Belajar dari Film American Factory, Pemenang Oscar 2020 - Lagi Monolog

Friday, March 6, 2020

Belajar dari Film American Factory, Pemenang Oscar 2020


Dua minggu lalu—baru sempet nulis sekarang—gue dipaksa nonton film berjudul American Factory sama Satrio. Bener-bener dipaksa karena menurut dia nih film “Bisnis Internasional” banget, jadi cocok sama kita berdua yang notabene pernah belajar tentang bisnis internasional di kampus. Setelah gue lihat-lihat, ternyata film ini mendapat penghargaan Oscar 2020 dalam kategori Film Dokumenter Terbaik. Film ini diproduksi dari studio milik mantan presiden AS, Barrack Obama, bernama Higher Ground.



Film ini bercerita tentang kebangkrutan raksasa automotif Amerika Serikat, General Motors (GM) yang terpaksa memulangkan ribuan pegawainya di Moraine, negara bagian Ohio, AS pada masa resesi tahun 2008.  Banyak dari mereka yang turun kelas, kehilangan rumah dan mobil karena tak lagi mampu mengangsur. Enam tahun kemudian, Dewa Penolong datang dari perusahaan pembuat kaca mobil dari Tiongkok yang membeli pabrik tersebut untuk membuka pabrik baru mereka. Investasi asing yang masuk senilai 500 juta dolar itu menjadi angin segar karena tenaga kerja yang tadinya dirumahkan bisa kembali bekerja.

Perusahaan itu bernama Fuyao Glass Industry Group Co. Ltd yang berdiri sejak tahun 1987 dan berpusat di Fujian, China. Konsumen mereka banyak, seperti General Motors, Hyundai Motor, Fiat, BMW, Honda, Volkswagen, dll.  Pabrik baru yang didirikan di bekas pabrik GM itu pun dinamai Fuyao Glass America.



Untuk transfer ilmu di pabrik baru agar kualitas hasil produksi sama dengan yang ada di pusat, maka didatangkan 200 pekerja asal Tiongkok dan beberapa atasan juga berasal dari Tiongkok. Namun, dewan direksi sebagaimana mungkin dipertahankan berasal dari orang Amerika.

Awalnya kehadiran pabrik ini disambut gembira sampai masalah-masalah kian muncul. Tak banyak orang Tiongkok yang mampu berbahasa Inggris, pun sebaliknya. Atasan dan pegawai Tiongkok mulai mempermasalahkan budaya kerja orang Amerika. Mereka menganggap rekan kerja lokal terlalu santai bekerja, tidak memenuhi standar, banyak libur, penuntut dan pengeluh, serta kerap berlindung dibalik serikat buruh yang dianggap Tiongkok merecoki perusahaan.

Ketika CEO Fuyao mengajak beberapa eksekutif dari Amerika ke China, mereka diperlihatkan bagaimana orang China bekerja. Satu pekerja bisa melakukan pekerjaan dua orang Amerika. Pekerja Tiongkok yang didatangkan ke Amerika pun sengaja didatangkan dari jauh agar mereka tidak terganggu masalah keluarga sakit, ada yang nikah, atau orang tua yang menyebabkan pekerja Tiongkok harus mengambil cuti.



Pegawai Tiongkok terbiasa dengan pekerjaan lembur tanpa honor tambahan dan minim hari libur, umumnya seminggu sekali dan pulang kampung setahun sekali. Selebihnya mereka bekerja. Sedangkan pekerja Amerika mengikuti aturan buruh yaitu libur dua hari dan ketika lembur pun mereka menuntut bayaran.  

Konflik masalahnya disini menurut gue adalah saat standar keamanan kerja dipertanyakan. Ada beberapa proses pekerjaan yang rawan kecelakaan kerja. Contohnya seperti saat adegan pekerja Tiongkok yang sedang membereskan gunungan pecahan kaca yang tak lolos standar tanpa menggunakan sarung tangan anti gores. Ditambah beberapa adegan dari pegawai Amerika yang mengalami kecelakaan di tangan hingga harus berobat ke rumah sakit dan kaki yang terluka sampai harus menggunakan alat bantu berjalan.

Apart from the tension between workers and management, film ini juga menceritakan kisah persahabatan antara orang Amerika dan Tiongkok yang erat. Walaupun mereka kesulitan dalam hal komunikasi tetapi keduanya bisa melebur dan menjadi teman yang akrab.




Cerita di film ini menarik buat gue karena memperlihatkan kultur bekerja yang tajam dan berusaha adil dengan memberikan porsi untuk tiap-tiap kubu untuk bercerita sesuai sudut pandangnya secara seimbang. Mulai dari mantan pegawai GM yang sekarang bekerja di Fuyao, pegawai Tiongkok yang dikirim ke Amerika, hingga dari sudut pandang CEO Fuyao yang nekad mendirikan pabrik di negara orang. Menurut gue film ini juga nggak mengandung keberpihakan karena tiap-tiap kubu memiliki alasan sendiri dan memiliki tujuan yang dinilai baik untuk masing-masing.

Setelah nonton film ini gue dan Satrio ngomong ngalor-ngidul tentang pendapat kita masing-masing. Tapi menurut gue pribadi tiap sudut pandang punya argumen benarnya masing-masing. Gue nggak setuju kalau keamanan di tempat kerja nggak diperhitungkan dan hanya menilai pekerjaan dari outputnya saja. Cuman kalau kerja memang nggak sepatutnya banyak nuntut kalau nggak sepadan sama hasilnya. Kerja lambat, nggak efisien, tapi nuntut banyak, siapa yang mau mempekerjaan orang-orang semacam itu juga kan?



Hanya satu yang gue sayangkan dari film satir ini. Ketimpangan pemeran yang membuat sudut pandang pengalaman dan hasil kerja mereka jadi nggak seimbang. Bagaimana orang-orang Tiongkok yang bekerja disana terlihat masih muda dan energik dibanding orang-orang Amerika yang terlihat sudah lebih berumur yang mungkin jadi jawaban kenapa progress pekerjaan mereka lebih lambat dari orang Tiongkok.

Porsi film ini secara keseluruhan bagus. Jawaban dari konflik juga sudah disuguhkan di akhir film. Bagaimana akhirnya Tiongkok tetap mempertahankan pabriknya di Ohio tetapi dengan solusi yang dinilainya lebih punya standar dan tidak ribut. Dan bagaimana pekerja Amerika Serikat mendapatkan haknya.



Satu quotes yang gue suka dari film ini adalah:
Berdiri diam berarti mundur.

Kalian bisa nonton film ini di Netflix atau website streaming lainnya.
Selamat menonton dan meresapi!

No comments:

Post a Comment