Menunggu Pulang - Lagi Monolog

Wednesday, April 15, 2020

Menunggu Pulang



Aku mengerjap setengah sadar. Sebuah dering telepon membangunkanku dari bunga tidur. Samar-samar aku tersenyum melihat namanya tersemat di layar ponsel.

“Halo? Passwordnya?” Gurauku walau kantuk lebih dulu merajai kesadaranku malam itu.

“Bintang satu dua tiga pagar,” jawabnya.

Password ini tak ada artinya. Keluargaku yang mendengar kalimat itu juga cuma geleng-geleng kepala. Jayus, kata mereka.

“Bian...,” panggilnya lirih. Bukan berbisik, tapi lebih ke nada hati-hati.

“Hmm?”

“Maaf aku belum bisa pulang.” Terdengar hela napas berat di ujung telepon.

Kalimat singkat itu mampu membuatku membuka mata. Kecewa. Dasar virus bajingan!

“Kenapa kamu nggak gantian aja sama yang lain? Pulang dulu lalu berangkat lagi?” Aku memberi saran, padahal aku sudah tau betul apa jawabannya.

“Nggak bisa sayang. Tiap hari korban makin banyak. Kami kekurangan tenaga medis. Beberapa dokter di tempatku ditugaskan meninggal dunia karena tertular pasien. Situasinya kacau.”

“Iya, nggak papa. Kamu hati-hati, ya? Sudah ada bantuan APD kan? Pastikan semua aman ya? Jaga kesehatan.”

“Iya. Kamu juga, ya? Bilang ke anak kita, jangan bikin ibunya ngidam. Ayahnya gak ada disana,” balasnya sambil tertawa.

Aku menunduk menatap perutku yang membesar. Ada nyawa yang tak sabar ingin kutemui di dalamnya. Pipiku memanas begitu ia menyebut ‘anak kita’. Oh, Tuhan aku rindu sekali pada pria ini! Ingin sekali kubeli kerinduan yang tertunda jarak.

“Aku tutup teleponnya ya? Aku sayang kamu.”

“Aku juga,” balasku.

“Bian, kamu percaya Mas akan pulang?”

“Tentu.”

“Aku pamit ya? Jaga diri baik-baik. Jaga anak kita. Maafkan aku...”

Mulutku baru ingin mengucap sesuatu ketika nada tanda telepon terputus memenuhi keheningan. Air mata yang tertahan sama dengan rindu kami, luruh menghujani pipi, mengantarkan aku pada bunga tidur yang kuharap bisa mempertemukanku dengannya.

“Mbak Bian, bangun! Mbak Bian!”

Aku membuka mata. Rasanya baru sejenak aku tertidur. Kepalaku sakit, mungkin karena terlalu banyak menangis. Mungkin juga karena kelelahan karena baru lelap sebentar. Benar saja, bantalku masih basah air mata. Cahaya ruangan berbinar canggung menerpa mataku yang masih sayup. Beberapa kali mengerjapkan mata, akhirnya aku bisa menatap adikku yang panik luar biasa.

“Mbak, Mas Yoga meninggal dunia. Positif Corona. Katanya udah beberapa minggu, tapi Mas Yoganya yang minta dirahasiakan biar Mbak Bian nggak kepikiran dan panik karena lagi hamil.”

Adikku melaporkan berita itu dalam satu tarikan napas. Aku masih berusaha mencerna tiap kata yang keluar dari mulutnya. Satu hal yang kutangkap jelas, tidak kutemukan raut bercanda dalam wajahnya.

“Ngawur! Orang tadi Mbak masih telponan kok! Hahahaha.” Entah kenapa aku tertawa getir.

Sakit kepala menjalar menuju alam sadarku. Napasku ikut tertahan dengan pekikan suaraku yang tak lolos dari kerongkongan. Aku ingin sekali berteriak, berusaha menghalau candaan semesta yang tak lucu sama sekali. Buru-buru kuperiksa ponselku sambil meyakini diri kalau sedang bermimpi. Tanganku bergetar hebat mencari namanya pada daftar telepon masuk. Mungkin benar bahwa aku sedang bermimpi.

Kutatap layar ponselku. Tak ada telepon masuk darinya sejak dua pekan lalu.

Aku terdiam menatap adikku yang menyisakan suara detak jarum jam di antara kami. Air mataku kembali jatuh.

No comments:

Post a Comment