Assertive, dalam kamus diartikan tegas.
Sedangkan assertiveness berarti
ketegasan. Menurut Rhenald Kasali, assertiveness
adalah sebuah training tentang keberanian menyatakan apa yang dipikirkan atau
dirasakan secara jujur dan terbuka tanpa mengganggu hubungan. Celakanya “tegas”
disini seringkali diartikan sebagai sesuatu yang garang. Seperti halnya
pendapat tentang kepala negara yang seringkali kita dengar,”Pak Presiden nggak
tegas!” Tapi, lihatlah bagaimana cara orang-orang ini menyampaikannya. Semua disampaikan
dengan nada tinggi penuh kemarahan—agresif.
Di
jalan-jalan raya kota, ribuan caci maki sering dilontarkan oleh orang-orang
yang nggak sabaran. Sepeda motor, angkutan kota, mobil, bus, truck, semuanya
hingar bingar nggak mau kalah membunyikan klakson hanya karena lampu sudah
hijau tapi kendaraan di depan kurang sigap menginjak pedal gasnya. Jalanan pun
rusuh, berisik. Nggak ada yang mau ngalah.
Di Kota
Malang sendiri pengendara sepeda motor brutal beraksi di jalanan. Mungkin sambil
berkendara mereka berimajinasi ada di sirkuit balapan. Situasinya sesak. Lampu
belum beranjak hijau, mereka sudah memacu kendaraan. Padahal ada orang sedang
menyeberang. Alhasil yang nyebrang cuma bisa bersungut pelan sambil mengelus
dada, tak banyak pula yang menyumpah serapahi si pembalap gadungan.
Di lain
pihak, kita juga banyak menyaksikan orang-orang yang membiarkan haknya
dilanggar orang lain. Ini hidup saya selama tujuh tahun dalam kurun waktu tiga
tahun yang lalu. Tiap kali ada kerja kelompok rasanya saya sendirian yang
menanggung beban. Saya merasa porsi saya lebih banyak daripada orang lain. Saya
yang membagi tugas, saya yang menjadi back-ing-an, ujung-ujungnya saya pula
yang mengerjakan. Saya yang berkorban banyak. Orang lain bilang “kalo kamu
merasa berkorban, maka sebenarnya kamu tidak sedang berkorban.” Ah, bodo amat. Memang
saya tidak betul-betul ikhlas melakukannya. Lebih tepatnya saya tidak ikhlas
diperlakukan seperti itu. Tapi, saat itu saya memilih diam. Takut. Entah pada
siapa. Nggak berani protes atau setidaknya menyampaikannya ke teman-teman yang
lain.
Contoh
lainnya bisa kita saksikan di pom bensin, misalnya. Orang-orang tak berbudaya,
datang dari lajur yang berbeda, belok-belok, merapat ke depan, diam-diam
memotong jalan, memotong antrean, orang yang di’pepet’ diam saja, bahkan
petugas pom bensin pun melayaninya.
Jadilah begitu,
di satu pihak ada yang agresif, ada pihak lain yang susah bilang “tidak”. Jadilah
kekacauan.
Orang-orang
yang pasif terlalu toleran terhadap maunya orang lain, tetapi mereka tidak bisa
menghormati dirinya sendiri. Sebaliknya orang-orang yang agresif tadi sering
banget memicu konflik. Kalau gilirannya diserobot, mereka rela mengeluarkan
kata-kata yang merendahkan martabat orang lain. Tapi, hobinya
nyerobot-nyerobot. Orang-orang ini terlalu respek terhadap dirinya sendiri.
Lucunya, di
tengah-tengah mereka ada kelompok pasif-agresif yang cenderung sarkastik. Hidupnya
tidak diserobot, tapi juga tidak berani menegur atau memperbaiki cara-cara yang
dianggap tepat. Ngomongnya kasar, sinis, tapi tidak di depan orang yang
bersangkutan. Kalo orang Jawa bilangnya “nggerundel ndek mburi” atau ngomongnya
di belakang. Beraninya pada teman-teman lewat gossip atau sosial media dengan
nama samaran.
Ibaratnya
saya lagi ada di sebuah loket antrean. Makan misalnya. Di tengah antrean,
tiba-tiba ada sekelompok orang yang datang dari luar antrean dan ikutan ngantre
di depan saya—karena ada temannya yang lebih dulu antre di depan saya—tanpa
permisi.
Kalau saya
orang yang pasif, meski kesal, saya akan diam seribu bahasa. Kalau saya orang
pasif-agresif, saya juga kesal. Tapi saya cuma berani ngomel dibelakangnya
sambil nyindir-nyindir.
Di Amerika,
Kanada, bahkan Thailand, assertiveness
sudah diajarkan di sekolah-sekolah sebagai wadah pembentuk karakter dan kepribadian.
Dengan bekal itu, bawahan tidak akan ragu membiarkan atasannya berbuat
kemungkaran. Pun dengan di kampus-kampus sekalipun, kita nggak akan ragu
melaporkan teman-teman kita yang nyontek saat ujian.
Kita memerlukan
suasana win-win, bukan win-lose apalagi lose-lose. Sikap yang paling baik untuk
segala kekacauan yang terjadi sebenarnya adalah assertive. Kita dilatih untuk berbicara terbuka, menyampaikan
unek-unek, mengambil hak yang telah diambil orang lain, namun dengan seni yang
tinggi agar tidak merendahkan martabat kita maupun orang lain. Malah mereka dapat
menerimanya karena kita menegurnya dengan cara yang halus, santun, dan tidak
menyakiti. Nah, itulah sebabnya assertiveness
perlu dilatih.
Dirangkum dan didaur ulang dari
tulisan Rhenald Kasali : Assertiveness
dalam Self Driving.