June 2017 - Lagi Monolog

Wednesday, June 28, 2017

Menjadi Perempuan dan Pemimpin

3:26 PM 0
Menjadi Perempuan dan Pemimpin


Mungkin gue belum sempat menulis di blog ini tentang project yang sedikit banyak mengubah hidup gue. Ah, bukan. Maksudnya, gue sedikit banyak berubah melalui sebuah project. Mungkin next time gue bakal bikin postingan khusus tentang itu. Sekarang gue mau ngomongin tentang perempuan yang menjadi pemimpin.

Gue aktif di sebuah organisasi internasional based on my campus, AIESEC Local Committee Universitas Brawijaya. Ini bukan organisasi bahasa inggris, tapi lebih ke organisasi kepemimpinan. Aktivitas di organisasi ini beda sama organisasi leadership lainnya, karena we do leadership through exchange. Meskipun sampe 2th term gue belom pernah ada kesempatan untuk exchange. Doain aja yaa. Nah, karena produknya adalah exchange, kerjaan utama kita (terutama banget di departemen gue) adalah bikin project sosial based on local issues yang ada di sekitar, mencoba solve itu dengan mengajak mahasiswa lokal dan asing dari seluruh dunia untuk jadi volunteernya. Yang menjadi tantangan dalam membuat project-project ini adalah support system yang sedikit, bahkan gue bisa bilang super duper sedikit untuk project internasional kaya gini. Gue cuma punya 9 team member dan kita harus running project selama 8 bulan total di term winter dengan brand One South East Asia Project. Hebatnya, di term gue semua project presidentnya adalah perempuan.

Disini gue mau ngomongin soal emansipasi. Terima kasih untuk Ibu Kartini yang sudah memperjuangkan emansipasi wanita sampai kita semua bisa merasakan manfaatnya sekarang. Gue nggak ngerti makna harafiah dari kata "emansipasi" itu apa sampe gue bisa ngerti sendiri maknanya. Sekarang pun gue akan menerjemahkan emansipasi itu sendiri sebagai persamaan hak atau derajat.

Kalo lo pernah nonton videonya Jack Ma di SCMP.TV tentang The Secret Sauce of Alibaba, beliau bilang "hire women as many as possible. Because women care for other people much more than men." Bahkan beliau juga menambahkan bahwa women are going to be powerful in 21st century.

Gue bersyukur bisa punya kesempatan memimpin sebuah tim kecil yang impactful buat sekitar (semoga). Lebih bersyukur lagi ketika gue sadar gue perempuan. Sedikit banyak gue bisa membroke-up rantai stereotipe kalau perempuan itu lebih mengedepankan perasaan dibanding akal. Ya, itu sih tantangannya. Di awal project gue susah banget buat deal with my self ketika gue melihat sekitar gue yang organisasinya dipimpin oleh laki-laki terlihat lebih lancar dibanding project yang gue pimpin. Gue nggak bisa serta merta meng-cut "anak" gue ketika dia lost. Gue musti cariin dia dulu, ngajak ngobrol, hasut dia, dll. Tapi memang perilaku-perilaku yang menggunakan feeling seperti ini nggak selalu bisa work on segala situasi. Kalo nggak gitu ya perkembangan tim lo bakal super lambat dan lo akan stres sendiri buat deal with yourself. Sedangkan, sosok pemimpin harus orang yang kuat, yang bisa empowering others, but at the same time dia harus bisa "ngemong" anak-anaknya.

Pelajaran yang gue ambil dari journey tersebut adalah sesekali gue harus mengurangi kadar feminimity gue sebagai hasil bawaan as a woman dan menaikkan kadar masculinity gue jauh lebih tinggi. Lagi-lagi, kalo nggak gitu gue nggak akan bisa marah kalo member gue emang saatnya dimarahin, gue nggak bisa tegas buat menggerakkan tim tersebut, dan gue nggak bisa kuat dan pretend like everything's okay kalo tim gue terguncang. Pernah gue nangis sambil nelpon personal motivator gue buat konseling karena international volunteer gue cuma 3 orang doang. Disitu dia bener. Emang gue yang lemah. Emang gue yang nggak bisa gerakin tim gue untuk punya pengertian yang sama tentang impact yang akan kita buat. Sejak saat itu, gue lebih ekspresif dan punya power walaupun on the other side gue masih saja perempuan, yang lembut hatinya.

Kalo masih ada orang yang suka aneh ngeliat cewek itu mimpin sesuatu dan dia itu cowok, mungkin dunianya tertukar. Kemana aja dia ketika sosok pemimpin dibutuhkan? Sedangkan perempuan itu punya tingkat careness yang tinggi. Ya akhirnya kita dong yang maju. Suka capek juga sama laki-laki gengsi tinggi tapi nggak ngapa-ngapain.

Sekarang menghalang-halangi perempuan untuk keluar, talk to people, dan meraih mimpi mereka itu kaya gimana yaaa. Nggak relevant aja. Kalau sudah berumah tangga itu beda kasus ya. Nanti tergantung kesepakatan antara suami-istri. Khususon untuk orang-orang yang suka menganggap wanita itu lemah dan nggak mampu memimpin hanya karena kita lebih mengedepankan perasaan, Anda salah. Mengapa masih ada border antara perempuan dan laki-laki? Karena mungkin laki-laki sudah mulai kehilangan kepercayaan dirinya karena wanita sudah mulai hebat-hebat. Andaikan kita semua bisa bekerjasama, tidak ada lagi kasus KDRT, stereotype wanita bodoh yang kerjanya cuma bisa manak-macak-masak (beranak, berdandan, memasak), dan Gender Inequalities lainnya. Mungkin laki-laki intoleran harus lebih terbuka kaliya dengan sedikit menurunkan egonya untuk mulai mengakui keberadaan wanita sebagai support system yang awesome. Apasih susahnya bekerja sama? Perempuan kan diciptakan untuk laki-laki. Let us standing beside you to make a better word, guys!

Saturday, June 24, 2017

Manusia Bernilai Atau Berilmu?

8:52 AM 0
Manusia Bernilai Atau Berilmu?
Seperti biasa, sebelum lo baca tulisan random gue ini, lebih baik lo ngerti dulu disclaimernya. Nilai yang gue maksud dalam postingan kali ini bukan nilai kualitatif ya, tapi nilai-nilai kuantitatif. Disini gue cuma mau berbagi dari apa yang gue tau. Ibaratnya masih dari beberapa sudut pandang yang gue rangkum dalam satu sudut pandang opini gue. Kalau misal ada yang mau diskusi atau nggak setuju tentang ini pun, gue terbuka untuk lo ajak main, komen-komen, dll. Lo bisa hubungin gue atau kalo nggak mau ribet, bisa komen di bawah. Jangan pernah sekalipun lo nulis sesuatu yang kontra di akun sosmed lo tanpa mention gue, karena gue nggak bakal tau dong :)

Gue lagi-lagi mau curhat tentang sesuatu yang berkecamuk di kepala. Emang sih, gue masih kuliah. Semester 4 pula. Masih 2 tahun lagi normalnya gue lulus. Tapi kebiasaan gue yang satu ini emang udah mendarah daging banget, berpikir jauh ke depan. Terlalu jauh mungkin.

Di kelas, gue bingung apakah gue harus ikut-ikutan ambis untuk sesuatu yang nggak informatif semacam nanya sesuatu hal yang udah jelas jawabannya. Gue pernah post di postingan yang berjudul "Nanya Juga Perlu Mikir". Lo bisa baca dulu kalo belom baca. Rata-rata temen-temen gue ambis untuk nilai. Bahkan ada yang udah dapet nilai bagus tapi jegal-jegal temen di atasnya supaya dia bisa naik tahta. Ini cerita nyata ya. Bukan sinetron. Atau mungkin hidup dia yang terinspirasi dari sinetron.

Logika normalnya, kalo lo liat nilai temen lo tinggi, lo pasti labelin dia jadi "anak pinter", ya gak? Misal nilai Keuangan lo jelek dan ada temen lo cuma salah 1 soal doang. Lo pasti langsung mikir "ih pinter banget sih!". Nah, trus ke depan-depannya untuk ujian di mata kuliah yang lo gabisa itu, lo pasti akan nanya ke temen yang cuma salah 1 soal doang tadi. Karena nilai dia bagus, berarti dia paham dan bisa ngerjainnya. Teorinya tercipta dari kejadian-kejadian semacam itu.

Nah, disini gue mau jelasin sesuatu yang janggal. Ada oknum-oknum yang IPKnya bahkan cuma kurang 0.2 lagi buat mencapai 4.00. Super nggak? Jenius kan? Tapi, ketika mereka ini diminta buat ngejelasin sesuatu, mereka nggak ngerti. Ketika ada belajar kelompok, mereka pasif. Nanya mulu. Bahkan ngitung pake rumus yang harusnya udah di luar kepala, mereka bingung. Alasannya lupa. Untuk isu-isu terkini mereka tutup mata. Banyak hal yang nggak mereka tau. Disini gue heran, trus nilai itu buat apa kalo mereka nggak ngerti apa yang mereka pelajari selama ini? Jangankan mikir gitu, lantas nilai itu dapet darimana?

Sebelum gue masuk kuliah, gue ditawarin daftar polwan. Tapi, jelas gue nggak mau. Gue mikir lagi buat apa sih gue kuliah? Ternyata, gue kuliah karena gue pengen dapet ilmu. Biar gue nggak bloon. Biar gue jadi orang yang berguna. Biar gue informatif. Gue kuliah bukan karna gue pengen lulus cumlaude. Ya, kalo Allah kasih pun gue nggak bakal nolak juga. Tapi menjadi orang yang berilmu itu yang lebih penting buat gue, apalagi cewek. Gunanya banyak banget. Dian Sastro pernah bilang,"Wanita cerdas akan melahirkan anak-anak yang cerdas." Selain itu, kalo gue sebagai cewek itu cerdas, itu bakal bantu gue memfilter lingkungan gue, komunitas gue, dan cowok-cowok yang mau ngedeketin gue. Gue nggak bilang kalau pilihan-pilihan lain selain kuliah menjadikan seseorang itu nggak berilmu lho yaaa. Cuman, di dunia kampus, sebagai penyandang kata "maha" lo bisa jadi apa aja yang lo mau, ngelakuin apa aja, dan segala platform terbentang luas dan lo tinggal pilih.

Stigma orang Indonesia masih banyak yang berpikir kalau lulus 3.5th udah jelas pinternya. Padahal nggak sedikit juga yang akhirnya nganggur, trus dapet kerja barengan sama yang lulus lama. Ada kating gue yang udah hampir 5.5 th belum lulus. Yang jelas dia nggak bodoh. Cerdik malah. Dia manfaatin statusnya sebagai mahasiswa buat cobain banyak opportunity yang bisa nambah-nambah ilmu dia. Waktu judul skripsi dia disetujui, dia malah dapet YSEALI Academic Fellows ke University of Connecticut, USA. Sebelum itu pun dia menunda skripsinya karena lolos International Business Model Canvas di Microsoft Campus, Redmond. Sekarang skripsi dia nggak jauh-jauh dari analisis perbandingan Indonesia-Amerika dan dia dapet profesor pembimbing juga dari Host Campus dia waktu exchange dulu. Ada lagi kating gue juga yang masih belum lulus tapi startupnya masuk 20 semifinalis di IBMC, Silicon Valley.

But, disini gue nggak mau dibilang men-stereotype atau mengeneralisasi semua orang. Ada juga kating gue yang skripsinya ngebut selama 4 bulan doang, lulus 3.5th dan sekarang kerja di Maybank. Ada yang tinggal nunggu jadwal wisuda dan sekarang dia punya startup fintech buat Mahasiswa.

Gue lagi-lagi cuma mau ngajak kalian brainstorming aja. Apa menurut kalian nilai itu penting? Kalau kata gue jelas. Nilai itu seringkali sebagai judgement kita mampu nggak ngelewatin suatu rintangan. Kebanyakan orang tua juga nanyanya soal IP dan pengen anaknya lulus cumlaude. Beasiswa juga pake nilai bagus sebagai tolak ukurnya. Ada minimal grade yang harus dicapai. Tapi, berilmu itu menurut gue lebih penting daripada bernilai. Gue agak gimana gitu sih, kalo ada orang yang ambis soal nilai pas di kelas tapi begitu di luar kelas dan diajak diskusi dalemnya kosong, walaupun nilai ujiannya bagus.

Bukankah lebih baik kalau kita bisa bernilai dan juga berilmu?
Nilai-nilai itu akan muncul dengan sendirinya walaupun tidak dalam bentuk angka sekalipun. Bukan nilai-nilai kuantitatif, tetapi nilai-nilai kualitatif. Itu kan yang sebenarnya dicari dalam hidup?