Celotehan ini berawal dari pengalaman
pribadi saya selama di bangku perkuliahan so far. Topik ini udah jadi sesuatu
yang mengganggu pikiran saya sejak lama. Semakin saya berpikir, semakin otak saya
berasep dan saya jadi kesel sendiri. Tapi saya seneng sih, semakin banyak
kesel, itu artinya otak saya cukup kepake buat mikir.
Jadi gini, di kelas, saya dan temen-temen
dituntut untuk berdiskusi tentang topik yang dibahas hari itu. Normally,
diskusi semacam ini dilakukan di setiap mata kuliah. Embel-embelnya sih supaya
sumber informasi dikeluarkan dari dua arah, bukan dari dosen aja atau
presentator aja, tapi partisipan di kelas juga bisa bertanya untuk memancing
proses diskusi itu. Di kelas saya (Bisnis Internasional), saya dikelilingi
temen-temen yang aktif dan enerjik di luar maupun di dalem kelas. Tapi, setelah
dua tahun kuliah, saya melihat sesuatu yang lain disini, utamanya di sistem
pendidikan Indonesia yang saya kira udah berubah, namun ternyata sama saja.
Awalnya kami dijanjikan skor lebih kepada
siapa saja mahasiswa yang aktif bertanya atau mengemukakan pendapat.
Automatically, semua orang di kelas berbondong-bondong bertanya dan
mengeluarkan pendapat. Tentunya demi nilai yang baik di semester itu. Ternyata,
dari awal saya bukan termasuk orang yang seperti itu. Sebuah fakta dari diri saya
yang saya sadari karena hal itu adalah saya selalu mikir dulu sebelum bertanya
dan ketika saya udah nemu jawaban dari apa yang saya pertanyakan, saya akan
pasif dan mengikuti diskusi yang menurut saya kurang begitu membangun. Dalam
diskusi di kelas, saya lebih berani untuk menyuarakan opini saya daripada
membuka diskusi dengan pertanyaan yang bisa saya dapet jawabannya dengan mikir
sendiri or cari solusinya di internet.
Hal yang paling membuat saya greget adalah
pertanyaan dari kating saya yang saat itu mengulang salah satu mata kuliah
bareng angkatan saya. Ya, okelah saya bisa maklumin mungkin dia emang cari
nilai, tapi pertanyaan dia menurut saya saat itu kebangetan. Saat itu temen saya
jadi presentator dan dia ngebahas tentang etika bisnis di perusahaan
multinasional Asian Pulp and Paper. Ketika kelompoknya selesai presentasi,
biasanya akan dibuka sesi pertanyaan. Saat itu saya bener-bener penasaran
tentang sebuah topik, sehingga hari itu saya angkat tangan. Unfortunately, saya
nggak kepilih untuk menyuarakan pertanyaan di otak saya karena slot maksimalnya
cuma tiga pertanyaan (ini juga bikin saya kesel, but let's talk about it
later). Si kating ini kepilih dan dia nanya "Kenapa Asian Pulp and Paper
jualan kertas dan bukannya kelapa sawit?" Dan saat itu juga dahi saya
berkerut dan otak saya nge-freeze dalam beberapa detik, like what the... Itu
sama aja kaya nanya "Kenapa Bank Indonesia ngurus duit bukan jualan
makanan?"
Seketika itu juga dalam diri saya
berkecamuk. Dalam hati saya kesel banget tuh karena saya merasa pertanyaan saya
lebih urgent untuk dibahas dan bakal informatif kalo bisa didiskusiin di kelas
bersama dengan temen dan dosen saya saat itu. Disitu kekesalan saya nggak cuma
satu, tapi numpuk-numpuk. Pertama, karena pertanyaan saya nggak tersampaikan.
Kedua, saya merasa kurang dapet kesempatan yang besar di kelas untuk
"diskusi" karena semua hal dibatasi, sehingga saya harus keluar
kelas, ke ruangan dosen saya, dan memilih untuk nanya secara personal, tanpa
menambah poin saya. Ketiga, kenapa orang-orang males untuk mencari jawaban atas
pertanyaan mereka sendiri atau lebih memilih untuk mempertanyakan hal yang uda
jelas jawabannya ada di depan mata.
Mungkin saya terlihat arogan disini, but
guys if some of you know what I feel.
Itulah kenapa saya lebih memilih beropini daripada bertanya tentang hal yang
seharusnya saya pikir dulu supaya pertanyaam saya bisa lebih informatif buat
orang lain. Dampaknya sudah jelas, poin saya emang nggak lebih baik dari yang
lain, tapi setidaknya I got more when I
put more efforts to ask myself first and filter my question sebelum saya
mempertanyakan hal itu ke khalayak ramai. Memang saya bukan tipe orang yang
menganggap IPK adalah segala-galanya. Asal saya bisa bikin bangga orang tua saya
dengan prestasi saya, apapun itu saya yakin mereka cukup suportif untuk
mengerti keadaan anaknya. Kesimpulan yang saya dapet disini adalah kebanyakan
orang melakukan sesuatu cuma buat formalitas. Bahkan di komunitas sekecil
ruangan kelas aja mereka bela-belain nyari-nyari pertanyaan cuma buat nilai,
bukan karena mereka memang ingin tau. Buktinya, di beberapa mata kuliah yang
notabene dosennya tidak menjanjikan "bonus" yang segamblang itu,
mahasiswa yang aktif sangat jarang, bahkan bisa dibilang nol. Saya sih sampe have no idea ya about this.
Salah satu dosen saya pernah bilang,
"Kebiasaan membaca orang Indonesia sangat rendah. Di bandara aja nih
banyak juga orang yang nanya letak toilet, padahal disana penunjuk arah
dimana-mana. Beda sama bule, mereka pasti akan berhenti dulu, trus baca dengan
teliti, berusaha nyari dulu, baru kalo mentok nanya." Saya sepenuhnya
setuju dengan itu. Beda banget ketika saya lihat lingkungan sekitar saya yang
pada males baca sesuatu dan lebih memilih bertanya padahal informasi yang ada
udah sangat jelas. Contoh lainnya waktu saya share poster seminar/lomba ke grup
dan temen saya nanya "Daftarnya dimana?", "Bayarnya
berapa?" Padahal dia tinggal buka posternya ato baca captionnya and
voilaaa problem solved!
Saya banyak berdiskusi dengan temen-temen saya
yang berasal dari berbagai negara di dunia (yang ikut project saya) tentang
kebiasaan ini di negara mereka. Beberapa temen saya dari Eropa such as Belanda
dan Perancis bilang yang intinya bisa dibilang "No stupid answer, no
stupid question." Untuk orang-orang yang bertanya di kelas akan sangat
diapresiasi. Tapi rupanya kalimat itu lagi-lagi nggak bisa saya terima begitu
saja apalagi kalo ditujukan untuk komunitas saya. Sama kaya kalimat "Malu
bertanya, sesat di jalan" yang rasanya kurang begitu koheren dengan
keadaan jaman sekarang yang semuanya serba ada.
Lagi, dimensi budaya orang Eropa memang
cenderung maskulin. Artinya mereka lebih subjektif dan begitu aktif untuk
mencari informasi (termasuk nggak baperan) dengan membaca, memfilter informasi
yang masuk ke diri mereka, kemudian berpikir sebagai bagian dari proses
filtering, dan bertanya untuk hal yang memang menjadi perdebatan pikiran atau
hal yang memang nggak mereka ngerti. Bukannya asal bertanya tanpa tau terlebih
dahulu, akibatnya akan timbul pertanyaan semacam kenapa Asian Pulp and Paper
jualan kertas. Judulnya aja udah Pulp and Paper loh. Sumpah, saya nggak ngerti
lagi segitunya orang cari nilai.
Lantas, kapan orang Indonesia dan
komunitas saya bisa lebih banyak berpikir dulu daripada bertanya hal yang sudah
jelas?
Kapan orang Indonesia dan komunitas saya
bisa stop membahas pembahasan sampis semacam ngebully orang dan gosipin
selebgram yang bahkan nggak kita kenal?
Menurut saya, anggapan banyak bertanya
cuma cocok buat anak-anak atau bocah karena mereka memang dalam fase pengenalan
dan mereka emang nggak bisa tau tanpa dibantu. But, for us guys...kita udah
bisa mikir kan? Otak kita udah terbentuk sempurna kan? Apalagi untuk pertanyaan
yang udah sangat jelas jawabannya terpampang nyata. Terlalu banyak nanya juga
bakal jadi annoying banget buat orang yang ditanyain. Apalagi untuk hal-hal
yang nggak informatif.
Diriwayatkan dari Al-Mughirah bin Syu'bah
R.A, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
"Allah membenci bagi kalian tiga
perkara : bergosip, menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya."
(Hadits Riwayat Bukhari)
Tolong diresapi dan dicari dulu ya
maknanya teman-teman :)
Terserah sih kalian mau setuju atau nggak
dengan tulisan saya ini atau mungkin ada beberapa pihak yang ke-mention secara
sengaja maupun tidak langsung, saya pure
mau beropini aja. Saya nulis ini juga buat saya sendiri. Buat pengingat kalo saya
jangan jadi seperti orang-orang yang saya tulis di atas. Semisal kalian nggak
setuju, saya terbuka untuk diskusi dan dari situ kita bisa banyak tau.
Wildflower,
dari sudut ruangan yang dingin.
No comments:
Post a Comment