(Assertiveness) Lugas : Tegas namun Tak Menyakiti Orang Lain - Lagi Monolog

Tuesday, December 26, 2017

(Assertiveness) Lugas : Tegas namun Tak Menyakiti Orang Lain


Assertive, dalam kamus diartikan tegas. Sedangkan assertiveness berarti ketegasan. Menurut Rhenald Kasali, assertiveness adalah sebuah training tentang keberanian menyatakan apa yang dipikirkan atau dirasakan secara jujur dan terbuka tanpa mengganggu hubungan. Celakanya “tegas” disini seringkali diartikan sebagai sesuatu yang garang. Seperti halnya pendapat tentang kepala negara yang seringkali kita dengar,”Pak Presiden nggak tegas!” Tapi, lihatlah bagaimana cara orang-orang ini menyampaikannya. Semua disampaikan dengan nada tinggi penuh kemarahan—agresif.




Di jalan-jalan raya kota, ribuan caci maki sering dilontarkan oleh orang-orang yang nggak sabaran. Sepeda motor, angkutan kota, mobil, bus, truck, semuanya hingar bingar nggak mau kalah membunyikan klakson hanya karena lampu sudah hijau tapi kendaraan di depan kurang sigap menginjak pedal gasnya. Jalanan pun rusuh, berisik. Nggak ada yang mau ngalah.

Di Kota Malang sendiri pengendara sepeda motor brutal beraksi di jalanan. Mungkin sambil berkendara mereka berimajinasi ada di sirkuit balapan. Situasinya sesak. Lampu belum beranjak hijau, mereka sudah memacu kendaraan. Padahal ada orang sedang menyeberang. Alhasil yang nyebrang cuma bisa bersungut pelan sambil mengelus dada, tak banyak pula yang menyumpah serapahi si pembalap gadungan.

Di lain pihak, kita juga banyak menyaksikan orang-orang yang membiarkan haknya dilanggar orang lain. Ini hidup saya selama tujuh tahun dalam kurun waktu tiga tahun yang lalu. Tiap kali ada kerja kelompok rasanya saya sendirian yang menanggung beban. Saya merasa porsi saya lebih banyak daripada orang lain. Saya yang membagi tugas, saya yang menjadi back-ing-an, ujung-ujungnya saya pula yang mengerjakan. Saya yang berkorban banyak. Orang lain bilang “kalo kamu merasa berkorban, maka sebenarnya kamu tidak sedang berkorban.” Ah, bodo amat. Memang saya tidak betul-betul ikhlas melakukannya. Lebih tepatnya saya tidak ikhlas diperlakukan seperti itu. Tapi, saat itu saya memilih diam. Takut. Entah pada siapa. Nggak berani protes atau setidaknya menyampaikannya ke teman-teman yang lain.

Contoh lainnya bisa kita saksikan di pom bensin, misalnya. Orang-orang tak berbudaya, datang dari lajur yang berbeda, belok-belok, merapat ke depan, diam-diam memotong jalan, memotong antrean, orang yang di’pepet’ diam saja, bahkan petugas pom bensin pun melayaninya.

Jadilah begitu, di satu pihak ada yang agresif, ada pihak lain yang susah bilang “tidak”. Jadilah kekacauan.

Orang-orang yang pasif terlalu toleran terhadap maunya orang lain, tetapi mereka tidak bisa menghormati dirinya sendiri. Sebaliknya orang-orang yang agresif tadi sering banget memicu konflik. Kalau gilirannya diserobot, mereka rela mengeluarkan kata-kata yang merendahkan martabat orang lain. Tapi, hobinya nyerobot-nyerobot. Orang-orang ini terlalu respek terhadap dirinya sendiri.

Lucunya, di tengah-tengah mereka ada kelompok pasif-agresif yang cenderung sarkastik. Hidupnya tidak diserobot, tapi juga tidak berani menegur atau memperbaiki cara-cara yang dianggap tepat. Ngomongnya kasar, sinis, tapi tidak di depan orang yang bersangkutan. Kalo orang Jawa bilangnya “nggerundel ndek mburi” atau ngomongnya di belakang. Beraninya pada teman-teman lewat gossip atau sosial media dengan nama samaran.

Ibaratnya saya lagi ada di sebuah loket antrean. Makan misalnya. Di tengah antrean, tiba-tiba ada sekelompok orang yang datang dari luar antrean dan ikutan ngantre di depan saya—karena ada temannya yang lebih dulu antre di depan saya—tanpa permisi.

Kalau saya orang yang pasif, meski kesal, saya akan diam seribu bahasa. Kalau saya orang pasif-agresif, saya juga kesal. Tapi saya cuma berani ngomel dibelakangnya sambil nyindir-nyindir.

Di Amerika, Kanada, bahkan Thailand, assertiveness sudah diajarkan di sekolah-sekolah sebagai wadah pembentuk karakter dan kepribadian. Dengan bekal itu, bawahan tidak akan ragu membiarkan atasannya berbuat kemungkaran. Pun dengan di kampus-kampus sekalipun, kita nggak akan ragu melaporkan teman-teman kita yang nyontek saat ujian. 

Kita memerlukan suasana win-win, bukan win-lose apalagi lose-lose. Sikap yang paling baik untuk segala kekacauan yang terjadi sebenarnya adalah assertive. Kita dilatih untuk berbicara terbuka, menyampaikan unek-unek, mengambil hak yang telah diambil orang lain, namun dengan seni yang tinggi agar tidak merendahkan martabat kita maupun orang lain. Malah mereka dapat menerimanya karena kita menegurnya dengan cara yang halus, santun, dan tidak menyakiti. Nah, itulah sebabnya assertiveness perlu dilatih.


___________________________________________________________

Dirangkum dan didaur ulang dari tulisan Rhenald Kasali : Assertiveness

dalam Self Driving.

No comments:

Post a Comment