Kawan, jangan ketawa pas baca ini.
Gue lagi
nulis buku.
Dih, nggak usah ketawa!
Ini cuma soal mimpi lama yang memanggil kok. Walaupun
nggak ada kepastiannya juga kapan bakal terbit. Boro-boro kapan terbit, nggak ada jaminan juga kapan bakal selesai.
Padahal gue juga tau, buku yang bagus itu buku yang selesai.
Halah, gue capek muluk-muluk kayak yang udah-udah. Tulisan gue dibaca aja udah
senengnya bukan kepalang!
(Makasih ya kalian para pembaca blog ini!)
Cerita dikit banyak. Gue pernah kirim
naskah ke beberapa penerbit saat masih SMA. Nekad banget waktu itu. Dan iya, lu
pasti udah tau gimana hasilnya.
Ditolak, lah!
Fortunately, penerbit-penerbit itu ngasih feedback buat tulisan gue. Kurangnya
dimana aja, bisa ditingkatin di bagian mana aja, dll. Nggak secuek kayak yang saat
itu gue asumsikan.
Setelah banyak mencoba dan nggak menemukan
kemungkinan, akhirnya gue mengubur mimpi itu. Fokus aja ke Ujian Nasional dan belajar
di Perguruan Tinggi. Sejak saat itu gue menampik buku-buku fiksi yang dari
kecil gue suka. Cerita petualangan, misteri, cinta, apapun itu yang
kedengarannya berasal dari imajinasi, nggak pernah lagi gue sentuh. Banting
setir ke buku non-fiksi.
Ya gimana, gue juga pengen dong dipandang
sebagai seorang intelek dan kritis gitu pikirannya. Nggak cuma menye-menye terjebak dalam imaji
gara-gara buku-buku fiksi!
Bodohnya, gue menganggap cara pikir demikian
itu benar adanya. Padahal sepanjang sejarah, kita banyak melihat seorang
novelis yang juga menulis buku pemikiran dan seorang akademisi yang menuangkan
kegelisahannya dalam fiksi.
Penulis fiksi harus membaca buku non-fiksi dan
ilmuwan harus sebanyak-banyaknya membaca karya fiksi. Penulis fiksi yang tak
pernah membaca buku pemikiran akan menghasilkan fiksi yang dangkal. Ilmuwan
yang tak membaca fiksi, akan menghasilkan gagasan kering yang tak berjiwa.
Lebih dari itu, seorang penulis, yang menulis
apapun itu, juga harus membaca.
Dan sebagai status gue sebagai seorang pembaca
juga, ada suatu pesan dari seorang guru:
Bacalah buku-buku gerakan dan revolusi agar
dirimu bergerak dan bacalah buku-buku sastra agar jiwamu kaya dan hati tak
mati.
Non fiksi
untuk tubuhmu, fiksi untuk jiwamu.
Kira-kira begitu.
Jadilah gue kembali ke pelajaran awal soal
membaca dan menulis, biar isi tulisan gue nggak “kosong” dan cara membaca gue
nggak “salah”. Buku-buku fiksi yang nggak pernah lagi gue lirik sejak 5 tahun
lalu, udah mulai gue terima lagi dengan tangan terbuka. Bahkan sekarang mereka (buku
fiksi dan pemikiran) berdampingan di rak-rak buku gue yang udah nggak muat—kalau
gue fotoin gimana rumah mereka di kamar gue lu pasti langsung ilfeel, deh!
Contohnya waktu gue baca buku Bumi Manusia,
yang meskipun fiksi, tapi jadi lebih paham sama gimana kondisi di masa
kolonial. Nggak cuma itu, gue jadi ngerti gimana hukum ditetapkan pada masa itu.
Berhubung lagi ngomongin soal membaca, banyak
banget yang nanya gue gimana caranya
buat bisa membaca.
Aneh, ya? Bukannya dari kelas satu SD udah
diajarin?
Bener deh, kalau lu mau kuat membaca buku;
nggak ngantuk, nggak bosen, nggak ini itu dan seribu alasan lu buat nutup
sebuah buku; ya baca aja. Lanjutin membacanya. Jangan membaca sampai koma, tapi bacalah sampai titik.
Ngomong apa,
deh?
Gini-gini. Kalian pernah nggak sih, beli buku
trus pas dibaca, eh kok nggak menarik ya?
Kalau udah kayak gitu, gue pasti ngomong ke diri
sendiri. Itu karena cara baca lu yang
salah. Coba tutup dan diamkan sebentar, besok dibaca lagi dari awal. Gue percaya
setiap buku itu menarik buat dibaca.
Ada buku yang butuh berulang kali gue baca. Karya-karya klasik William Shakespeare awalnya bikin gue mual-mual. Pertama, karena bahasanya klasik. Kedua, karena gue butuh mikir maksudnya apa dari satu paragraf doang. Sampai akhirnya gue menemukan cara terbaik untuk menikmati buku itu. Kalau udah gini, begitu selesai baca, gue nggak bisa berhenti mikirin isi ceritanya. Setiap cerita itu unik. Dan karena unik, setiap cerita akan menemukan pembacanya masing-masing. Jadi kesimpulannya setiap buku itu akan menemukan pembacanya.
Ada buku yang butuh berulang kali gue baca. Karya-karya klasik William Shakespeare awalnya bikin gue mual-mual. Pertama, karena bahasanya klasik. Kedua, karena gue butuh mikir maksudnya apa dari satu paragraf doang. Sampai akhirnya gue menemukan cara terbaik untuk menikmati buku itu. Kalau udah gini, begitu selesai baca, gue nggak bisa berhenti mikirin isi ceritanya. Setiap cerita itu unik. Dan karena unik, setiap cerita akan menemukan pembacanya masing-masing. Jadi kesimpulannya setiap buku itu akan menemukan pembacanya.
Tinggal, udah nemu belom?
Buku itu kayak jodoh. Seringnya sih nggak bisa
ujug-ujug ketemu kalau nggak dicari. Kita
semua sebenernya suka membaca, cuma banyak aja yang belum nemu buku yang cocok.
Coba metode yang mudah aja. Baca dikit-dikit.
Nggak perlu buru-buru. Dikejar apa sih? Toh, membaca itu tugas seumur hidup. Lu
baca tweet aja kuat, masa baca buku sejam
3 baris aja nggak bisa?
Bukan hutan yang luas, tapi alasanmu.
Balik bentar ke masalah gue yang sok-sokan
mau bikin buku segala, gue sadar BANGET bahwasanya gue masih banyak kekurangan.
Kurang latihan, kurang ngerti tata bahasa, kurang kosakata. Namun, ada satu
kekurangan paling besar dan sangat utama adalah gue masih kurang banyak
membaca. Lu bisa kasih pendapat sendiri dari cara gue nulis dan tetek-bengeknya dari tulisan-tulisan gue
yang lu baca.
Lagi. Makasih, makasih banyak udah mau baca
tulisan-tulisan di blog ini.
Makasih, udah mau membaca.
Mumpung hari ini Hari Buku Sedunia, gue lanjutin
baca novel karya Sapardi Djoko Damono yang judulnya Hujan Bulan Juni. Nih,
contohnya novel yang nggak berhasil gue baca di perjumpaan pertama kita. Jadi
gue ulang lagi dari awal. Apapun itu, selamat membaca ya kalian!