Menjadi Perempuan dan Pemimpin - Lagi Monolog

Wednesday, June 28, 2017

Menjadi Perempuan dan Pemimpin



Mungkin gue belum sempat menulis di blog ini tentang project yang sedikit banyak mengubah hidup gue. Ah, bukan. Maksudnya, gue sedikit banyak berubah melalui sebuah project. Mungkin next time gue bakal bikin postingan khusus tentang itu. Sekarang gue mau ngomongin tentang perempuan yang menjadi pemimpin.

Gue aktif di sebuah organisasi internasional based on my campus, AIESEC Local Committee Universitas Brawijaya. Ini bukan organisasi bahasa inggris, tapi lebih ke organisasi kepemimpinan. Aktivitas di organisasi ini beda sama organisasi leadership lainnya, karena we do leadership through exchange. Meskipun sampe 2th term gue belom pernah ada kesempatan untuk exchange. Doain aja yaa. Nah, karena produknya adalah exchange, kerjaan utama kita (terutama banget di departemen gue) adalah bikin project sosial based on local issues yang ada di sekitar, mencoba solve itu dengan mengajak mahasiswa lokal dan asing dari seluruh dunia untuk jadi volunteernya. Yang menjadi tantangan dalam membuat project-project ini adalah support system yang sedikit, bahkan gue bisa bilang super duper sedikit untuk project internasional kaya gini. Gue cuma punya 9 team member dan kita harus running project selama 8 bulan total di term winter dengan brand One South East Asia Project. Hebatnya, di term gue semua project presidentnya adalah perempuan.

Disini gue mau ngomongin soal emansipasi. Terima kasih untuk Ibu Kartini yang sudah memperjuangkan emansipasi wanita sampai kita semua bisa merasakan manfaatnya sekarang. Gue nggak ngerti makna harafiah dari kata "emansipasi" itu apa sampe gue bisa ngerti sendiri maknanya. Sekarang pun gue akan menerjemahkan emansipasi itu sendiri sebagai persamaan hak atau derajat.

Kalo lo pernah nonton videonya Jack Ma di SCMP.TV tentang The Secret Sauce of Alibaba, beliau bilang "hire women as many as possible. Because women care for other people much more than men." Bahkan beliau juga menambahkan bahwa women are going to be powerful in 21st century.

Gue bersyukur bisa punya kesempatan memimpin sebuah tim kecil yang impactful buat sekitar (semoga). Lebih bersyukur lagi ketika gue sadar gue perempuan. Sedikit banyak gue bisa membroke-up rantai stereotipe kalau perempuan itu lebih mengedepankan perasaan dibanding akal. Ya, itu sih tantangannya. Di awal project gue susah banget buat deal with my self ketika gue melihat sekitar gue yang organisasinya dipimpin oleh laki-laki terlihat lebih lancar dibanding project yang gue pimpin. Gue nggak bisa serta merta meng-cut "anak" gue ketika dia lost. Gue musti cariin dia dulu, ngajak ngobrol, hasut dia, dll. Tapi memang perilaku-perilaku yang menggunakan feeling seperti ini nggak selalu bisa work on segala situasi. Kalo nggak gitu ya perkembangan tim lo bakal super lambat dan lo akan stres sendiri buat deal with yourself. Sedangkan, sosok pemimpin harus orang yang kuat, yang bisa empowering others, but at the same time dia harus bisa "ngemong" anak-anaknya.

Pelajaran yang gue ambil dari journey tersebut adalah sesekali gue harus mengurangi kadar feminimity gue sebagai hasil bawaan as a woman dan menaikkan kadar masculinity gue jauh lebih tinggi. Lagi-lagi, kalo nggak gitu gue nggak akan bisa marah kalo member gue emang saatnya dimarahin, gue nggak bisa tegas buat menggerakkan tim tersebut, dan gue nggak bisa kuat dan pretend like everything's okay kalo tim gue terguncang. Pernah gue nangis sambil nelpon personal motivator gue buat konseling karena international volunteer gue cuma 3 orang doang. Disitu dia bener. Emang gue yang lemah. Emang gue yang nggak bisa gerakin tim gue untuk punya pengertian yang sama tentang impact yang akan kita buat. Sejak saat itu, gue lebih ekspresif dan punya power walaupun on the other side gue masih saja perempuan, yang lembut hatinya.

Kalo masih ada orang yang suka aneh ngeliat cewek itu mimpin sesuatu dan dia itu cowok, mungkin dunianya tertukar. Kemana aja dia ketika sosok pemimpin dibutuhkan? Sedangkan perempuan itu punya tingkat careness yang tinggi. Ya akhirnya kita dong yang maju. Suka capek juga sama laki-laki gengsi tinggi tapi nggak ngapa-ngapain.

Sekarang menghalang-halangi perempuan untuk keluar, talk to people, dan meraih mimpi mereka itu kaya gimana yaaa. Nggak relevant aja. Kalau sudah berumah tangga itu beda kasus ya. Nanti tergantung kesepakatan antara suami-istri. Khususon untuk orang-orang yang suka menganggap wanita itu lemah dan nggak mampu memimpin hanya karena kita lebih mengedepankan perasaan, Anda salah. Mengapa masih ada border antara perempuan dan laki-laki? Karena mungkin laki-laki sudah mulai kehilangan kepercayaan dirinya karena wanita sudah mulai hebat-hebat. Andaikan kita semua bisa bekerjasama, tidak ada lagi kasus KDRT, stereotype wanita bodoh yang kerjanya cuma bisa manak-macak-masak (beranak, berdandan, memasak), dan Gender Inequalities lainnya. Mungkin laki-laki intoleran harus lebih terbuka kaliya dengan sedikit menurunkan egonya untuk mulai mengakui keberadaan wanita sebagai support system yang awesome. Apasih susahnya bekerja sama? Perempuan kan diciptakan untuk laki-laki. Let us standing beside you to make a better word, guys!

No comments:

Post a Comment