup. Beberapa kali mengerjapkan mata, akhirnya aku bisa menatap adikku yang panik luar biasa.

“Mbak, Mas Yoga meninggal dunia. Positif Corona. Katanya udah beberapa minggu, tapi Mas Yoganya yang minta dirahasiakan biar Mbak Bian nggak kepikiran dan panik karena lagi hamil.”

Adikku melaporkan berita itu dalam satu tarikan napas. Aku masih berusaha mencerna tiap kata yang keluar dari mulutnya. Satu hal yang kutangkap jelas, tidak kutemukan raut bercanda dalam wajahnya.

“Ngawur! Orang tadi Mbak masih telponan kok! Hahahaha.” Entah kenapa aku tertawa getir.

Sakit kepala menjalar menuju alam sadarku. Napasku ikut tertahan dengan pekikan suaraku yang tak lolos dari kerongkongan. Aku ingin sekali berteriak, berusaha menghalau candaan semesta yang tak lucu sama sekali. Buru-buru kuperiksa ponselku sambil meyakini diri kalau sedang bermimpi. Tanganku bergetar hebat mencari namanya pada daftar telepon masuk. Mungkin benar bahwa aku sedang bermimpi.

Kutatap layar ponselku. Tak ada telepon masuk darinya sejak dua pekan lalu.

Aku terdiam menatap adikku yang menyisakan suara detak jarum jam di antara kami. Air mataku kembali jatuh.