Sekali
lagi, tulisan ini gue dedikasikan untuk dosen terfavorit, Pak Inggang namanya. In fact, gue cuma dapat satu kali mata
kuliah beliau. Nama mata kuliahnya Berpikir Sistem. Walaupun begitu, gue malah
banyak ketemu dan berdialog dengan beliau di luar kelas. Pak Inggang baru saja
berangkat dan akan pergi selama 3 tahun untuk melanjutkan studi di Jepang. Sosok
pekerja keras ini banyak menyadarkan gue untuk terus maju dan thinking on what really matter.
Singkat
cerita. Gue nggak sengaja dipertemukan dengan Pak Inggang melalui sebuah proyek
sebuah bank. Saat itu gue yang masih “kecil” merasa nggak punya pengalaman
untuk ngerjain suatu proyek bareng dosen. Jadi, gue menunda-nunda mulu untuk
ketemu beliau. Takut, hehe. Suatu hari beliau masuk ke Lab dan nyariin gue buat
ngomongin proyek itu. Gue amazed banget
sih karena beliau super humble dan
nyantai banget. Walaupun saat itu gue dan tim sempet bikin masalah, Pak Inggang
nggak segan bantu kita untuk nyari jalan keluarnya.
Image beliau yang nyantai abis luruh
seketika saat mengajar di kelas. Beliau mampu menciptakan ketegangan luar biasa—ini
sih yang dibilang temen-temen gue. Cara penyampaian materinya yang lugas dan
terstruktur membuat gue cepat paham, bahkan banyak yang gue ingat dan terapkan
sampai sekarang.
Sebelumnya,
gue tau nama beliau dari seorang kakak kelas, namanya Mas Satrio. Saat itu gue
punya obsesi yang sama dengan Mas Satrio yaitu ikut program exchange. Mas Satrio sendiri adalah
penerima beasiswa exchange selama lima
minggu ke Amerika Serikat melalui program YSEALI. Dia cerita bahwa Pak Inggang
banyak membantu dia dalam pembuatan essay
dan latihan interview. Frankly speech, Pak Inggang lulusan
Inggris, jadi Bahasa Inggrisnya udah pasti bagus. Kebetulan saat itu gue memang
sedang mengerjakan pendaftaran untuk program Obama Foundation. Jadi gue mulai
intens ketemu Pak Inggang untuk membahas essay
yang gue tulis.
Nggak
cuma satu essay. Tulisan-tulisan gue
selanjutnya sering di-review oleh Pak
Inggang. Bahkan nggak cuma essay,
tapi Surat Rekomendasi juga. Udah pasti hasilnya jadi bagus banget karena Pak
Inggang sangat detail melihat requirements
dan membuat korelasinya pada sebuah tulisan. Dari sana gue nggak heran sih
kalau beliau getol banget bikin buku. Pak Inggang adalah penulis yang baik.
Suatu
hari gue lolos ke tahap interview.
Sebagai balasan, gue kabarin Pak Inggang kalo gue lolos dan kasih tau kapan gue
interview. Gue minta doa dan restu.
Pak Inggang malah ngajakin ketemuan untuk latihan interview. Sayangnya, gue masih di Jakarta karena magang. Fokus gue
terbagi-bagi sampai gue lupa buat latihan sungguh-sungguh untuk wawancara itu. Beberapa
hari sebelum wawancara, ada pesan muncul dari Pak Inggang.
“Eka persiapan interview bagaimana?Biasanya yang ditanyakan seputar:1. Introduce yourself2. Your motivation3. Your project4. How would this experience impact your society5. Dll (gue nggak terlalu inget)”
Jujur.
Gue terharu banget. Karena bukan gue yang approach
beliau duluan. Pak Inggang dulu yang nanyain persiapan gue, bahkan kasih
beberapa hint pertanyaan tanpa gue
nanya. Tanpa ada angin, tanpa hujan.
Di
proyek-proyek lainnya, Pak Inggang ngajarin gue arti profesionalisme. Suatu
hari beliau minta gue bantuin untuk meriksa proposal lomba yang di submit dalam
suatu lomba kepenulisan. Gue sama sekali nggak berharap tentang benefit apa
yang bakal gue dapet. Tapi Pak Inggang kasih gue amplop berisi “gaji” yang dia
bagi buat gue dan Chiki yang ikut bantuin koreksi proposal-proposal tersebut. Ini
pertama kali gue ketemu dosen yang dengan serta merta memberi gue feedback lebih, walaupun buat gue kata “terima
kasih” saja sudah cukup.
Banyak
hal bisa gue petik dari sosok pekerja keras ini. Secara profesional, gue
belajar tentang pembuatan essay dan
surat rekomendasi. Gue yakin skill ini
sangat dibutuhkan dimanapun gue berada, termasuk bakal jadi bekal untuk apply S2 nanti. Sekarang, essay dalam Bahasa Inggris yang gue buat
bisa lebih terstruktur dan to the point.
Secara
personal, gue belajar banyak banget. Buat nggak pernah mengeluh dan tetep senyum
aja walaupun situasi berat sedang dihadapi. Pak Inggang sering curhat colongan
tentang pekerjaan saat beliau minta tolong gue bantuin nyelesaiin printilan-nya. Walau begitu, beliau
cerita sambil cengengesan. Nggak cuma
itu. Cara beliau mengatur waktu juga sangat memengaruhi gue buat nggak punya
alasan untuk over deadline dan
menyalahkan situasi. Cara beliau menghargai orang lain dengan memerlakukan mahasiswanya
sebagai teman, sebagai murid, sebagai tim juga menjadi pembelajaran buat gue.
Hal lain yang paling nancep adalah bagaimana beliau mengajari gue untuk nggak
fokus pada event-event dalam masalah,
tapi root problem-nya. Nggak cuma
sebagai figur dosen, beliau bisa menjadi mentor dan juga “bapak”.
Jumat
lalu (29/3) mungkin adalah hari terakhir gue ketemu beliau. Selama tiga tahun
ke depan gue bertekad untuk ketemu Pak Inggang lagi dalam keadaan yang jauh
lebih baik. Waktu ketemu nanti gue pengen bilang terima kasih sekali lagi
karena telah mempersilakan gue mengenal beliau dan mengambil beberapa pelajaran
yang membentuk diri gue. Ketemu di Jepang atau dimanapun, gue pengen kasih
kabar baik buat Bapak gue satu ini. See
you when I see you, Pak Inggang!
No comments:
Post a Comment