Duka sedang
menyelimuti K-Popers di seluruh dunia atas meninggalkan seorang member SHINee,
Kim Jonghyun. Ia diberitakan meninggal karena karbon monoksida yang berasal
dari batu bara yang dihirupnya. Dari surat yang ia tinggalkan, Jonghyun merasa
depresi karena merasa kehilangan ‘jiwa’ di musik yang udah membesarkan namanya,
serta hal-hal lain yang nggak gue ngerti karena itu hangul semua. Kehilangan
ini punya arti yang dalem banget buat para K-popers, apalagi Shawol (sebutan
untuk fanbase SHINee), serta teammatesnya, SHINee itu sendiri. Gak memungkiri, gue
juga K-Poper, back then. Kebetulan, gue adalah Shawol.
Seperti yang
kita tahu bahwa dunia lagi panas akibat pernyataan Trump yang menggunakan hak
veto USA untuk memutuskan memindahkan Kedutaan AS ke Yerusalem dan mengklaimnya
sebagai ‘the capitol of Israel’. Pertentangan dan kerusuhan terjadi untuk
menolak gagasan Bapak tersebut. Boikot udah mulai dijalankan dimana-mana.
Negara-negara Islam sudah berunding lewat Konferensi luar biasa di bawah
naungan OKI. Aktivist-aktivist humanisme bermunculan dan mulai rutin turun ke
jalan menyuarakan suara penolakan tersebut. Akun-akun sosial media mulai bikin konten
tentang bela Palestine di jalur yang berbeda, dunia maya.
Nah, kebetulan
berita duka atas meninggalnya member SHINee ini terjadi di tengah-tengah
panasnya konflik dunia tentang Yerusalem. Sama. Beribu-ribu orang menyampaikan
rasa duka mereka lewat Sosial Media. Bahkan mereka buat konten yang khusus
didedikasikan untuk Jonghyun (rose for Jonghyun) yang di share dan di post ribuan
mungkin bahkan jutaan orang di luar sana. Dan mungkin menjadi viral. Sampe
temen gue yang nggak K-Pop aja tau, saking banyaknya postingan itu di explore
mereka. Kaya berasa semua orang ngomongin ini.
Ada akun media
sosial yang kemudian menyetarakan kedua berita di atas—yang menurut gue pribadi
nggak ada hubungannya. Akun ini posting :
“Ribuan manusia dibunuh di Palestina, mereka diam. 1 plastik bunuh diri, mereka menangis.”
Well, ditambah
lagi ada orang yang nge-DM gue. Mbak-mbak. Oh salah. Dedek-dedek mungkin.
Because I think she’s not mature enough. She said,
“haduh saudara-saudara kita yg sedang mati-matian berjuang demi menegakkan agama kita sendiri malah diabaikan. Sedangkan manusia kafir yg bahkan meninggal karena bunuh diri atau bisa dibilang ga punya otak bcs udh dikasih hidup masih ga bersyukur haha. Haduh jaman now emang yaa agak miris sih.”
Kadang gue
jadi bertanya-tanya pada diri sendiri. Orang-orang itu sebenernya tau nggak sih
tentang apa yang terjadi di luar sana? Apakah mereka udah observe atau hanya
mengkonsumsi apa yang disampaikan media? Dan lagi, dua hal itu nggak ada
nyambung-nyambungnya sama sekali. Concern-nya beda. Kenapa gitu ya disambung-sambungin kalo udah
jelas gak ada relasinya. Bukan berarti kalo ada temen kita yang meninggal kita
tetep bela-belain Palestine dan jadi nggak peduli sama sekitar kan? Disini yang
gue bingung, apa sih tolak ukur dari sebuah aksi? Darimana orang-orang ini tau
bahwa orang-orang yang berduka atas Jonghyun ini nggak melakukan apa-apa buat
Palestina? Final question gue, aksi seperti apa sih yang membuat orang-orang
ini bisa membuat penilaian seperti itu atas aksi orang lain—yang mereka anggap
tidak melakukan sesuatu sama sekali. Nggak cuma masalah ini aja sih. Sering
banget loh orang-orang membuat sendiri sebuah sistem penilaian yang pada
akhirnya dibuat untuk menilai aktivitas orang lain. Padahal tolak ukur itu
tidak pernah ada.
Kedua, gue mau
bahas soal depresi itu sendiri. Menurut portal-portal berita dan quick observation
gue, Jonghyun meninggal karena depresi. Okay, some people are in deep of
condolescene. But, gue coba lihat peristiwa ini dari sisi yang berbeda.
Sebenernya ada beberapa hal yang bisa diambil dari peristiwa ini. First is about
the depression itself. Gue masih 20th hidup di dunia ini. Masih 3th dianggap mampu
‘belajar untuk jadi dewasa’. Alhamdulillah, selama 20th ini gue masih punya dan
meyakini Tuhan. Selama itu pula gue nggak pernah memberi cap ke diri gue—seberat
apapun masalah yang gue punya—dengan kata “depresi”. Bukan karena jaim dan sok kuat, tapi lebih karena mau berhati-hati. Menurut gue, depresi
adalah level teratas dari kadar emosi negatif, while di bawahnya ada stress. Bahkan
gue sama sekali nggak inget pernah men-cap diri ini dengan kata “stres”. Those
words mean soooo deep for me.
Gue suka
berargumen dengan diri sendiri. Berdialog. Ngomong sendiri.
Ketika gue
merasakan sesuatu, otak dan perasaan gue akan aktif dan mendebat first hypothesis
itu. Kadang hal ini memperlambat opini akhir gue, membuat gue sedikit lebih
lama mikirnya dibanding orang lain. Tapi, ternyata hal ini ada gunanya untuk
hal-hal tertentu. Contohnya, ketika gue punya masalah. I do believe that everyone has their lowest point of life.
Dihubungin dengan teori gue di bahasan pertama. Siapa sih yang menentukan masalah
ini lowest point atau bukan? Brother,
kita sendiri. Kita yang nggak secara sadar nyiptain fragmen-fragmen itu, dude. Setiap gue ada masalah, gue bakal
debatin itu sama otak dan perasaan, menentukan siapa yang kala itu.
The point is when I took those words either depress or stress to my problem,
gue akan berpikir “Oh, jadi ini ya kemampuan maksimal gue menampung beban?
Segini doang ya?” Gue tau setiap orang punya kapasitas yang beda-beda dan stage
yang macem-macem dalam hidup. Tapi gue belajar untuk nggak membatas-batasi
kemampuan dan kekuatan gue, atas izin Allah. Tujuannya supaya gue bisa tau apa
lagi sih yang bisa gue lakukan di hidup ini? Kalo misal gue bisa membatasi diri
gue, berarti gue udah nggak bisa lagi menantikan hal luar biasa yang bisa
terjadi di hidup atau yang bisa gue buat. So,
when I feel that everything is tough and I can not even escape it, gue
selalu yakinin diri gue kalo “Well, I
have Allah that is bigger than you, hey problem!”. Ketika gue ngrasa banyak
banget beban dan sesuatu menghimpit di saat yang bersamaan, gue sadar bahwa gue cuman lagi
stuck dan belum nemu solusinya aja. Time is
healing and the best motivator is just ourselves. Maka, ketika gue yakin
sesuatu bakal berlalu, ya gue secara nggak sadar akan nemu sendiri solusinya. Dan
gue selalu percaya kalo hujan bakal reda kok. So, I dont even want to use “those words” in the whole part of my life.
Dan gue percaya, orang-orang yang lagi dikasih masalah, mereka itu pilihan.
Setiap orang
punya masalah, setiap orang punya kemampuannya masing-masing, setiap orang punya
stage-nya sendiri-sendiri, dan setiap orang punya sudut pandang sendiri tentang
bagaimana mereka akan melihat masalah itu. Ada orang yang memilih bunuh diri,
ada pula orang yang memilih untuk nggak menganggap masalah itu sebagai beban.
Ada orang yang murung di kantor, ada orang yang ketawa mulu tiap hari. Ada orang yang curhat di media sosial, ada pula orang yang memilih posting hal-hal yang positif. Semua
itu pilihan and it is really depends on
you.
You
are stronger than you think!
Love it 💜💜💜
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir ^^
Delete