May 2020 - Lagi Monolog

Saturday, May 23, 2020

Ngomong-Ngomong Soal Minta Maaf

1:26 PM 0
Ngomong-Ngomong Soal Minta Maaf

Wow! Nggak kerasa udah 22 hari gue nggak posting di blog ini—walaupun juga nggak ada yang nunggu-nungguin tulisan gue disini, sih. Emang dasar ge-er lu!

 

Nggak terasa juga, besok sudah lebaran. Cepet banget ya? Gue juga nggak ngerti kenapa Ramadhan kali ini justru setengah waktu berharganya malah gue habiskan buat ‘bolos’—secara alamiah. Padahal harusnya gue bisa lebih banyak nabung buat urusan akhirat. Tapi ya gitu. Seprogresif apapun manusia, tetap ngerasa kurang. Nggak ada yang bener-bener cukup, kecuali dicukupkan. Tapi soal ini, poin kedua kan nggak berlaku.

 

Btw, lebaran selalu jadi momen yang selalu ditunggu-tunggu setelah Ramadhan. Tapi rasanya semua orang tahu betul bahwa Ramadhan kali ini, lebaran kali ini bener-bener beda. Rasanya kayak yaudah aja gitu. Nggak ada perayaan, nggak ada kumpul-kumpul, nggak ada momen spesial tatap mukanya—kecuali yang memilih menyerah untuk membela egonya sendiri dan mengesampingkan nurani. Lu ngerti maksud gue. No judgement!


Source: Unsplash
 


Hal menarik yang terjadi dalam society adalah lebaran selalu jadi momen buat kita maaf-maafan. Dan ngomong-ngomong soal maaf-maafan, gue lagi sering banget lihat atau denger kata-kata itu di pemberitaan, sosial media, bahkan yang gue tau sendiri dengan mata kepala. Ketika banyak manusia berharap dan berusaha buat nggak ngulangin kesalahan yang sama, banyak manusia lainnya yang justru menjadikan ucapan maaf dan acara klarifikasi jadi jalan ninja.

 

Kalau kata senior kuliah gue dulu:

Lebih baik meminta maaf, daripada meminta izin.

 

Jangan salah paham dulu.

Kan nggak semua hal bisa pakai aturan yang sama?

 

Kayak contohnya hal yang gue alamin beberapa hari ini. Puncaknya kemarin. Gue ada bantuin proyek buat tabungan lebaran gitu kan untuk ibu-ibu sekitar rumah. Nanti hasil tabungannya tuh dibelanjakan sesuai kontrak awal dia milih paket apa. Barangnya macam-macam. Ada sembako, snack, telur, sampai daging. Jadi kalau si ibu milih paket daging, beliau akan dapat paket dagingnya saat lebaran. Tabungannya disetor tiap bulan selama setahun.

 

Nah, si vendor daging ini berulang kali mengingkari janjinya buat nganterin daging potongnya sesuai waktu yang disepakati. Harusnya gue dan Mama udah nerima dagingnya hari Rabu, eh ditunda Kamis. Kamis ditunggu, bilangnya Jumat bakal dianter. Begitu udah hari Jumat, dia malah nelpon bilang “maaf” karena nggak bisa nganter trus nanya gimana kalau daging yang jumlahnya sekian ton itu dikirim Sabtu pagi. Posisinya ibu-ibu ini udah nyiapin masakan dan segala hal sesuai yang direncanakan, cuma kurang dagingnya.


Di situasi ini jelas gue kesel banget sih karena complain kan datang terus. Setelah gue protes dia baru jujur kalau duitnya dia pakai dulu. Like, seriously? Trus ya gue nggak mau tau dong gimana caranya tuh daging pesenan dateng malam itu juga atau dibalikin duitnya sekalian. Gue minta dia offer solusi konkrit yang enak buat kedua belah pihak, walaupun nggak ada keputusan yang enak kan ya di situasi kayak gini? Lagi, dia cuman bilang maaf. Udah.

 


Sedangkan di satu sisi banyak orang yang protes sana-sini, ngancem-ngancem, dan minta duitnya balik. Gue sangat paham dan sangat setuju dengan itu karena gue bakal melakukan hal yang sama bila ada di posisi mereka karena kecewa banget!

 

Di luar ngomongin soal bisnis (mungkin bakal gue bahas lain kali di blog ini), gue akan ngebahas soal permintaan maafnya. Dari 22 tahun gue hidup, gue mengambil kesimpulan bahwa kebanyakan orang minta maaf ya cuma berucap maaf aja. Gue bukan orang suci dan gue akuin gue kadang gitu soalnya. Lu juga kan? Apalagi pas lebaran. Kita sungkem ke orang yang lebih tua, mohon maaf lahir batin ke semuanya, tapi besoknya gitu lagi.

 

Balik lagi ke kejadian. Melihat konteksnya, harusnya mbak ini minta maaf yang tulus disertai dengan solusi. Solusinya apa? Harus gimana tindakan adaptifnya? Karena as professional, dia vendor. Kesannya kayak lepas tangan gitu aja. Malah dia balik nanya, gimana mbak? Saya betul-betul minta maaf. Begitu gue minta ganti rugi atau minta dia buat usaha ke pasar saat itu juga, dia justru tanya, mbak harga dagingnya naik, gimana?

 

Ya elu tanggung jawab dong gimana! Sebagai customer kan kita nggak mau tau, call me don’t have empathy but I’m her customer and I have customers.

 

Kami udah kasih duitnya dari jaman kapan tapi barang malah gak ada pas kami sekeluarga datengin dia di tempat—sampai didatengin tuh. Kalau nggak didatengin langsung gitu, gue udah nggak ada ide dia bakal kasih alasan apalagi. Ternyata, dari yang harus disiapin sekian kwintal, dia nggak ada barang sama sekali karena duitnya dia pakai semua. Lu bayangin.

 

Ya kita semua ngerti lah. Namanya bisnis kan emang punya risiko. Beside that, kita juga punya tanggung jawab dong. Kalau gue harus kehilangan duit sekian puluh juta, itu tanggung jawab gue ke customer gue karena sudah memilih vendor yang nggak trusted. Tapi dia punya tanggung jawab ke gue juga sebagai vendor. Kalau si vendor ini berurusan sama gue doang, okelah. Tapi ini menyangkut orang banyak. Jadi gue geram banget sama perilakunya!

 

Dari sini gue menarik kesimpulan ke sebagian besar dari mereka yang hanya minta maaf tapi nggak ngasih solusi. Termasuk beberapa orang yang baru-baru ini rame di sosial media. Pasti deh alurnya tuh bikin ulah, ngecewain orang, minta maaf, trus diulangi lagi, bikin ulah lagi, ngecewain orang lagi, minta maaf lagi.

 

Sisanya, manusia yang lain diharapkan bisa memaklumi kesalahannya dengan narasi:


manusia kan nggak sempurna, bisa bikin salah.

 

Narasi ini menurut gue menyesatkan. Bisa bikin salah paham bahwa manusia dibebaskan ngapain aja karena, ya kita manusia. Seolah nggak ada pilihan lain gitu selain udah terlanjur melakukan, lalu minta maaf, padahal setiap tindakan kita bisa dikontrol. Kan kita punya akal sehat. Punya nurani.

 

Gue yakin setiap manusia pernah bikin salah. Yang membuat kita beda dari manusia lainnya di bumi, salah satunya bisa kita nilai saat si manusia itu bikin salah. Gimana pertanggungjawaban si manusia atas kesalahannya? Gimana pertanggungjawaban si manusia atas kesalahannya yang menyangkut kehidupan manusia lainnya?

 

Other than that, gimana pertanggungjawaban si manusia buat orang yang udah terlanjur dibikin sakit dan dikecewain?

 

Apa pemakluman selalu jadi penyelesaian?

 

Semoga setelah hari ini, kita bisa jadi manusia yang bisa benar-benar lebih baik.


*gue nulis ini sambil emosi, mind my grammar.

Monday, May 4, 2020

Kapan ini Semua Berakhir?

9:51 AM 1
Kapan ini Semua Berakhir?

Kalau gue nanya itu sekarang, lu pasti seratus persen paham ‘ini’ yang gue maksud itu apa. Kalau lagi diem, gue suka dihantui isi kepala sendiri. Bukan karena gue nggak bisa menahan diri, tapi gara-gara situasi yang seperti ini membuat dunia yang morat-marit jadi lebih berantakan dari biasanya. Kewarasan jadi hal yang mahal dan mati-matian dijaga. Hampir semua orang seperti kehilangan arah dan harapan. Waktu jadi juru kunci, tapi sayangnya ia tak kunjung bersua.

Pertanyaannya, kapan ini semua berakhir? Gue udah nyari jawaban dari sana-sini. Baca penelitian, nggak nemu jawabannya. Semuanya hanya prediksi. Tanya ke semesta, nomornya tidak bisa dihubungi. Bahkan gue udah coba tanya ke rumput yang bergoyang, dia cuma goyang aja, seolah sedang menertawakan manusia. Menertawakan gue.



Tahun ini mungkin jadi salah satu tahun yang nggak mudah buat kita semua. Tahun yang bikin penat nggak berhenti-berhentinya menggerogoti isi kepala. Tahun yang bahkan masih jauh untuk bisa diganti ke chapter yang baru.

Seriusan, gue juga nggak ada henti-hentinya nanya ke diri sendiri, ada apa sih dengan tahun ini? Mau sedih, mau marah rasanya udah nggak ada gunanya. Ketika kita dipaksa berdiam di sebuah ruang yang disebut rumah. Padahal gue dan lu tau kan, ada banyak hal yang tidak bisa diselesaikan di rumah.

Tapi gue dan lu juga udah dewasa untuk sekadar mikir, urusan kita benar-benar tidak bisa diselesaikan di rumah atau cuma cari alasan untuk bisa keluar dari rumah yang nggak benar-benar rumah?

Buat sebagian orang, rumah nggak bisa buat betah. Gimana rasanya betah di sebuah rumah yang nggak benar-benar rumah? Gimana rasanya supaya bisa betah di rumah?

Ngomongin soal rumah, gue jadi ingat kejadian dua bulan lalu ketika gue akhirnya mendapat panggilan kerja dari salah satu perusahaan multinasional asal Singapura. Nantinya, disana gue akan punya klien dari mancanegara. Kalau boleh jujur, bisa bekerja di perusahaan multinasional adalah salah satu alasan kenapa gue alih haluan ke jurusan Bisnis Internasional saat kuliah—yang ujung-ujungnya tetap Administrasi Bisnis.

Tapi dengan penuh pertimbangan, gue mundur dari proses pendaftaran yang  padahal tinggal ngomongin soal gaji aja sama representative mereka yang ada di Hongkong dan Singapura.

Kurang ajar emang.

Gue sempat mengutuk diri sendiri selama beberapa minggu. Ngerasa bersalah sama mereka. Ngerasa udah bikin keputusan yang salah juga. Lalu kondisi mengerikan ini meletus di tanah air dan sejak saat itu gue sedikit bisa bernapas kembali.

Ketika banyak orang malang dirumahkan tanpa bisa membela hak masing-masing, gue malah justru sudah terbiasa mengurus segala hal dari rumah. Karena di hari gue mundur itu, gue memulai kehidupan mandiri dari rumah. Dan ajaibnya, gue betah. Gue betah memperbudak diri sendiri. Gue betah jalan-jalan kemanapun yang gue mau tanpa perlu kemana-mana.




Dari situ gue jadi menyimpulkan.

Dimanapun kita berada, betah itu bisa diciptakan.

Satu-satunya cara adalah dengan belajar untuk nyaman dengan diri sendiri. Titik letak masalahnya adalah, kalau kita masih sering uring-uringan sama diri sendiri, nggak bisa percaya sama diri sendiri, lebih nyaman sama orang lain dibanding dengan diri sendiri, terus dimana letak betahnya?

Coba untuk berdamai dengan diri sendiri.

Coba untuk menerima diri sendiri. Kalau diri sendiri lagi ngerasa sakit, ya bilang kalau lagi sakit. Kalau lagi marah, capek, putus asa. Terima. Kan nggak semuanya harus diterjemahkan sebagai rasa senang?

Setidaknya kalau berhasil merumahkan diri sendiri, ketika kita dipaksa hidup di dalam rumah, ada ruang kecil yang nggak pernah berubah. Yang membuat kita kemana-mana tanpa kemana-mana: Diri sendiri.

Sejujurnya gue lagi nulis ini dengan perasaan marah yang udah mulai bisa gue terima. Sekitar dua atau tiga minggu lalu ketika topik tulisan ini direncanakan, gue menganggap tahun ini tuh memang tentang menelan pelajaran yang memaksa kita untuk tumbuh. Namanya juga memaksa, jadi caranya juga mungkin harus dengan nyakitin kita. Walau caranya harus dengan kehilangan mimpi yang begitu kita inginkan.

Untuk poin terakhir itu, parah sih. Ada sebuah mimpi yang bahkan butuh waktu tiga tahun buat gue untuk bisa menggenggamnya.

Tiga tahun cuy!

Ketika semua hal sudah dibereskan dan gue tinggal menunggu beberapa hari aja, gue nggak bisa maju lagi walau hanya selangkah.

Itu sakit sih.

Kemudian datang beberapa teman yang ikut merasakan sakitnya, contohnya seperti bisnis yang ia perjuangkan jadi nggak bisa jalan sama sekali, sekolah yang dia jalani dengan beasiswa di negeri orang harus terhenti karena dukungan dana yang nggak keluar lagi, mereka yang terjebak di bandara tanpa tahu kapan bisa kembali ke tanah air. Gue jadi bener-bener ngerti bahwa gue nggak sendiri.

Kita lagi bareng-bareng.

Nggak ada yang bisa jawab kalau pertanyaan, kapan semua ini berakhir, kembali dilontarkan. Nggak ada yang bener-bener bisa jawab dan itu serem. Bukankah itu menyeramkan ketika kita bebas bertanya tapi kita nggak boleh tau jawabannya?

Mungkin memang satu-satunya cara adalah dengan menghadapinya. Justru setelah gue coba untuk menerima dan menghadapi ini semua, gue merasa saat-saat ini ada berkahnya juga.

Emang apa berkahnya?

1.     Punya banyak waktu dengan diri sendiri

Mungkin kalau nggak dipaksa begini, gue nggak akan tau kalau gue punya masalah di rambut gue yang rontok sampai jadi tipis banget. Yang entah kapan akan gue perhatikan kalau nggak saat-saat seperti ini. Gue jadi banyak melakukan self-care.

Tapi nggak hanya itu, gue jadi bisa lebih paham apa mau gue. Walau nggak paham-paham banget karena kan yang namanya pendekatan butuh waktu yang nggak sedikit juga. At least, disini gue jadi sering ngajak ngobrol diri sendiri. Call me crazy for talking to myself. Cuma dari obrolan itu, gue jadi mengenal sosok seperti apa yang hidup di diri gue. Dan gue percaya, lama-lama gue akan mengerti apa mau gue tanpa perlu bertanya seperti apa diri gue di mata orang lain untuk dapat jawabannya.

Bayangin aja, mungkin selama ini kita terlalu acuh sama sosok yang selalu dekat sama kita karena sibuk ngurusin urusan orang lain. Sosok itu, diri sendiri, juga butuh dimengerti, butuh didengar. Supaya nanti kita nggak terlalu cepat memiliki kesimpulan bahwa omongan orang terdengar lebih meyakinkan daripada omongan diri sendiri. Kan gak lucu, lahir dari rahim ibu tapi makan perkataan orang lain.

Ya dari tidak mengenal diri sendiri itu cikal bakal banyak masalah. Masalah yang nggak ada obatnya selain berdamai dengan sosok yang itu-itu aja sebenernya, diri sendiri.

2.     Ada waktu untuk menata ulang hidup yang gue mau

Poin ini ada hubungannya dengan poin sebelumnya. Ketika gue selangkah lebih mengenal diri sendiri, gue jadi bisa berpikir, apa sebenernya yang ingin gue lakukan. Kalau emang belum juga nemu, nggak papa. Kayaknya semua orang juga gitu. Jadi pelan-pelan.

Di kondisi yang seperti ini, kita jadi punya banyak waktu untuk memikirkan ulang ide-ide yang belum sempat diaktualisasi. Berita baiknya, kita bisa memikirkan ulang tanpa merasa terburu-buru karena kebanyakan orang pun lagi jalan kayak siput. Ini waktu yang tepat untuk meluruskan kembali target, rencana, mimpi, atau apapun itu dengan baik, dengan kepala dingin, dengan ruang yang lapang tanpa tekungkung oleh waktu. Lagi-lagi karena hampir semua orang juga lagi jalan lambat.

Dan disini gue juga belajar untuk nggak bergantung sama ekspektasi. Gue bahkan mulai berani menuliskan prediksi-prediksi kegagalan yang gue terima di sepanjang tahun 2020. Prediksi-prediksi yang beberapa malah betulan terwujud, tapi gagal bikin gue kaget karena gue udah memperhitungkan itu sebelumnya. Prediksi yang begitu menyeramkan ketika dituliskan, tapi nggak begitu menyeramkan lagi ketika terjadi karena semesta kalah cepat.

Pelajaran baru yang lagi-lagi gue dapat ketika masa-masa sulit ini adalah ternyata lebih baik kecewa karena gagal daripada kecewa karena ekspektasi sendiri. Ternyata bukan kegagalan yang menyakitkan tapi karena kenyataan yang nggak bisa kita terima.

Itu sakitnya sakit!

3.     Banyak waktu untuk meningkatkan kemampuan

Coba jujur, sudah ngapain aja selama di rumah? Sudah bisa ngapain aja? Sudah dapat sertifikat apa aja?

Mungkin bagi kebanyakan orang, bunga tidur jauh lebih terasa menyenangkan daripada hidup di dunia nyata.

Nggak ngebayangin sih, betapa menyeramkannya ketika bangun tidur dan nggak tau mau ngapain. Gue juga pernah ngerasain kok.


Itu menurut gue jauh lebih serem daripada ketika bangun terus nerima kenyataan bahwa ada begitu banyak hal yang harus dikerjakan.

Buat yang belum tau, ada teknologi keren bernama internet yang memungkinkan kita untuk melakukan apapun. Ada begitu banyak portal sharing content, kelas onlen, program sertifikasi yang bisa diikuti. Banyak juga platform yang kasih diskon sampai hampir seratus persen bahkan sampai digratisin. Dan lu kutu kupret masih bisa merasa bingung mau ngapain?  

Jujur. Jujur gue capek bacain status orang-orang yang ngeluh dirinya rebahan mulu tapi cari inisiatif untuk melakukan sesuatu aja enggak. Besokannya orang-orang yang sama ngeluh setelah memprediksi dirinya nggak mampu beli rumah dan punya duit dua digit per bulan.

Hello? Situ sehat?

Menurut gue ini adalah waktu yang tepat untuk mencoba kembali hobi lama, mencari hobi baru, atau justru meningkatkan kemampuan. Temen gue, suka banget makan. Selama di rumah dia coba masak ini itu. Selain biar hemat ya dia cari kesibukan aja. Nggak taunya ketika dia posting video dia masak ke Instagram, banyak yang nanyain. Sejak itu dia memutuskan untuk nyobain bikin bisnis makanan yang dia pasarkan lewat onlen.

Kalau sudah berakhir, memangnya mau apa?

Percaya nggak percaya, setelah virus ini mereda, tatanan dunia pasti berubah. Cara pikir baik-baik. Sistem perekonomian, sistem pendidikan, model bisnis, apapun yang terkena imbasnya pasti bakal mengalami penyesuaian. Dan memang 2020 ngajak kita jatuh bareng-bareng buat maksa kita berubah.

Daripada nanyain pertanyaan yang nggak bisa dijawab siapapun tentang,

Kapan ini semua berakhir?

Gue ganti pertanyaannya jadi,

Kapan kita mulai beradaptasi dengan semua ini?