Dalam sepekan terakhir aku dan istriku Yuni sibuk keluar masuk pasar. Saat ia berkeliling mengunjungi penjual-penjual favoritnya, biasanya aku hanya menghabiskan waktu di halaman kios yang teduh dengan mengedar pandang ke sekeliling. Ada beberapa penjaja makanan berkutat di kerumunan pelanggan menawarkan dagangannya. Kutatapi kerumunan yang berisik itu, tetap merasa tak terhibur. Membosankan, namun aku sudah terlanjur berjanji seumur hidup akan menjaga istriku Yuni dalam keadaan apapun.
Cinta memang mampu
melumpuhkan logika, kata yang muda. Aku tidak setuju. Nyatanya
aku memang sudah lumpuh sejak lahir, bahkan jauh sebelum mengenal cintaku pada
Yuni.
Aku duduk di
undak-undakan karena tak menemukan tempat duduk. Kutepikan alat bantu jalanku agar
tidak menghalangi pengunjung pasar. Kulepas topi merah yang sudah pudar
warnanya, hadiah dari Yuni, mengibasnya di dekat kepala, berharap topi iku
mampu melegakan kepalaku yang kepanasan akibat terik.
Aku bersungut menunggu
Yuni, mengingat perdebatan kecil kami pagi tadi tentang apakah harus ke pasar
lebih dahulu atau mengambil kardus terlebih dahulu. Kalau saja Yuni minta
diantar ke pasar pagi-pagi tentu kulitku tak akan semakin legam terbakar
matahari. Tapi tak apa, demi istri tercinta.
Belum lama aku bersungut
sendirian, beberapa buah koin receh dilempar seseorang mengenai ujung sandalku.
Aku menengadah. Seorang ibu-ibu berbaju daster warna hijau menutup dompetnya
seusai melempar koinnya padaku.
Buru-buru aku
menghampirinya. Ibu itu menengadah, kebingungan menatapku yang tak kalah
bingung. Ia membuka dompetnya kembali dan mengeluarkan uang dua ribu.
“Ambil saja, Pak. Untuk beli makan,” ucapnya.
DEG.
Kini aku tau maksud Ibu
itu. Kutatap tajam tepat di matanya, walaupun ia akhirnya melengos. Uang lima
puluh ribuan keluar dari dompetku, sedang dua ribu darinya kusimpan. Ia kembali melihatku dengan bingung.
“Apakah saya terlihat sedang mengemis? Jangan bilang karena Ibu melihat kaki saya?”
“Ah, ini untuk Ibu. Uang kembaliannya.” Kusodorkan uang lima puluh ribu, balasan atas budi baiknya.
“Ah, ini untuk Ibu. Uang kembaliannya.” Kusodorkan uang lima puluh ribu, balasan atas budi baiknya.
“Dan ini. Siapa tau ibu
butuh catering untuk arisan.”
Sebuah kartu nama
kuselipkan di sela jari-jarinya. Disana tertera nama usaha kateringku dan Yuni, lengkap dengan alamat dan nomor telepon. Aku
berlalu sambil membawa tongkat jalan yang kujepit di ketiak, menjemput Yuni
istriku tercinta. Ia pasti sedang mengomel. Kesulitan membawa bahan-bahan masakan yang banyak untuk
400 pesanan nasi kotak akhir minggu nanti dengan jari tangan kirinya yang hanya
berjumlah dua.
The Casino is Now Closed! | Dr.MCD
ReplyDeleteThe Casino 의정부 출장안마 is Back, Getaway, Family Vacation and 시흥 출장마사지 they 동두천 출장안마 love to go 서귀포 출장안마 see their favorite casino. MGM, Casino, and Resorts to 춘천 출장안마 go to Atlantic City!