April 2019 - Lagi Monolog

Saturday, April 6, 2019

Are You A Perfectionist? Read!

10:15 AM 3
Are You A Perfectionist? Read!
Hey, guys! What are you doing during the weekend? I hope you are doing something useful even on the weekend cause life is just too short. Here, I am sitting in my room writing this post. My sister is whining over a bowl of noodle, so she is waiting for me to cook it together. Thus, let me tell you a story about being a perfectionist in a flash.

I was a really damn perfectionist. Gue nggak tau kapan dan dimana ke-perfectionist-an itu dimulai. Waktu SD? SMP? SMA? Entahlah. Yang gue ingat, gue bener-bener nggak mau sesuatu yang gue lakukan ada ‘cacat’ sedikit aja. Since gue orangnya detail dan planner banget, gue betul-betul mastiin semua hal berjalan sesuai yang semestinya. If you are a perfectionist, mungkin bakal relate sama gimana rasanya jadi orang yang selalu merhatiin dan mastiin apapun dengan baik, kan? Hal ini berlaku ke semua hal. Mulai dari hal kecil seperti nyiapin barang ke sekolah, ngerjain tugas, sampai ke planning sesuatu.

Gue punya cerita yang mungkin bakal sama dengan kalian. Cerita ini tentang tugas sekolah. Tiap ngerjain tugas, dulu, gue selalu jadi mandor. Nggak cuma mandor, tapi juga collector dan corrector. Gue memang cenderung nggak suka ngerjain tugas kelompok bareng-bareng. Buang-buang waktu. Terutama kalo tugas tersebut cuma sekadar bikin makalah plus presentasi—yang materinya bisa langsung dibagi tanpa ada diskusi. Beda halnya kalo untuk tugas tentang essay kelompok atau case tertentu yang memang butuh ‘digodok’ lebih matang. Dengan sikap gue yang perfectionist tersebut, gue sering banget dengan serta merta mengajukan diri sebagai pengepul bagian-bagian anggota kelompok untuk di-compile nantinya. Namun, nggak cukup sampai disitu. Hari-hari gue selalu berakhir dengan ngedit dan benerin ini itu dari tiap bagian. Pernah suatu ketika, gue ngerjain tugas kelompok dari A-Z mulai dari cari bahan, bikin business model-nya, bikin survey sampai ngerekap hasilnya, buat PPT, bikin mock up-nya, record suara, bahkan sampai ngedit videonya. Bener-bener semua gue kerjain.

Lama-lama gue ngerasa hal-hal di atas bakal jadi toxic kalo makin diterusin. Terutama buat diri gue. Buat orang-orang yang terlibat juga. Kalo kata orang Jawa sih, “Tuman” atau kebiasaan. Kebiasaan manfaatin orang, numpang nama, dan buat hal yang lebih besar bisa jadi benalu. Gue sering banget ngeluh ke temen lainnya tentang beban ini. Di satu sisi, anggota kelompok gue emang bener-bener dah. Namun, di sisi lain gue sadar ini adalah efek dari ke-perfectionist-an gue sendiri.

Hingga suatu hari waktu gue lagi browse di internet, gue nemu gambar ini.




Waktu lihat gambar di atas apa yang ada di pikiran kalian?

Yup, it’s universe. It is beyond our imagination, kan? How huge is it?

Melihat gambar itu, gue jadi merasa lebih baik. Gue sadar kalo I’m not even a sand. I’m not even sebutir JasJus nor sebutir detergen. I’m just like a MOLECULE! Hey, guys wake up! You are just a molecule kalo dibandingin dengan the universe yang luasnya nggak tau deh kayak apa.

So, gue jadi bertanya pada diri sendiri. What fucking difference does it make? So, what is the big deal by being not perfect? Gue nggak akan bikin perubahan pada alam semesta hanya dengan bikin tugas kelompok yang nggak perfect di kelas. Karena at the end of the day, it’s about progress that matters, not perfection. Don’t place such an importance on yourself that you don’t get shit done.

Dari situ gue berhenti membuat-buat beban untuk diri gue sendiri. At least I performed on highly level di hal yang menjadi tanggung jawab gue, gue stop mencari-cari sendiri hal lain yang bakal nambah-nambahin beban. Apalagi jika hal itu nggak really matters. Pada suatu ketika, temen gue pernah ngelaporin nama teman-teman kelompoknya yang nggak ngerjain tugas. Tapi gue nggak sampe yang se-ekstrem itu. Pada suatu ketika gue pernah buat PPT yang bahasanya per slide beda-beda karena dikerjain oleh beda orang. Gue cuma compile doang tanpa mengubah totally kaya dulu lagi. Hasilnya lebih memuaskan. Gue tetep dapet nilai bagus tanpa membebani diri untuk being perfect for something yang nggak terlalu menentukan hasil akhirnya.


Satu hal yang gue ingat juga mulai hari itu sampai hari ini, ke hal-hal lain yang lebih berat dari sekadar tugas kuliah.
Mistakes are okay.
Gue ulangi. 
Don’t place such an importance on yourself that you don’t get shit done.
Better done than perfect. Karena once you get shit done, you know how to fix the mistakes daripada you fix on something yang sama sekali nggak selesai.


--
Dari gue,
yang mendamba Indomie Rasa Ayam Panggang.

Wednesday, April 3, 2019

See You When I See You, Pak Inggang!

8:37 PM 0
See You When I See You, Pak Inggang!


Mungkin agak aneh dan canggung banget buat gue untuk nulis tentang impression seseorang di blog ini. Pertama kali pula. Tapi gue merasa ingin mengabadikan sosok ini dalam tulisan.




Sekali lagi, tulisan ini gue dedikasikan untuk dosen terfavorit, Pak Inggang namanya. In fact, gue cuma dapat satu kali mata kuliah beliau. Nama mata kuliahnya Berpikir Sistem. Walaupun begitu, gue malah banyak ketemu dan berdialog dengan beliau di luar kelas. Pak Inggang baru saja berangkat dan akan pergi selama 3 tahun untuk melanjutkan studi di Jepang. Sosok pekerja keras ini banyak menyadarkan gue untuk terus maju dan thinking on what really matter.

Singkat cerita. Gue nggak sengaja dipertemukan dengan Pak Inggang melalui sebuah proyek sebuah bank. Saat itu gue yang masih “kecil” merasa nggak punya pengalaman untuk ngerjain suatu proyek bareng dosen. Jadi, gue menunda-nunda mulu untuk ketemu beliau. Takut, hehe. Suatu hari beliau masuk ke Lab dan nyariin gue buat ngomongin proyek itu. Gue amazed banget sih karena beliau super humble dan nyantai banget. Walaupun saat itu gue dan tim sempet bikin masalah, Pak Inggang nggak segan bantu kita untuk nyari jalan keluarnya.

Image beliau yang nyantai abis luruh seketika saat mengajar di kelas. Beliau mampu menciptakan ketegangan luar biasa—ini sih yang dibilang temen-temen gue. Cara penyampaian materinya yang lugas dan terstruktur membuat gue cepat paham, bahkan banyak yang gue ingat dan terapkan sampai sekarang.

Sebelumnya, gue tau nama beliau dari seorang kakak kelas, namanya Mas Satrio. Saat itu gue punya obsesi yang sama dengan Mas Satrio yaitu ikut program exchange. Mas Satrio sendiri adalah penerima beasiswa exchange selama lima minggu ke Amerika Serikat melalui program YSEALI. Dia cerita bahwa Pak Inggang banyak membantu dia dalam pembuatan essay dan latihan interview. Frankly speech, Pak Inggang lulusan Inggris, jadi Bahasa Inggrisnya udah pasti bagus. Kebetulan saat itu gue memang sedang mengerjakan pendaftaran untuk program Obama Foundation. Jadi gue mulai intens ketemu Pak Inggang untuk membahas essay yang gue tulis.

Nggak cuma satu essay. Tulisan-tulisan gue selanjutnya sering di-review oleh Pak Inggang. Bahkan nggak cuma essay, tapi Surat Rekomendasi juga. Udah pasti hasilnya jadi bagus banget karena Pak Inggang sangat detail melihat requirements dan membuat korelasinya pada sebuah tulisan. Dari sana gue nggak heran sih kalau beliau getol banget bikin buku. Pak Inggang adalah penulis yang baik.

Suatu hari gue lolos ke tahap interview. Sebagai balasan, gue kabarin Pak Inggang kalo gue lolos dan kasih tau kapan gue interview. Gue minta doa dan restu. Pak Inggang malah ngajakin ketemuan untuk latihan interview. Sayangnya, gue masih di Jakarta karena magang. Fokus gue terbagi-bagi sampai gue lupa buat latihan sungguh-sungguh untuk wawancara itu. Beberapa hari sebelum wawancara, ada pesan muncul dari Pak Inggang.

“Eka persiapan interview bagaimana?
Biasanya yang ditanyakan seputar:
1.       Introduce yourself
2.       Your motivation
3.       Your project
4.       How would this experience impact your society
5.       Dll (gue nggak terlalu inget)”


Jujur. Gue terharu banget. Karena bukan gue yang approach beliau duluan. Pak Inggang dulu yang nanyain persiapan gue, bahkan kasih beberapa hint pertanyaan tanpa gue nanya. Tanpa ada angin, tanpa hujan.

Di proyek-proyek lainnya, Pak Inggang ngajarin gue arti profesionalisme. Suatu hari beliau minta gue bantuin untuk meriksa proposal lomba yang di submit dalam suatu lomba kepenulisan. Gue sama sekali nggak berharap tentang benefit apa yang bakal gue dapet. Tapi Pak Inggang kasih gue amplop berisi “gaji” yang dia bagi buat gue dan Chiki yang ikut bantuin koreksi proposal-proposal tersebut. Ini pertama kali gue ketemu dosen yang dengan serta merta memberi gue feedback lebih, walaupun buat gue kata “terima kasih” saja sudah cukup.

Banyak hal bisa gue petik dari sosok pekerja keras ini. Secara profesional, gue belajar tentang pembuatan essay dan surat rekomendasi. Gue yakin skill ini sangat dibutuhkan dimanapun gue berada, termasuk bakal jadi bekal untuk apply S2 nanti. Sekarang, essay dalam Bahasa Inggris yang gue buat bisa lebih terstruktur dan to the point.

Secara personal, gue belajar banyak banget. Buat nggak pernah mengeluh dan tetep senyum aja walaupun situasi berat sedang dihadapi. Pak Inggang sering curhat colongan tentang pekerjaan saat beliau minta tolong gue bantuin nyelesaiin printilan-nya. Walau begitu, beliau cerita sambil cengengesan. Nggak cuma itu. Cara beliau mengatur waktu juga sangat memengaruhi gue buat nggak punya alasan untuk over deadline dan menyalahkan situasi. Cara beliau menghargai orang lain dengan memerlakukan mahasiswanya sebagai teman, sebagai murid, sebagai tim juga menjadi pembelajaran buat gue. Hal lain yang paling nancep adalah bagaimana beliau mengajari gue untuk nggak fokus pada event-event dalam masalah, tapi root problem-nya. Nggak cuma sebagai figur dosen, beliau bisa menjadi mentor dan juga “bapak”.

Jumat lalu (29/3) mungkin adalah hari terakhir gue ketemu beliau. Selama tiga tahun ke depan gue bertekad untuk ketemu Pak Inggang lagi dalam keadaan yang jauh lebih baik. Waktu ketemu nanti gue pengen bilang terima kasih sekali lagi karena telah mempersilakan gue mengenal beliau dan mengambil beberapa pelajaran yang membentuk diri gue. Ketemu di Jepang atau dimanapun, gue pengen kasih kabar baik buat Bapak gue satu ini. See you when I see you, Pak Inggang!