Dua
minggu lalu—baru sempet nulis sekarang—gue dipaksa nonton film berjudul
American Factory sama Satrio. Bener-bener dipaksa karena menurut dia nih film “Bisnis
Internasional” banget, jadi cocok sama kita berdua yang notabene pernah belajar
tentang bisnis internasional di kampus. Setelah gue lihat-lihat, ternyata film
ini mendapat penghargaan Oscar 2020 dalam kategori Film Dokumenter Terbaik. Film
ini diproduksi dari studio milik mantan presiden AS, Barrack Obama, bernama
Higher Ground.
Film
ini bercerita tentang kebangkrutan raksasa automotif Amerika Serikat, General
Motors (GM) yang terpaksa memulangkan ribuan pegawainya di Moraine, negara
bagian Ohio, AS pada masa resesi tahun 2008. Banyak
dari mereka yang turun kelas, kehilangan rumah dan mobil karena tak lagi mampu
mengangsur. Enam tahun kemudian, Dewa Penolong datang dari perusahaan pembuat
kaca mobil dari Tiongkok yang membeli pabrik tersebut untuk membuka pabrik baru
mereka. Investasi asing yang masuk senilai 500 juta dolar itu menjadi angin
segar karena tenaga kerja yang tadinya dirumahkan bisa kembali bekerja.
Perusahaan
itu bernama Fuyao Glass Industry Group Co. Ltd yang berdiri sejak tahun 1987
dan berpusat di Fujian, China. Konsumen mereka banyak, seperti General Motors,
Hyundai Motor, Fiat, BMW, Honda, Volkswagen, dll. Pabrik baru yang didirikan di bekas pabrik GM
itu pun dinamai Fuyao Glass America.
Untuk
transfer ilmu di pabrik baru agar kualitas hasil produksi sama dengan yang ada
di pusat, maka didatangkan 200 pekerja asal Tiongkok dan beberapa atasan juga
berasal dari Tiongkok. Namun, dewan direksi sebagaimana mungkin dipertahankan
berasal dari orang Amerika.
Awalnya
kehadiran pabrik ini disambut gembira sampai masalah-masalah kian muncul. Tak
banyak orang Tiongkok yang mampu berbahasa Inggris, pun sebaliknya. Atasan dan
pegawai Tiongkok mulai mempermasalahkan budaya kerja orang Amerika. Mereka
menganggap rekan kerja lokal terlalu santai bekerja, tidak memenuhi standar,
banyak libur, penuntut dan pengeluh, serta kerap berlindung dibalik serikat
buruh yang dianggap Tiongkok merecoki perusahaan.
Ketika
CEO Fuyao mengajak beberapa eksekutif dari Amerika ke China, mereka
diperlihatkan bagaimana orang China bekerja. Satu pekerja bisa melakukan
pekerjaan dua orang Amerika. Pekerja Tiongkok yang didatangkan ke Amerika pun
sengaja didatangkan dari jauh agar mereka tidak terganggu masalah keluarga
sakit, ada yang nikah, atau orang tua yang menyebabkan pekerja Tiongkok harus
mengambil cuti.
Pegawai
Tiongkok terbiasa dengan pekerjaan lembur tanpa honor tambahan dan minim hari
libur, umumnya seminggu sekali dan pulang kampung setahun sekali. Selebihnya
mereka bekerja. Sedangkan pekerja Amerika mengikuti aturan buruh yaitu libur
dua hari dan ketika lembur pun mereka menuntut bayaran.
Konflik
masalahnya disini menurut gue adalah saat standar keamanan kerja dipertanyakan.
Ada beberapa proses pekerjaan yang rawan kecelakaan kerja. Contohnya seperti
saat adegan pekerja Tiongkok yang sedang membereskan gunungan pecahan kaca yang
tak lolos standar tanpa menggunakan sarung tangan anti gores. Ditambah beberapa
adegan dari pegawai Amerika yang mengalami kecelakaan di tangan hingga harus
berobat ke rumah sakit dan kaki yang terluka sampai harus menggunakan alat
bantu berjalan.
Apart from the tension between workers and management, film ini juga menceritakan kisah persahabatan antara orang Amerika dan Tiongkok yang erat. Walaupun mereka kesulitan dalam hal komunikasi tetapi keduanya bisa melebur dan menjadi teman yang akrab.
Cerita
di film ini menarik buat gue karena memperlihatkan kultur bekerja yang tajam
dan berusaha adil dengan memberikan porsi untuk tiap-tiap kubu untuk bercerita
sesuai sudut pandangnya secara seimbang. Mulai dari mantan pegawai GM yang sekarang bekerja di Fuyao, pegawai Tiongkok yang dikirim ke Amerika, hingga dari sudut pandang CEO Fuyao yang nekad mendirikan pabrik di negara orang. Menurut gue film ini juga nggak mengandung
keberpihakan karena tiap-tiap kubu memiliki alasan sendiri dan memiliki tujuan
yang dinilai baik untuk masing-masing.
Setelah
nonton film ini gue dan Satrio ngomong ngalor-ngidul tentang pendapat kita
masing-masing. Tapi menurut gue pribadi tiap sudut pandang punya argumen
benarnya masing-masing. Gue nggak setuju kalau keamanan di tempat kerja nggak
diperhitungkan dan hanya menilai pekerjaan dari outputnya saja. Cuman kalau
kerja memang nggak sepatutnya banyak nuntut kalau nggak sepadan sama hasilnya.
Kerja lambat, nggak efisien, tapi nuntut banyak, siapa yang mau mempekerjaan
orang-orang semacam itu juga kan?
Hanya
satu yang gue sayangkan dari film satir ini. Ketimpangan pemeran yang membuat
sudut pandang pengalaman dan hasil kerja mereka jadi nggak seimbang. Bagaimana
orang-orang Tiongkok yang bekerja disana terlihat masih muda dan energik
dibanding orang-orang Amerika yang terlihat sudah lebih berumur yang mungkin
jadi jawaban kenapa progress pekerjaan mereka lebih lambat dari orang Tiongkok.
Porsi
film ini secara keseluruhan bagus. Jawaban dari konflik juga sudah disuguhkan
di akhir film. Bagaimana akhirnya Tiongkok tetap mempertahankan pabriknya di
Ohio tetapi dengan solusi yang dinilainya lebih punya standar dan tidak ribut. Dan
bagaimana pekerja Amerika Serikat mendapatkan haknya.
Satu quotes yang gue suka dari film ini adalah:
Berdiri diam berarti mundur.
Kalian
bisa nonton film ini di Netflix atau website streaming lainnya.
Selamat
menonton dan meresapi!
No comments:
Post a Comment