Aku mengerjap setengah sadar. Sebuah dering telepon membangunkanku dari
bunga tidur. Samar-samar aku tersenyum melihat namanya tersemat di layar
ponsel.
“Halo? Passwordnya?” Gurauku walau kantuk lebih dulu merajai kesadaranku
malam itu.
“Bintang satu dua tiga pagar,” jawabnya.
Password ini tak ada artinya. Keluargaku yang mendengar kalimat itu juga
cuma geleng-geleng kepala. Jayus, kata mereka.
“Bian...,” panggilnya lirih. Bukan berbisik, tapi lebih ke nada
hati-hati.
“Hmm?”
“Maaf aku belum bisa pulang.” Terdengar hela napas berat di ujung
telepon.
Kalimat singkat itu mampu membuatku membuka mata. Kecewa. Dasar virus
bajingan!
“Kenapa kamu nggak gantian aja sama yang lain? Pulang dulu lalu berangkat
lagi?” Aku memberi saran, padahal aku sudah tau betul apa jawabannya.
“Nggak bisa sayang. Tiap hari korban makin banyak. Kami kekurangan tenaga
medis. Beberapa dokter di tempatku ditugaskan meninggal dunia karena tertular
pasien. Situasinya kacau.”
“Iya, nggak papa. Kamu hati-hati, ya? Sudah ada bantuan APD kan? Pastikan
semua aman ya? Jaga kesehatan.”
“Iya. Kamu juga, ya? Bilang ke anak kita, jangan bikin ibunya ngidam.
Ayahnya gak ada disana,” balasnya sambil tertawa.
Aku menunduk menatap perutku yang membesar. Ada nyawa yang tak sabar
ingin kutemui di dalamnya. Pipiku memanas begitu ia menyebut ‘anak kita’. Oh,
Tuhan aku rindu sekali pada pria ini! Ingin sekali kubeli kerinduan yang
tertunda jarak.
“Aku tutup teleponnya ya? Aku sayang kamu.”
“Aku juga,” balasku.
“Bian, kamu percaya Mas akan pulang?”
“Tentu.”
“Aku pamit ya? Jaga diri baik-baik. Jaga anak kita. Maafkan aku...”
Mulutku baru ingin mengucap sesuatu ketika nada tanda telepon terputus
memenuhi keheningan. Air mata yang tertahan sama dengan rindu kami, luruh
menghujani pipi, mengantarkan aku pada bunga tidur yang kuharap bisa
mempertemukanku dengannya.
“Mbak Bian, bangun! Mbak Bian!”
Aku membuka mata. Rasanya baru sejenak aku tertidur. Kepalaku sakit,
mungkin karena terlalu banyak menangis. Mungkin juga karena kelelahan karena
baru lelap sebentar. Benar saja, bantalku masih basah air mata. Cahaya ruangan
berbinar canggung menerpa mataku yang masih sayup. Beberapa kali mengerjapkan
mata, akhirnya aku bisa menatap adikku yang panik luar biasa.
“Mbak, Mas Yoga meninggal dunia. Positif Corona. Katanya udah beberapa
minggu, tapi Mas Yoganya yang minta dirahasiakan biar Mbak Bian nggak kepikiran
dan panik karena lagi hamil.”
Adikku melaporkan berita itu dalam satu tarikan napas. Aku masih berusaha
mencerna tiap kata yang keluar dari mulutnya. Satu hal yang kutangkap jelas,
tidak kutemukan raut bercanda dalam wajahnya.
“Ngawur! Orang tadi Mbak masih telponan kok! Hahahaha.” Entah kenapa aku
tertawa getir.
Sakit kepala menjalar menuju alam sadarku. Napasku ikut tertahan dengan
pekikan suaraku yang tak lolos dari kerongkongan. Aku ingin sekali berteriak,
berusaha menghalau candaan semesta yang tak lucu sama sekali. Buru-buru
kuperiksa ponselku sambil meyakini diri kalau sedang bermimpi. Tanganku
bergetar hebat mencari namanya pada daftar telepon masuk. Mungkin benar bahwa
aku sedang bermimpi.
Kutatap layar ponselku. Tak ada telepon masuk darinya sejak dua pekan
lalu.
Aku terdiam menatap adikku yang menyisakan suara detak jarum jam di
antara kami. Air mataku kembali jatuh.
No comments:
Post a Comment