2018 - Lagi Monolog

Monday, December 31, 2018

2019 Mau Ngapain?

10:59 PM 0
2019 Mau Ngapain?
Hari ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, timeline gue dipenuhi sama kilas balik tahun 2018 para penghuni dunia maya. Kadang hal ini bisa jadi misleading untuk sekumpulan orang. Seperti potensi comparing their life to another yang akhirnya bisa bikin mereka lupa mencintai diri sendiri.

Melakukan kilas balik tentang apa yang kita lakukan selama setahun gue maknai sebagai salah satu cara mengevaluasi diri, sebagai langkah menuju 2019 yang lebih baik dan produktif. Hal ini bisa jadi pemantik buat gue berhenti lihat sekeliling dan mulai mengapresiasi diri. Ah satu lagi. Tentunya meresapi kembali apa yang gue lalui dalam setahun ini juga membantu gue untuk mengingat bahwa rasa syukur itu perlu.

Maybe some of you have already known that I am an opportunist. 

Tahun 2018 ini gue manfaatin untuk membuat pintu-pintu yang ada di depan gue untuk nemuin pintu mana yang lead me to success. Begitulah gue+idealisme diri ini memulai tahun 2018.

__________________
Format tulisan ini terinspirasi oleh blog temen gue, Chiki. Kalian bisa baca kisahnya disini.
Hehe
__________________

Bulan Januari gue manfaatkan kembali untuk daftar program inkubasi leadership, MCW Young Leader Access Program. Kali ini gue bawa konsep startup gue, Melijo. Tahun 2017, di program yang sama, gue lolos ke tahap interview. Namun sayang, gue nggak bisa lolos programnya. Lebih sayang lagi, tahun ini gue sama sekali nggak lolos ke interview. Walaupun gue kecewa berat dan ngerasa diri ini nggak punya kualifikasi, dengan sedikitnya harapan di dalam diri, gue yakin Allah punya rencana yang lebih baik.


Di bulan ini pula, gue dapet kesempatan untuk jadi moderator dan mentor di Youth Entrepreneurship Seminar 2018. Seminar ini merupakan salah satu kegiatan di rangkaian Peoplepreneur Project yang diinisiasi oleh AIESEC. Seneng banget bisa belajar dari forum dan panelis yang kece-kece.

Februari gue lalui dengan ngurus application magang di U.S. Embassy. Persyaratannya simpel. Simpel menurut kamus gue dalam konteks ini adalah tanpa proposal. Karena gue paling males sama birokrasi yang muter-muter. Senengnya, walaupun gue magang di kantor pemerintahan, mereka nggak neko-neko minta syarat ini itu. Walaupun proses seleksinya emang panjang dan banyak.




Selain itu nggak nyangka di bulan ini, gue bisa ketemu lagi sama temen lama gue. Kami kenal satu sama lain dari project yang gue lead saat itu, Enlighten the Future. Sebagain dari mereka udah gue kenal sejak tahun 2016. Waktu itu kita ngobrol seru banget. Mulai dari soal wajib militer, ngomongin pemerintah Australia yang ngelarang warganya yang memanfaatkan lahan kosong, untuk keperluan apapun termasuk keperluan publik, sampai kesulitan Rita (nama salah satu temen gue) buat ke Indonesia karena konflik teritorial antara China, Hongkong, dan Taiwan. Dari pertemuan itu gue amazed banget sama cerita mereka. Hingga gue dan Kak Nisa bikin suatu kesimpulan bahwa suatu hari nanti kita juga harus bisa "sowan" ke temen-temen lama kita yang ada di Ausie, Jepang, or negara mana pun mereka berada

Di bulan Maret, kepengurusan Ei Lab tahun 2017/2018 dinyatakan selesai. Alhamdulillah. Selesainya kepengurusan ini menandakan bahwa kita harus move on dari Ei Lab. Move on dari orang-orangnya, kerjaannya, projectnya, dan tempatnya (kita pindah ke Gedung E, hehe). Gue bersyukur bisa dipertemukan dengan orang-orang dan environment yang banyak membawa dampak positif di tahun 2018 gue. Mulai dari gue yang udah berani speak up, ikut lomba, belajar beyond my limits, dan dipertemukan dengan 'seseorang'.


Selain itu, di bulan ini pula gue dinyatakan lolos tahap awal seleksi magang di U.S. Embassy. Namun, proses ini masih belum di ujung cerita. Gue masih harus ngirim beberapa berkas penguat yang mereka minta.

Selanjutnya gue kembali lagi menghantam limit gue dengan ikut kompetisi se-Asia Tenggara di bulan April . Selama 2 tahun jadi mahasiswa, gue cuma sekedar tau aja soal kompetisi ini tanpa ekspektasi bakal ikut. Gue nggak ngerasa se-capable itu buat berdiri di panggungnya yang super gede dan cangcingcong presentasi pake Bahasa Inggris ngejelasin gimana startup gue bekerja. But, seseorang ngedorong gue untuk coba kesempatan, apapun itu, pasti baik buat development diri ini. Oh yes, finally gue berdiri di panggungnya yang gede dan megah. Setelah itu gue nangis karena performance gue nggak seperti yang gue harapkan karena masalah teknis.


Tapi, disitulah kuasa Allah bekerja. Ternyata gue nggak perlu menjadi sempurna untuk bisa mencapai sesuatu. Alhamdulillah tim Melijo mendapat predikat Juara 1 lengkap dengan golden ticket-nya ke Amerika Serikat untuk berkompetisi langsung di slot Kuarter Final. Masya Allah.

Mei adalah bulan dimana gue mengisi kembali lembar paspor gue. Bulan ini gue bisa merangkai kelanjutan petualangan gue dalam mengubah dunia (bersama hashtag #ekanandapnachangetheworld, lol). Saat itu gue harus mengarungi perjalanan udara kurang lebih selama 20 jam! Transit di berbagai kota dan negara membuat gue menyadari bahwa Islam itu begitu fleksibel namun tetap menjaga. Perbedaan jam di udara yang nggak begitu ketara sempat membuat gue bingung harus sholat maghrib atau isya sedangkan langitnya terang terus (LOL), sholat di celah-celah kosong, hingga wudhu di wastafel tanpa mengganggu pengguna toilet lainnya. Kayanya gue harus dedikasikan postingan tersendiri untuk petualangan ini :v


Sebelum gue sampai di Amerika Serikat, gue singgah di Jepang. Selama transit, hal pertama yang gue cek adalah TOILET-nya! Entah kenapa gue penasaran banget sama toilet di Jepang. Berasa freak banget gue motoin toiletnya, nggak sih? Hal lain yang gue suka dari Jepang adalah vending machine-nya ehehe. Menurut gue Jepang ini termasuk negara yang murah sih untuk travelling. Walaupun itu balik lagi ya, tergantung gaya hidup masing-masing. Tips travelling ke luar negeri ala gue akan gue tulis di postingan lain.



Singkat cerita, gue beneran bisa ke Amerika Serikat dengan gratis, tanpa kelaparan, bahagia, dan sehat. Alhamdulillah. Walaupun beban banget untuk bisa bawa harum nama UB dan fakultas di sana :"

Sepulang dari Amerika Serikat, gue nggak mau kehilangan semangat buat terus menebar hal positif. Di bulan Juni gue coba apply untuk yang kedua kalinya, YSEALI, sebuah program pertukaran singkat selama 5 minggu di Amerika Serikat untuk belajar mengenai tema spesifik yang kita pilih. Tahun ini gue coba pindah haluan dan ambil tema Social Entrepreneurship. Di bulan ini juga gue akhirnya diterima magang di Kedutaan Besar Amerika Serikat dan menjalani orientasi singkat sebelum gue mulai magang. Di akhir bulan Juni, gue pun mulai magang di sana. First time banget gue ngurus hidup gue sendiri tanpa orang tua. First time banget buat gue ngerantau (walaupun nggak lama-lama banget). Di bulan ini gue mulai banyak belajar mengenal diri gue sendiri. Di bulan ini juga akhirnya app buatan tim Come meluncur ke Playstore (di download ya teman-teman).

Move to Bulan Juli, bulan lahir gue (sekedar ngingetin, siapa tau kalian lupa, hehe). Gue tiba-tiba dapet notif kalo gue lolos interview YSEALI. Sebenernya nggak mudah buat nyiapin interview sembari magang. Gue nggak bisa fokus. Ditambah lagi, perjalanan Jakarta Selatan-Tangeran pake Trans Jakarta memakan waktu paling nggak 1 jam perjalanan. Belum gue harus nyiapin buat makan malam dan lain-lain. Sekarang gue menyadari bahwa hal itu cuma excuse gue aja. Gue terlalu lemah buat berjuang. Niat gue cuma se-upil sedangkan kemauan gue segede bumi. Nggak imbang. Walaupun begitu, gue tetap (mencoba) confident di interview yang cuma 10 menit. Dan yaahh, rencana Allah emang nggak bisa ditebak. Halangan gue saat itu adaaa aja. Tapi yasudahlah. Mungkin Allah punya rencana.



Di bulan Agustus gue masih magang di tempat yang sama. Banyak hal menyenangkan yang terjadi, banyak punya hal yang mengecewakan. but, this is me. Diri gue sengaja gue bentuk buat tahan hantaman. Nangis itu wajib buat orang ringkih kaya gue, tapi besoknya gue akan bangun dengan "dendam" buat nerusin perjuangan naklukin dunia. Yes. Gue nggak lolos YSEALi Fall 2018. Gue nggak jadi bawa pulang daun lima jari yang jadi favorit gue. Tapi, gue nggak papa, udah biasa. Masih banyak YSEALI-YSEALI lainnya yang menanti di depan. Keep rockin'

 


Oh iya, bonus yang gue dapet di bulan ini adalah tiket gratis nonton Asian Games dari bos gue, hehe. Seru banget! Yahh, walaupun gue nggak ngerti apa-apa tentang baseball, setidaknya gue ngerasain hype di lapangan. Asoy. Kejutan lagi yang gue terima di bulan ini adalah gue bisa ngomong tentang internship and career development di universitas impian gue dulu di acara yang dibuat oleh Career Development Center-nya. Gue bukan speaker yang baik memang. Ilmu gue juga jauuuuh dari kata "banyak". Namun, gue kembali sadar kejutan yang dikasih Yang Maha Kuasa betul-betul nggak disangka. Gue ditolak di universitas tersebut dan kembali kesana sebagai pembicara. Oke, emang bukan event besar. But I really appreciate that (kata gue kepada diri sendiri).


Move on ke September. Perjalanan magang gue pun selesai (setelah gue extend). Sepulangnya dari Jakarta, Pak Brilly minta gue untuk bikin struktur organisasi di Ei Lab dan kita berdua rapat untuk program kerja. Waktu itu gue masih nggak ngeh kalo gue diberi amanah untuk jadi Student Director. Dibantu grup Tumbal yaitu Amel, Chiki, dan Wenning, yang selalu bersedia gue recokin tiap hari, kita bisa bikin tim yang kompak dan lucu (sugar baby haha). Semoga begini terus yaa, ehehe

Huft.
Oke.
Ternyata capek juga nulis panjang gini. Kayanya ini tulisan terpanjang gue seumur hidup.
Lanjooottt biar cepet kelar.

Bulan Oktober ini gue manfaatin untuk bimbingan magang, itung-itung menjadi mahasiswa seutuhnya. Sambil ngisi waktu yang lebih terasa kosong pasca magang dengan jam kerja full, gue jadi volunteer di Nutrinesia Project, yang punya visi memperbaiki kualitas gizi anak-anak di Indonesia. Di project ini gue bantuin pilot project mereka dengan memberi edukasi kepada adek-adek di Sekolah Dasar untuk mengenal sayuran.

Akhirnya di Bulan November gue ujian magang! Proses ini bukan apa-apa sih, cuman gue seneng aja gitu bisa melawan rasa males gue mantengin laporan berlembar-lembar. Di awal magang, gue bikin plan buat nyusun laporan magang pake Bahasa Inggris. Kalau misal gue bisa melaluinya, gue pengen bikin skripsi pake Bahasa Inggris. Ini salah satu goal gue sebagai mahasiswa yang sempat ditolak kampus impian, hingga gue harus lagi-lagi 'balas dendam' dengan menghantam limit gue.

Nah, akhirnya tulisan ini bakalan selesai dengan note di bulan Desember. Di bulan ini nggak terlalu banyak yang gue lakukan, selain nulis skripsi dengan topik yang sama sekali baru buat gue. Tapi gue rasa justru sangat menarik buat gue pelajari. Sempat topik dan judul yang gue ambil bakal kandas karena regulasi pemerintah yang nggak ada buat isu ini. Tapi, beberapa hari lalu banget gue baca berita yang memberitahukan bahwa pemerintah udah ngeluarin regulasi buat isu ini! Sehingga, perjalanan tugas akhir gue bisa dilanjutkan :")

Akhirnya selesai jugaaa.
Naahhh (lagi)

Sekarang PR gue di tahun 2019 tentunya banyak banget. Umur gue mau 22 tahun. Gue harus udah lulus dari kandang ini. Gue harus mikir jalan mana yang mau gue tempuh: kerja? S2? Volunteer? or even jadi entrepreneur aja? Toh, gue punya project yang harus dikembangkan. Ah, tapi pasti orang tua maunya gue kerja dan mandiri secara finansial. Di sisi lain, gue merasa gue harus S2 sebelum someone gives me a ring on my finger and get married. Ah, gue pusing. Kita hentikan saja.

Pertanyaan besar yang kemudian muncul di kepala, "Harus nggak sih kita bikin resolusi? Bikin target?" Temen gue pernah nulis (yang menurut gue ada benarnya), kalau mau menghilangkan kata "GAGAL" dalam hidup, hilangkan kata "TARGET". Lakukan apa yang bisa dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan sebaik-baiknya.

Apa betul bisa begitu?


Terbang ke Amerika Serikat - Awal Perjalanan

12:57 PM 0
Terbang ke Amerika Serikat - Awal Perjalanan


Gue mau ajak kalian flashback sejenak ke bulan Mei 2018, where one of my wishlist that have been hanging on my bedroom's wall since 2016 was coming true.

______________

Dulu, tahun 2016, gue dapet kado dari seseorang. Kado itu rada kaku buat ukuran cowok yang nyatain perasaannya ke seorang cewek, yang biasanya diwakilkan dengan bunga atau coklat. Namun, kado itu beda. Isinya buku. Judulnya "Self Disruption" karya Prof. Rhenald Kasali.

Salah satu hal yang memotivasi gue dari buku itu adalah pentingnya bikin paspor buat menjelajah bumi yang luar biasa ini. Walaupun nggak ada tujuan ke luar negeri dalam waktu dekat, Prof. Rhenald Kasali berpesan buat dulu paspor-nya. Paspor tersebut bisa jadi motivasi dan menambah keyakinan bahwa suatu saat nanti, sebelum masa berlakunya habis, gue bisa ke sisi bumi Allah yang lain buat mengagumi ciptaan-Nya dalam perbedaan.

Gue mulai nyusun resolusi. Saat itu akhir tahun 2016, bulan Desember. Gue tulis di sebuah kertas yang bagus pake tipografi (karna mimpi harus punya tempat bagus supaya kita bisa menghargainya), begini tulisannya "2017 Travel Destination: Boston USA". Sekarang pun gue berusaha mengingat, kenapa harus Boston, ya? Ah, mungkin karena dalam beberapa bulan sebelum gue tulis mimpi itu, gue kenal seseorang yang keren banget punya kesempatan belajar entrepreneurship di Boston dan sekitarnya. Padahal, tipe travelling gue lebih membumi. Kalo bisa pilih, gue akan pergi ke Incheon daripada ke Seoul, gue akan pergi ke Nagoya daripada ke Tokyo, gue lebih tertarik ke Arizona or Nevada daripada ke New York. Tapi yasudahlah, target kan bisa kemana saja.

Karena gue terngiang-ngiang terus sama apa yang udah gue tulis, gue berusaha ikut program macem-macem supaya bisa belajar kesana. Program pertama adalah Global Undergraduate Program, gue gagal. Program kedua adalah YSEALI on Civic Engagement, gagal. Program ketiga adalah MCW Young Leader Access Program, gue lolos ke tahap interview! Ah, sayangnya gue nggak lolos interview-nya (so sad). Fast forward, akhirnya tahun 2017 pun gue lalui tanpa menginjakkan kaki di Amerika.



Awal tahun 2018, gue coba ikut ESPRIEX, The Lean and Business Model Competition in ASEAN, program yang sama kaya yang diikuti 'seseorang' itu. Dia cukup keras nge-push gue untuk ikut program tersebut, sedangkan saat itu posisi gue adalah panitia. Sumpah, saat itu gue ngerasa nggak enak sama semuanya, karena gue lepas tanggung jawab jadi panitia tepat di H-2 acara buat fokus jadi peserta (persiapan application udah dicicil sama tim gue yang lain). Walaupun performance hari H berjalan nggak begitu lancar, tim gue dinyatakan sebagai Juara I dan dapet golden ticket ke International Business Model Competition (IBMC) 2018 bulan Mei. Gue masih menganggap momen itu sebagai keajaiban. Kaya seriusan deh, kuasa Allah memang nggak ada yang nyaingi.



Gue dan tim pun pergi ke Amerika. Ke tempat yang dekat dengan Arizona dan Nevada, ke Utah. Ke-nggak-nyangka-an ini nggak bisa dituliskan lewat kata-kata. Bisa jadi juara I se-ASEAN aja udah bersyukur banget, eh malah dibonusin buat berkompetisi di kompetisi business model yang pertama dan terbesar di dunia di Kuarter Final. Selain itu, kami bisa belajar dari Ash Maurya, yang bikin Lean Canvas (salah satu canvas yang kami pelajari di Ei Lab).

___________

Dari perjalanan ini gue jadi bisa metik pelajaran. Bukan berarti kalo gue gagal, gue nggak punya kemampuan. Kadang masalahnya itu cuma timing. Sama kaya kalo kalian mau nembak cewek, timing sangat diperlukan. Sebagai manusia, gue nggak mungkin tau kapan timing yang tepat. Apa yang tepat buat gue, belum tentu tepat menurutd yang di atas. Gue sering banget gagal. Mungkin cuma 1% dari usaha gue yang bisa gue lihat hasilnya secara kuantitatif. Tapi, ya. Ini semu. Selanjutnya harus tetap konsisten berusaha karena hidup nggak melulu soal achievements, tapi juga penerimaan, rasa syukur, dan apa yang bisa diberikan kembali ke sekitar.

Magang di Kedutaan Besar Amerika Serikat?? - #FNSIP Part 2

12:07 PM 4
Magang di Kedutaan Besar Amerika Serikat?? - #FNSIP Part 2
Gosh!
It's been too long since I have finished my internship experience. But, since I have lot of things to share, yaudah lah ya.

____________

Btw ini bulan Desember. Tahun lalu di bulan yang sama gue gencar banget nyari tempat magang buat menuhin SKS di kampus. Saat itu dengan major International Business, gue nggak kepikiran nyari tempat magang dengan kriteria tertentu, pokoknya kecuali bank or financial institution lainnya. Nggak banget buat gue. Alhasil saat itu gue nyoba realistis dengan prinsip "sehari apply ke satu perusahaan" dengan maksud biar nggak mepet aja. Padahal internship period gue baru dimulai bulan Juni.

Suatu hari, gue dapet rekomendasi dari Mas Satrio buat nyoba apply magang di Kedubes AS yang ada di Jakarta. Pengalaman interview pun udah sempet gue ceritain disini. Singkat cerita, setelah mengalami proses yang (jujur) sangat panjang, gue akhirnya keterima magang di U.S. Commercial Service (or likely known as FCS-Foreign Commercial Service), U.S. Embassy Jakarta. Sayangnya saat gue magang disana, kantor FCS misah sama U.S. Embassy. Jadi kalo ada perlu ke Embassy, kita harus transport dulu ke pusat. Well, gue amazed banget sama pengalaman magang disini. Ilmu International Business di kampus kepake banget, plus sama ilmu International Relations yang baru buat gue. This experience leaves me with nothing but the best opportunity I can grab.

FCS ini di bawah Department of Commerce (atau kalo di Indonesia sama kaya Kementrian Perdagangan). So, FCS is the trade promotion arm of the U.S. Nah, FCS ini ada di suatu agensi bernama International Trade Administration (ITA), yang ngepromosiin ekspornya U.S. ke negara-negara yang ada U.S. Embassy-nya.

Kerjaan gue disana was beyond simple tasks. Gue selalu dilibatin di tiap meeting, entah yang sama orang kantor doang, sama U.S. companies; pemerintah U.S. or Indonesia; clients; direktur-direktur well-known companies kaya Delloitte, PWC, GE, etc; bahkan ngerjain berkas buat ambassador. Dari experience ini gue jadi paham bahwa hubungan bilateral negara itu ribet banget. Suatu isu yang kayanya kecil aja tuh bisa ngaruh banget ke kedua belah pihak.

From what I observed so far, U.S. ini punya well-planned structure buat promosi ekspor mereka. Mereka punya sejumlah service yang ngedukung perusahaan-perusahaan kecil sampe medium di U.S. supaya bisa ekspor ke Indonesia. Dukungannya pun nggak kecil, mereka bisa spend much dollars buat bikin trade events. Nggak cuma itu, pemerintah U.S. punya dukungan moral juga. Contohnya ada sebuah perusahaan U.S. mau ekspor produk pewangi pakaian ke Indonesia. Buat nemuin distributor atau agen yang pas, FCS punya feasibility studies, market research, bahkan sampe nemenin client tersebut pas meeting dengan calon investornya. Nggak berhenti disana, dukungan itu pun berlanjut sampe client tersebut "deal" sama partner-nya.

Lebih dari itu, gue juga dapet personal development yang nggak terkira. Walaupun budaya barat yang kita tau di luaran "seperti itu", kadang cuma gue yang nggak minum beer saat acara gede suguhannya malah beer daripada cocktail, bukan berarti nggak ada hal baik yang bisa gue petik buat jadi yang lebih baik. The most valuable thing yang gue sadari pas gue ninggalin office adalah....apresiasi.

Gue masih inget banget ada quote yang gue pikir adalah jokes waktu orientasi magang dulu. "Indonesian says 'sorry' a lot, while American says 'thank you' a lot." Masih bisa terbesit di benak gue ketika gue nyelesaiin task sekecil apapun, mereka selalu appreciate itu. Bahkan walaupun kerjaan gue lama, bos gue selalu kirim email dengan thank you notes yang bikin hati gue fluttering dan janji ke diri sendiri that I should do better than this.

Pengalaman ini pun membuka kembali mimpi masa kecil gue, haruskah gue kejar kembali cita-cita lama gue menjadi Dubes?

XOXO

____________


Sempet diundang jadi pembicara di Career Development Centre, UI. Ngomongin tentang internship
Ini gue nge-MC buat U.S. Franchise Trade Mission di depan pemerintah U.S. dan Indonesia
Penutupan program FNSIP 2018. Gue extend haha
Setiap intern punya ruangan sendiri, nggak dibeda-bedain
Ini waktu acara Kemerdekaan U.S. di kediaman U.S. Ambassador to Indonesia

Baca juga tulisan lainnya tentang Magang di Kedutaan Amerika Serikat di bawah ini ya!

Tips Lolos Interview Magang di U.S. Embassy (#FNSIP - Part 1)

Proses Seleksi Magang di Kedutaan Besar Amerika Serikat (#FNSIP - Part 3)


Merasa tulisan ini bermanfaat? Ada pertanyaan lebih lanjut?
Silahkan tinggalkan komentar yaa!  

Tuesday, August 21, 2018

Let's Talk about Mental Health

8:11 AM 0
Let's Talk about Mental Health
Thanks to Amel yang udah mengingatkan gue buat selalu belajar dimanapun dan dari siapapun sumbernya. Alhasil, Sabtu lalu gue pertama kalinya pergi ke @america dan dapet session yang mindblowing banget. Sesuatu yang belum pernah gue pelajarin selama ini. Psikologi dan dunia Mental Healthnya. Thank you juga buat panitia Ubah Stigma yang udah bikin sesi sebagus ini. Selain gue mau nge-test daya tangkap gue selama diskusi, berbagai ke kalian juga nggak dosa kan? Biar kita jadi komunitas yang saling mengedukasi. Jadi, kalo ada any thoughts from what I have written here, please kindly blast my comment box below.

Disclaimer: this post is dedicated as a result of a summary of the discussion, not to judge certain parties or those related to personal disorder case. Please see the reliable person for consultation. 


Sesi 1
Kesehatan Mental pada Anak dan Remaja
Narasumber: 
- Elizabeth Santosa, M.Psi, Psi SFP. ACC
-Margareth Khoman, M.Psi Psikolog

Di sesi ini kita lebih banyak membicarakan tentang parenting. Betapa pentingnya membina pola asuh/parenting ini karena dapat meningkatkan kemampuan anak. Parenting ini pula nggak cuma dilakukan sedari kecil aja, tapi harusnya sejak dalam kandungan juga. Ada beberapa parenting style yang bisa mendeterminasi mental anak hingga nanti ia besar. Gampangnya dipetakan jadi 4:

1. Otoriter
Tipe ini ya tau lah ya gimana. Orang tua maunya A, B, C. Nggak bisa dibantah. Pokoknya anak harus nurutin kemauan orang tua. 

2. Permissive
Kalo yang ini sih pola asuh yang serba boleh. Mending diturutin aja deh daripada nangis, daripada ngambek. 

3. Neglective
Kalo yang ini kebalikan dari pola asuh permissive. Neglective ini style yang mengabaikan. Jadi anaknya mau ngapain, terserah. Orang tua kaya punya dunia sendiri. Mungkin kalo orang tua milenials gini ortu yang suka main gadget lah ya sampe anaknya main sendirian. Kan banyak tuh sekarang. 
4. Demokratis
Pola asuh yang paling ideal adalah pola asuh demokratis. Orang tua melakukan perannya dalam mengetahui kebutuhan anak, meresponnya, dan melakukan hal yang bisa mengeratkan hubungan orang tua dan anak.

Salah satu peran orang tua dalam memastikan kesehatan mental pada anak bisa dilakukan dari mengamati cara anak bersikap, apakah mereka tau potensi dirinya, apakah mereka paham dan menerima kelebihan dan kekurangannya? Ataukah anak tersebut emosional? Kalau ya, itu adalah tanda-tanda anak yang tidak sehat secara mental. Btw, tidak sehat secara mental bukan berarti gila ya teman-teman. Be smart.

Nah sehat mental sendiri menurut WHO memiliki 4 kriteria:
1. Hidup harmonis dengan sesama
2. Tidak memiliki gangguan jiwa
3. Sehat secara fisik (Mens sana in corpore sano)
4. Memiliki kontrol diri (terutama terhadap emosi)

Nah, parenting di digital era is not easy at all. Kita aja sebagai millennials susah banget hidup di digital era, ngadepin netizen uneducated, hate speech, fake news, nah gimana jadi orang tua?
Lantas gimana kalo anak main / diberikan gadget sejak dini?

Ayo guys, be smart. Jangan salahkan gadgetnya. Gadget cuma alat. Games cuma alat. Sosmed cuma alat. Subjeknya ada pada lazy parents.  Gue gedein gak tuh, haha. Sedangkan anak-anak, butuh Coach, bukan tools.  Dan sama sekali nggak ada aturan pakem kapan baiknya anak diberikan gadget, karena parents know best for their children. The point is responsibility. Apakah sudah menjadi orang tua yang punya tanggung jawab? Atau malah neglective? Contohnya ketika anak nggak mau makan sayur. Apakah parents tersebut memilih "oh. Yaudah deh. Berarti emang anaknya nggak suka makan sayur." That's all. Atau malah ngajarin anaknya makan sayur? Anak butuh coach, bukan tools. Karena ketika orang tuanya nggak suka sayur, gimana anaknya mau makan sayur? Ketika orang tuanya sehari-hari main gadget pas lagi sama anaknya, gimana anaknya nggak main gadget? Leading by example is also real for kids.

Topik lain yang juga dibahas adalah sistem sekolah yang sama untuk semua anak, sedangkan tipe setiap anak tidak sama. Apakah hal tersebut ada dampaknya buat perkembangan anak? Ternyata tidak terlalu signifikan. Karena mental anak dibentuk dari keluarga. Pendidikan pertama anak ada pada keluarga. Jadi, kalo ada orang tua yang menyalahkan sekolah karena anaknya nggak pede, harusnya introspeksi dulu kali ya. Apakah parents tersebut pernah menyebut anak mereka "bodoh" atau kata-kata judgement sejenisnya, karena itu sangat berpengaruh ke mental anak.

So, good parents adapted to what children needs. Cause it's not about the parents, it's the children. Kalo parentsnya pengen nonton sinetron sedangkan anak-anak harusnya dikasih tontonan kartun, for example, parents harus ngalah dong. Again, good parents adapted to what children needs. Lastly, to raise a happy kids, parents have to be happy. When life give you lemon, ow kecut yah. Then, don't bring it at home, for your children.


..............to be continued................


Wednesday, August 8, 2018

Pesan Pak Didik, Jangan Pulang Malam-Malam

1:51 PM 0
Pesan Pak Didik, Jangan Pulang Malam-Malam
Tulisan ini gue dedikasikan pada seorang pria paruh baya di tengah hubungan LDR kita. Orang itu adalah Pak Didik. Bapak gue.

Dari dulu Pak Didik adalah yang paling bawel nanyain gue pulang kapan, pergi kemana, sama siapa. Berangsur-angsur, pertanyaan yang dia kasih nggak sebanyak dulu. Tapi, ada satu pertanyaan wajib yang sampe sekarang masih doi tanyain ketika gue away. "Pulang kapan? Jangan malem-malem." Sebagai anak muda yang aktif kegiatan ini itu, gue sama sekali nggak ngerti sih batasan "malem" yang dia maksud kapan. Kalo gue pulang dari organisasi jam 11 malem, di rumah nih, Pak Didik bakal bilang "Dulu mamamu aja maksimal pulang jam 9." Tapi gue nggak mau ngerti. Ya, alasannya masih sama. Jaman sekarang beda sama jaman dulu. Gue aja nih kadang-kadang baru janjian buat nugas keluar rumah jam 8 malem, gimana mau pulang jam 9?

Sebagai anak, gue menuntut mereka untuk ngikutin jaman. Ngasih pengertian kalo anaknya ini alhamdulillah punya prinsip dan bisa jaga diri. Jadi maksud gue, mereka nggak perlu khawatir. Walaupun begitu, Pak Didik tetep bakal end up tidur di Ruang Tamu buat nunggu anak gadisnya pulang ke rumah. Kalo doi nggak ada di sana, berarti doi memilih nunggu di depan gang sambil ngopi dan merenung entah apa. Saking egoisnya, gue tetep aja ngulangin hal yang sama. Pulang "malem" dan langsung tidur. Sedangkan tanpa gue pahami, Pak Didik udah nunggu daritadi, mikir jauh tentang anaknya yang masih di luar kandang dan doi bodo amat kalo besoknya harus berangkat jam 5 pagi PP Surabaya-Malang. Setiap hari. Pokoknya gimana caranya anaknya nggak dijalanan malem-malem. Sampai di suatu kasus-kasus tertentu, dia akan jemput gue atau minta gue untuk nginep kosan Chiki atau siapapun di deket lokasi gue pergi. Sekalian pulang pagi aja. Menurut dia akan lebih aman dibandingkan gue harus nyetir malem-malem.

Nggak cuma soal pulang malem. Pak Didik nggak pernah setuju kalo gue pergi ke gunung. Alasannya sih,"Jangan. Kamu pasti nggak kuat. Nggak pernah olahraga." Oke. Akhirnya gue nego buat dibolehin pergi ke pantai. Nggak cukup sampe disitu, doi pasti bakal nanya perginya berapa orang, berapa jumlah cowok dan cewek dalam rombongan itu, pulangnya jam berapa. Pernah suatu hari gue lolos final suatu lomba dan harus pergi ke Malaysia. Waktu itu gue bilang ke Pak Didik kalo budget gue dikit banget. Gue juga nggak mau ngrepotin dia sehingga no money from him. Gue bilang ke Pak Didik untuk membatasi budget di hostingnya. Sehingga saat itu gue harus berbagi ruang dengan anggota tim gue yang notabene cowo semua. Jadi kita pesen 1 apartment di Airbnb yang punya 2 kamar. Actually 1 kamar, satunya lagi kaya living room gitu dengan couch. Sisanya ruang makan. Intinya gimana caranya kita bisa bagi budget hostingnya bertiga. Sesampainya gue disana, Pak Didik langsung (seperti biasa) nanya-nanya. Nah, doi sampe minta foto fresh gue bareng tim. Jadilah kita selfie bertiga sekaligus gue kasih kontak mereka.

Pak Didik nggak pernah ngelarang gue deket sama cowok. Katanya, anak-anak jaman sekarang kalo dilarang-larang malah ngelunjak. Tapi, lagi-lagi ada syarat yang dia minta. "Suruh dia temuin ayah dulu." Akhirnya gue jadi sadar diri. Tiap gue punya temen deket cowok, pasti bakal gue ceritain ke dia.

Semalem, gue diskusi masalah keluarga sama om dan tante, karena selama 3 bulan ini gue nginep rumah mereka buat keperluan magang. Banyak banget yang kita diskusiin. Akhirnya di suatu isu, gue sampe pada titik paham kenapa sih bapak gue sampe sebegitunya selama ini. Om pun ngaku kalo bapak gue sering tiba-tiba ngechat buat nanyain kabar gue. Padahal, Pak Didik jaraaang banget ngechat gue. Nelpon juga nggak pernah kalo nggak gue yang duluan.

Kata om, beban terberat seorang laki-laki dewasa bukan ke istrinya, melainkan jagain anak perempuannya. Karena kita tau sendiri kalo being a woman is the most awesome thing ever. Saking awesome-nya, lecet dikit, pasti bakal ngefek banget. Di saat anak perempuannya terluka (secara batin maupun fisik), saat itulah setiap naluriah bapak/ayah secara langsung akan menyalahkan diri mereka sendiri. Nah, dengan dunia sekarang yang makin berbahaya, ditambah lagi banyaknya manusia-manusia aneh yang bertingkah, bisa dibayangkan gimana sih perasaan orang tua kalo anak gadisnya belum pulang?

Gue nggak akan pernah kasih tau doi tentang tulisan ini. Pasti bakal kegeeran dan dibahas-bahas gitu deh pas di rumah. Yang ada gue malah dibully. Pada akhir kesimpulannya, gue mau ngucapin terima kasih sama ayah buat segala proteksinya selama ini. Gue ngerasa beruntung banget bisa jadi anak yang kaya sekarang karena didikan mereka. Segala kebaikan gue akan gue hargai sebagai buah upaya mereka mendidik gue. Tapi, gue nggak akan pernah bolehin seseorang yang memandang kesalahan dan keburukan gue sebagai keburukan mereka juga. Karena kesalahan murni karena pribadi gue sendiri.

Sesaat setelah gue sadar kalo gue selama ini kurang paham apa maksud ayah begitu selama ini, gue langsung bilang makasih disertai derai air mata. Nggak tau kenapa gue rasanya fragile banget kalo ngebahas soal orang tua. Pas sungkem aja baru juga salim, gue udah mewek kejer-kejer. Nggak kebayang kalo gue pas nikah nanti, belom 5 menit make up udah luntur duluan.

Tuesday, August 7, 2018

Belajar dari Remehan Orang Lain

9:25 AM 0
Belajar dari Remehan Orang Lain
Sejak beberapa bulan yang lalu, banyak yang nanya dan ngajak gue diskusi. Pertanyaannya, "Gimana sih caranya bangkit kalo sering diremehin? Kalo udah kerja keras tapi nggak membuahkan hasil, gimana? Diremehin terus pokoknya!"

Adakah dari kalian yang punya pertanyaan yang sama?

Well, menurut gue we do not live to pleased everyone. Orang yang kerja keras hanya untuk membuktikan pada orang lain bahwa dirinya bisa, niatnya kurang tepat. Sekarang giliran gue yang nanya. What for? You need people approval? You think you would be happier if people nod their heads and said "Wow, we're wrong and you are awesome!" Gue sangat nggak setuju kalo orang-orang memotivasi dirinya maupun memotivasi orang lain dengan bilang "Buktikan ke semua orang bahwa kamu bisa!" Such a bullshit. Selamat, kalian terperdaya.

Gue punya pendapat lain soal ini. Kita nggak perlu kok sampai naruh kaki di kepala, kepala di kaki cuma buat "balas dendam" dan approve people kalo mereka salah menilai kita. Menurut gue, lebih tepat ketika kita kerja keras untuk diri sendiri, buat buktiin only to ourself that we are not like they said. Penilain orang terhadap kinerja kita itu pasti bakal ada. But, who cares? Manusia sekarang sibuk membuat standar yang sebenernya nggak ada. 

Gue sendiri tumbuh dan berkembang dengan remehan orang-orang. Gue punya mimpi besar yang seringkali kedengeran terlalu besar buat orang lain. Pokoknya menurut mereka gue nggak mungkin mampu. Ketika orang lihat gue kesandung-sandung, mereka senengnya minta ampun. Kesel sih pasti, tapi lantas nggak membuat gue jadi punya kewajiban untuk showing ke mereka apalagi sampe dendam segitunya cuma buat bungkam mulut orang-orang yang ngeremehin. Kenapa sih? Once, we do that gue yakin apa yang kita lakuin bakal nggak sesuai standar dan value hidup sendiri. Kita bakal sibuk menyesuaikan dengan langkah orang lain supaya bisa dilihat. Kita bakal sibuk cari tau gimana sih standar orang-orang itu dan berusaha mencapai standar yang nggak pernah kita buat sendiri. 

Lain halnya ketika you hit your score and you said, "Tuhkan, self! You are not like what people think." Done. Lo akan mengapresiasi diri sendiri dengan benar, apa adanya, dan lebih mencintai diri lo sendiri. Lo akan sadar lo punya prinsip dan track record, tanpa berusaha menjadi standar yang orang lain buat.

Gue banyak mengambil hikmah dari perjalanan hidup gue dan perjalanan orang lain. Contohnya ketika gue naik panggung buat pitching startup gue, ketemu orang lain, belajar kesana sini, niatnya nggak buat nunjukin ke orang kalo gue pantas dilihat orang. Cuma satu niat gue,"Ayo, jangan malu-maluin diri sendiri." Udah. Itu doang. 

Buat sobat yang merasa usahanya nggak membuahkan hasil, mungkin kita butuh waktu yang lebih lama lagi buat sabar. Daripada menilai diri kita dengan kata "nggak" (nggak bisa, nggak mampu, nggak capable, and all the shit things), anggep aja "belum". Kan kita masih hidup, masih bisa berproses. 

Sunday, April 1, 2018

TIPS LOLOS INTERVIEW MAGANG DI U.S EMBASSY (#FNSIP - Part 1)

7:06 PM 3
TIPS LOLOS INTERVIEW MAGANG DI U.S EMBASSY (#FNSIP - Part 1)


Hi! Udah lama nih gue nggak nulis. Tulisan ini pun gue post sambil ngisi Medical History and Examination form dari U.S Embassy. Loh, kok bisa? Mau ngapain?

So, kali ini gue putuskan untuk cerita. Secara sekarang gue udah semester 6. Beberapa semester lagi caw dari kampus. Seperti kebanyakan mahasiswa akhir, gue harus ikut sks magang. Jurusan gue Administrasi Bisnis, minatnya Bisnis Internasional. Luckily, karna gue anak Binter, gue bisa ambil konsentrasi apapun dalam bisnis (pemasaran, keuangan, SDM, dll). Pada dasarnya gue emang opportunist. Jadi, gue pengen magang ini buat belajar dan nggak mematok-matok gue maunya di perusahaan A, B, C. Pokoknya dimanapun gue berada, gue pasti bisa belajar—walaupun gue punya perusahaan prioritas sih, hehe. Kegiatan-kegiatan gue selama ini berhubungan sama startup atau entrepreneurship. Entah kenapa impian lama gue untuk jadi diplomat lama-lama bergeser. Yah, walaupun gue masih suka lah ya mantengin berita-berita LN. Jadi waktu itu gue lebih memprioritaskan diri untuk ngelamar di perusahaan startup.

Suatu hari gue dikabarin seseorang kalo U.S Congen Surabaya buka lowongan magang. Ternyata nggak cuma Congen-nya aja, tapi Embassy-nya juga. Alhasil, hasrat gue untuk selalu out of the box membuat gue ngelamar magang di U.S Embassy bagian Department of Commerce atau Foreign Commercial Service (FCS) melalui program magang Foreign National Student Internship Program—yang baru-baru ini gue tau kalo nih program bukan cuma buat di Indonesia doang. Setidaknya gue pilih field yang gue “agak” ngerti lah ya, disesuaiin juga sama background pendidikan gue saat ini. Waktu mau submit drama banget sih mulai dari file yang gabisa di compile, pas submit udah tanggal 17, sampe harus kirim dokumen-dokumennya via email. Waktu itu mah bodo amat dah, yang penting apply dulu. 

Nah, gue nggak nyangka juga bisa diundang untuk interview ke tahap selanjutnya. Waktu itu gue diminta untuk berangkat ke Jakarta Selatan (kantor mereka terpisah dengan kantor utama U.S Embassy yang deket Monas). Alhasil, gue diwawancara bareng 11 orang lainnya—yang diterima cuma 2 orang, sepi banget kan—oleh 3 orang Head Department disana. Salah satunya Pak Shawn—prefer dipanggil Pak daripada mister—beliau adalah Head FCS U.S untuk Indonesia, concernnya lebih ke aviation gitu-gitu deh. Beberapa minggu setelah gue pulang ke Malang, gue dapet email yang menyatakan kalo gue diterima intern disana. Alhamdulillah seneng, karena gue nggak perlu cari-cari tempat magang lagi. Tapi, serem juga sih kalo inget gue harus kerja pake Bahasa Inggris for the whole 3 months.

So, udah cukup intro-nya yang panjang. Tips dari gue disimpulkan sebagai berikut:
1.       Do a lot of research!
Not to mention, 5 hari sebelum gue wawancara, gue banyak diskusi sama orang-orang yang punya concern tinggi sama isu-isu di dunia. Cari tau pendapat mereka soal suatu isu tentang hubungan Indonesia—U.S. Brainstorming tentang apa dampak yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan di negara asal ke negara Indonesia sendiri dan apa solusinya. Tiap malem gue mantengin trademap, intracen, world economic forum, browsing gimana sih caranya ngelakuin market research yang bener—role gue nanti adalah sebagai market reseracher, validasi, dll. Pokoknya gak boleh males baca!

2.       Liat lagi CV dan Essay/Cover Letter dan highlight hal-hal yang kira-kira berhubungan sama jobdesc biar nggak kagok waktu ditanyain
Pertanggungjawabkan apa yang udah ditulis di CV dan Essay/Cover Letter yang udah dibuat. Misal, gue nyantumin pencapaian yang gue hasilkan selama bikin startup. Then, gue catat dan ingat-ingat lagi kira-kira apa sih yang gue lakuin saat itu. Atau misal tentang sertifikasi yang gue ambil yaitu ekspor-impor. Gue baca-baca lagi tuh buku ekspor-impor. Walaupun nggak semuanya harus ngerti, setidaknya gue udah “keliatan ngerti” dan nggak bohong di CV yang udah di tulis.

3.       Siapin goals ketika nanti di tempat magang, setelah selesai magang, dan setelah lulus
Gue bilang di essay kalo misal gue pulang ke kampus setelah magang, gue akan nulis skripsi yang berhubungan tentang hubungan Indonesia-U.S. Well, gue emang belom mikir sejauh itu pas nulis essay-nya. Tapi, ketika udah dinyatakan lolos ke interview, berhari-hari gue cari judul skripsi cuyyyy. Contoh lain, kalian masih nggak tau nih abis lulus mau kerja apa, di bidang apa, dll. Kalo udah di tempat interview, pede aja. Toh, itu bukan janji. Tipsnya, untuk jawab pertanyaan “Mau ngapain setelah lulus?” ketika di Embassy, gue jawab “Setelah saya lulus, saya akan bekerja untuk Kedutaan Besar Indonesia di bidang hubungan perdagangan. Pilihan kedua, saya akan bekerja untuk Kementerian Luar Negeri.” Jawaban ini akan beda kalo kalian wawancara di perusahaan ritel misalnya. Jadi, harus selalu sesuaikan konteks jawabannya dengan perusahaan yang dilamar. Kalo nggak nyambung sama goal kamu, buat apa dong perusahaan hire kamu?

4.       Siapin outline interview + jawabannya, latihan sama orang lain, lalu minta feedback
Ini hal yang gue pelajarin banget setelah beberapa kali ditolak interview entah untuk program exchange atau yang lainnya. Persiapan itu perlu banget. Banget. Termasuk nyiapin pertanyaan apa yang kira-kira keluar, kemudian coba tulis jawabannya. Abis itu, coba minta review ke orang lain dan minta pendapat mereka. Kalo dari jawabannya udah kedengaran bagus, coba latihan mengucap, termasuk dengan mimik, body language, intonasi, sampai eye contact-nya. Bahkan, gue sering banget ngomong sendiri di motor seolah-olah gue lagi interview.



SIKAP SAAT INTERVIEW
Paling penting: Kenali dulu tipikal perusahaan tersebut.
Kalo gue di U.S Embassy (ini kata Mas Rama dan terbukti), orang Embassy apalagi orang U.S suka banget sama orang yang percaya diri. Malah prefer ke yang over confident--bukan sombong loh ya. Suka sama orang yang lantang, jawabannya tangkas, lugas. Kalo di depan udah ragu-ragu biasanya bye. Selain itu, mereka suka sama orang yang bisa jaga eye contact waktu ngomong.
Kira-kira gini nih flow gue saat masuk ke ruang wawancara. Pas gue dipanggil giliran masuk, nah gue masuk kan ya. Itu gue nggak langsung duduk. But,...


1.       Greeting

2.       Handshaking
Jabat tangan semua orang disana. Dengan genggaman yang nggak terlalu lemah, tapi juga nggak terlalu kuat. Sambil bilang “It’s pleasure. Thank you so much for meeting with me.” Baru setelah itu gue duduk.

3.       Biasanya mereka basa-basi dulu, bales ajaa gapapa
Gue ditanyain dulu darimana, naik kereta berapa jam, trus mereka cerita soal air terjun yang di malang. Dengerin aja. Kalo ada waktu buat jawab, jawab dengan antusias dan kalo bisa tanya balik. Misalnya waktu itu gue nanya “Oh nice, where did you stay there?” dll, gue sampe lupa karena malah jadi ngobrol, haha.

4.       Then, langsung masuk ke pertanyaan
Kalo kalian udah siapin naskah prediksi pertanyaan, udah deh tinggal cus aja. Karena naskah tersebut sangat membantu. Gue share daftar pertanyaan rancangan gue di bawah sebagai bahan referensi. Di Google/ Youtube pun banyak juga yang ngasih contoh-contoh pertanyaan yang sering keluar waktu wawancara.

5.       Be confident
Jaga nada bicara untuk nggak menurun di tiap akhir kalimat, karena akan menimbulkan kesan kita nggak yakin sama apa yang kita omongin.

6.       Eye contact!!
Biasanya, kita suka lupa sama eye-concact. Mungkin di awal iya, tapi lama-lama lost. Sebisa mungkin jaga pandangan itu. Kalo nggak bisa liat mata lawan bicara, gue saranin liat bagian muka lainnya, misalnya jidat, alis, rambut, atau hidung. Eh beneran loh. Satu lagi, kalo misal yang nanya 1 orang dan di ruangan itu ada banyak orang. Lihat semua orang disana bergantian saat menjawab. Biasanya kita suka lupa cuma ngeliatin yang ngasih pertanyaan doang, yang lain dianggurin.

7.       Go walk out the room
Sebelum keluar ruangan, jangan lupa jabat tangan semua orang dan bilang makasih. Waktu itu gue bilang “I really appreciate that you are considering me for this internship program. I’d love to be a part of the embassy achieving its goals.” Sebelum bener-bener keluar gue kasih semangat tuh mereka “Have a nice day!”. Dan gue bener-bener leaving room. 
 


So, mungkin itu yang bisa gue beberkan. Pilihan kata dan kosakata gue yang nggak enak banget, so sorry. Kapan-kapan gue bakal rapihin tulisan ini deh. Good luck, internship hunter! Magang bukanlah akhir dari segalanya kok, tapi akhirilah magang dengan sebaik-baiknya. Apasih gak nyambung. 



Baca juga tulisan lanjutan tentang Magang di Kedutaan Besar Amerika Serikat!

Magang di Kedutaan Besar Amerika Serikat?? - #FNSIP Part 2

Proses Seleksi Magang di Kedutaan Besar Amerika Serikat (#FNSIP - Part 3)