See You When I See You, Pak Inggang! - Lagi Monolog

Wednesday, April 3, 2019

See You When I See You, Pak Inggang!



Mungkin agak aneh dan canggung banget buat gue untuk nulis tentang impression seseorang di blog ini. Pertama kali pula. Tapi gue merasa ingin mengabadikan sosok ini dalam tulisan.




Sekali lagi, tulisan ini gue dedikasikan untuk dosen terfavorit, Pak Inggang namanya. In fact, gue cuma dapat satu kali mata kuliah beliau. Nama mata kuliahnya Berpikir Sistem. Walaupun begitu, gue malah banyak ketemu dan berdialog dengan beliau di luar kelas. Pak Inggang baru saja berangkat dan akan pergi selama 3 tahun untuk melanjutkan studi di Jepang. Sosok pekerja keras ini banyak menyadarkan gue untuk terus maju dan thinking on what really matter.

Singkat cerita. Gue nggak sengaja dipertemukan dengan Pak Inggang melalui sebuah proyek sebuah bank. Saat itu gue yang masih “kecil” merasa nggak punya pengalaman untuk ngerjain suatu proyek bareng dosen. Jadi, gue menunda-nunda mulu untuk ketemu beliau. Takut, hehe. Suatu hari beliau masuk ke Lab dan nyariin gue buat ngomongin proyek itu. Gue amazed banget sih karena beliau super humble dan nyantai banget. Walaupun saat itu gue dan tim sempet bikin masalah, Pak Inggang nggak segan bantu kita untuk nyari jalan keluarnya.

Image beliau yang nyantai abis luruh seketika saat mengajar di kelas. Beliau mampu menciptakan ketegangan luar biasa—ini sih yang dibilang temen-temen gue. Cara penyampaian materinya yang lugas dan terstruktur membuat gue cepat paham, bahkan banyak yang gue ingat dan terapkan sampai sekarang.

Sebelumnya, gue tau nama beliau dari seorang kakak kelas, namanya Mas Satrio. Saat itu gue punya obsesi yang sama dengan Mas Satrio yaitu ikut program exchange. Mas Satrio sendiri adalah penerima beasiswa exchange selama lima minggu ke Amerika Serikat melalui program YSEALI. Dia cerita bahwa Pak Inggang banyak membantu dia dalam pembuatan essay dan latihan interview. Frankly speech, Pak Inggang lulusan Inggris, jadi Bahasa Inggrisnya udah pasti bagus. Kebetulan saat itu gue memang sedang mengerjakan pendaftaran untuk program Obama Foundation. Jadi gue mulai intens ketemu Pak Inggang untuk membahas essay yang gue tulis.

Nggak cuma satu essay. Tulisan-tulisan gue selanjutnya sering di-review oleh Pak Inggang. Bahkan nggak cuma essay, tapi Surat Rekomendasi juga. Udah pasti hasilnya jadi bagus banget karena Pak Inggang sangat detail melihat requirements dan membuat korelasinya pada sebuah tulisan. Dari sana gue nggak heran sih kalau beliau getol banget bikin buku. Pak Inggang adalah penulis yang baik.

Suatu hari gue lolos ke tahap interview. Sebagai balasan, gue kabarin Pak Inggang kalo gue lolos dan kasih tau kapan gue interview. Gue minta doa dan restu. Pak Inggang malah ngajakin ketemuan untuk latihan interview. Sayangnya, gue masih di Jakarta karena magang. Fokus gue terbagi-bagi sampai gue lupa buat latihan sungguh-sungguh untuk wawancara itu. Beberapa hari sebelum wawancara, ada pesan muncul dari Pak Inggang.

“Eka persiapan interview bagaimana?
Biasanya yang ditanyakan seputar:
1.       Introduce yourself
2.       Your motivation
3.       Your project
4.       How would this experience impact your society
5.       Dll (gue nggak terlalu inget)”


Jujur. Gue terharu banget. Karena bukan gue yang approach beliau duluan. Pak Inggang dulu yang nanyain persiapan gue, bahkan kasih beberapa hint pertanyaan tanpa gue nanya. Tanpa ada angin, tanpa hujan.

Di proyek-proyek lainnya, Pak Inggang ngajarin gue arti profesionalisme. Suatu hari beliau minta gue bantuin untuk meriksa proposal lomba yang di submit dalam suatu lomba kepenulisan. Gue sama sekali nggak berharap tentang benefit apa yang bakal gue dapet. Tapi Pak Inggang kasih gue amplop berisi “gaji” yang dia bagi buat gue dan Chiki yang ikut bantuin koreksi proposal-proposal tersebut. Ini pertama kali gue ketemu dosen yang dengan serta merta memberi gue feedback lebih, walaupun buat gue kata “terima kasih” saja sudah cukup.

Banyak hal bisa gue petik dari sosok pekerja keras ini. Secara profesional, gue belajar tentang pembuatan essay dan surat rekomendasi. Gue yakin skill ini sangat dibutuhkan dimanapun gue berada, termasuk bakal jadi bekal untuk apply S2 nanti. Sekarang, essay dalam Bahasa Inggris yang gue buat bisa lebih terstruktur dan to the point.

Secara personal, gue belajar banyak banget. Buat nggak pernah mengeluh dan tetep senyum aja walaupun situasi berat sedang dihadapi. Pak Inggang sering curhat colongan tentang pekerjaan saat beliau minta tolong gue bantuin nyelesaiin printilan-nya. Walau begitu, beliau cerita sambil cengengesan. Nggak cuma itu. Cara beliau mengatur waktu juga sangat memengaruhi gue buat nggak punya alasan untuk over deadline dan menyalahkan situasi. Cara beliau menghargai orang lain dengan memerlakukan mahasiswanya sebagai teman, sebagai murid, sebagai tim juga menjadi pembelajaran buat gue. Hal lain yang paling nancep adalah bagaimana beliau mengajari gue untuk nggak fokus pada event-event dalam masalah, tapi root problem-nya. Nggak cuma sebagai figur dosen, beliau bisa menjadi mentor dan juga “bapak”.

Jumat lalu (29/3) mungkin adalah hari terakhir gue ketemu beliau. Selama tiga tahun ke depan gue bertekad untuk ketemu Pak Inggang lagi dalam keadaan yang jauh lebih baik. Waktu ketemu nanti gue pengen bilang terima kasih sekali lagi karena telah mempersilakan gue mengenal beliau dan mengambil beberapa pelajaran yang membentuk diri gue. Ketemu di Jepang atau dimanapun, gue pengen kasih kabar baik buat Bapak gue satu ini. See you when I see you, Pak Inggang!

No comments:

Post a Comment