Setiap piket, teman-teman di Ei
Lab (Entrepreneurship and Innovation Laboratory)
wajib membahas sesuatu dalam forum diskusi kecil. Hari itu diskusi dipimpin
oleh Isra dan Oji. Walaupun nggak jelas juga yang mimpin diskusi siapa. Anggap
saja begitu. Topik yang mereka bahas, yang menurut gue menarik adalah “Kapan
millennials punya rumah?”. Sungguh sebuah pertanyaan menohok kalau kita kuat
mental nengok kantong, isi ATM, dan fakta-fakta pahit di lapangan.
Kenapa?
Bayangkan saja. Jumlah penduduk
Indonesia yang berusia di bawah 34 tahun sudah mencapai hampir 60 persen dari
total jumlah penduduk. Dengan hitungan kasar, harga rumah dan apartemen
menunjukkan kenaikan pertumbuhan 7 persen hingga 10 persen. Sementara itu, dari
sisi pendapatan hanya meningkat sebesar 3 persen sampai 5 persen saja. Itu pun cuma
di posisi tertentu dan nggak terjadi setiap tahun. Bisa disimpulkan. Pendapatan
stagnan, harga properti makin mahal, jadi makin nggak kebeli. Inilah problem
mendasar, sehingga generasi millennials makin sulit beli rumah. Fakta pahitnya
lagi, lo cuma akan jadi nol koma sekian persen dari 60 persen tadi. Sedangkan
tinggal berapa sisa lahan yang ada nanti buat nampung semua millennials itu?
Nah, hasil diskusi yang gue curi
dengar dari Isra dkk saat piket berlangsung, millennials baru bisa beli rumah
15 tahun kemudian. Entah cash atau
kredit. Itupun dengan gaji 10 juta rupiah. Sedangkan gaji rata-rata generasi
ini adalah 7 juta rupiah. Lagi. Itupun dengan catatan si millennial ini nanggung
biaya pribadi doang. Artinya belum menikah. Oh
shit. Makin susah aja kan. Nggak mungkin juga dong ingin menjomblo terus
selama 15 tahun dan nggak nikah-nikah? Belum lagi soal inflasi. Bahkan krisis
ekonomi yang siapa tahu dateng saat lagi nabung buat beli rumah.
MINDSET
Berdasarkan analisa gue sebagai
millennials juga, masalah utamanya bukan pada gaji. Jika itu dianggap sebagai
satu-satunya sumber pendanaan buat beli rumah. Millennial susah punya rumah
karena M-A-N-J-A. Ya. Manja. Mereka lebih mementingkan gaya hidup. Nggak mau
dianggep nggak gaul karena nggak nongkrong chill
bareng teman-teman. Keluar gadget baru,
nggak mau ketinggalan. Intinya lebih mengedepankan membeli keperluan yang nggak
mendesak seperti baju baru, koleksi tas, borong case handphone (kalo yang ini gue banget), dll. Alhasil masih
banyak juga mereka yang seharusnya sudah pada tahap bisa punya rumah sendiri, memilih
tinggal bareng orang tua. Ada juga yang memang bisa beli rumah, tapi itupun karena dibeliin orang tua.
Ali Tranghanda, pengamat properti
dari Indonesia Property Watch (IPW) pernah mengatakan bahwa dengan penghasilan
7 juta sebenarnya millennials bisa beli hunian seharga 300 jutaan di pinggiran
Kota Jakarta. Sayangnya masih banyak mindset
yang “jiper” kalo punya rumah di pinggiran Jakarta. Maunya di Pusat Kota,
bagus, murah. Susah deh. Maunya banyak, tapi manja.
Menabung memang solusi yang
tepat. Tapi kalo kebutuhan makin naik dan pemasukan segitu-gitu aja, apa yang
mau ditabung?
BEYOND THE LIMIT
Di sisi lain, nyadar nggak sih
kalo tren di dunia ini semakin aneh? Rasanya kalo ada dari kalian yang baca ini
masih berpikiran bahwa “pekerjaan” adalah sesuatu yang cuma bisa dilakukan di kantor-kantor...
duh. Coba keluar, lihat dunia.
Kayaknya nggak ada deh yang nggak
bisa di-uangin. Dulu. Gue punya temen deket nih cowok. Suka banget ke warnet
kalo pulang sekolah atau sembari nunggu jadwal les dimulai. Diem-diem dia suka
dapet rezeki nomplok cuman dari jualan char
dia ke sesama gamers. Itu dulu.
Sekarang kondisinya makin menjadi-jadi coy. Banyak orang yang bisa beli mobil, rumah,
kapal pesiar. Kalo ditanya apa pekerjaannya? Gamers. Begitu pun dengan selebgram, vloggers, bahkan bloggers. “Gaji”nya
bisa lebih dari 10 kali lipatnya yang jadi manajer atau karyawan kantoran!
Ada cerita konyol sih. Gue bahkan
pernah dapet duit ratusan ribu cuma dengan nyediain jasa upload foto ke Shopee
dan hapus foto di Instagram. Come on.
Pekerjaan ini bahkan nggak perlu skill apapun selain perlu nguatin jempol aja. Bahkan
sambil merem pun gue bisa. Pen nangis nggak kalo tau cari duit segampang itu.
Temen gue. Besar dari investasi. Dia
mengaku nggak pandai berbisnis. Alih-alih memutar uang melalui active income, dia merasa lebih punya passion di bidang investasi. Jadi tiap
dia punya duit, dibelikan aset berupa saham dan reksadana. Walaupun jumlahnya
minim, angkanya tetap bergerak. Teman lainnya mengaku pernah investasi sebanyak
5 juta, sebulan-dua bulan kemudian dapat 50 juta dari perdagangan cryptocurrency. Gila nggak.
Semalam seorang teman datang
berkunjung ke Ei Lab. Gue panggil dia Mas Faza. Dia cerita banyak soal kekecewaan
dan rasa takjub yang dia rasain ketika lulus. Kalo sebenarnya banyak banget hal
yang dia sesali nggak dia pelajari saat semasa kuliah dulu. Mungkin ada banyak
hal yang-sudah-dia-sadari, tapi menolak dia latih dengan anggapan “ah, nanti
aja belajarnya”.
Contoh sederhananya adalah kemampuan
menulis. Satu skill dasar ini aja, kita bisa menghasilkan uang. Banyak jenis pekerjaan
yang bisa kita lakukan, misalnya jadi content
writer, blogger, bahkan jadi penulis lepas pun ada “cuan”nya, kalo dia
bilang. Pernah lihat nggak sih ada e-book
bertebaran di internet yang ditulis oleh penulis indie? Orang-orang pun bisa beli buku tersebut secara bebas di
internet. Ada duitnya coy!
Persaingan di dunia ini yang
makin menyakitkan, jangan ditambah dengan sikap manja dan acuh begitu intinya.
Belajarlah dimana saja. Kepada siapa saja. Kemudian bagikan untuk siapa saja.
Dari obrolan dengan Mas Faza yang singkat tapi bernilai itu gue bisa
menyimpulkan bahwa keadaan di luar sana itu gila. Kalo gue jadi manusia yang
biasa aja, nerima input cuma pas dikasih doang, apatis, nggak kreatif, pasrah,
meeenn gue bakal mati dimakan peradaban.
Gila ya. Gue bener-bener baru
ngeh bahwa dunia tuh se-dinamis ini. Usia “bekerja” makin kabur. Karena bikin
video TikTok aja bisa dianggap sebagai sebuah pekerjaan. Gue yakin dan pasti
udah dimulai. Nanti ketika calon mertua lo tanya “Nak, pekerjaannya apa?”, lo
akan bingung ngejawabnya. Karna yang lo kerjain random banget. Pun saat lo
punya anak dan dia harus ngisi biodata orang tua di bagian “pekerjaan”.
Ah, jadi nggak ada alasan ya buat
lo, para millennials, termasuk gue lagi ngomong ke diri sendiri, untuk ngeluh
nggak punya duit. They pay you for your
creativity and innovation.
Balik lagi ke judul tulisan ini.
Jadi sekarang punya alasan nggak buat kalian para millennials untuk nggak bisa
beli rumah?
-
Ditulis oleh seorang millennial
untuk kawanku para millennials.