“Ini keputusan tolol
yang kamu buat.”
Aku baru saja keluar
kamar, setelah beberapa hari mengurung diri. Pembebasan raga hari itu masih
belum bisa jadi hari pembebasan kalimat yang dalam sepekan terakhir membubung
tinggi di kepala. Katanya aku manusia tolol.
Kata terakhir itu berputar-putar di atas sana. Kebetulan temanku itu tau aku baru saja menolak tawaran kerja dari sebuah perusahaan multinasional asal Singapura. Dia geram bukan main.
Kata terakhir itu berputar-putar di atas sana. Kebetulan temanku itu tau aku baru saja menolak tawaran kerja dari sebuah perusahaan multinasional asal Singapura. Dia geram bukan main.
“Cari kerja itu susah,”
tambahnya.
Tidak cukup ia menghabiskan
waktu menceramahiku tentang betapa bodohnya aku menyia-nyiakan kesempatan, ia
juga menepis beberapa alasan yang kupercaya. Aku bilang padanya bahwa seorang
Jack Ma sekalipun masih di dunia antah berantah ketika ia seumuranku, sebelum
ia bisa menjadi orang kaya di umurnya yang paruh baya.
Ia terkekeh geli pada
alasanku yang menurutnya tak rasional. Kebetulan atasannya di tempat kerja
seumuran denganku. Aku tau betul arah pembicaraan ini. Ketika perbandingan jadi
jurus andalan, yang tersisa dariku saat itu hanya sebuah pembelaan. Walaupun
aku tau usahaku membela diri mati-matian sia-sia karena ia akan tetap kekeuh
pada pendapatnya.
Aku duduk di halaman
rumah bersama akuarium yang penghuninya baru saja kuberi makan. Melamun. Ikan-ikan
berwarna oranye itu berenang kesana kemari. Riang. Seolah tak perlu khawatir
tentang pilihan hidup. Aku pikir semesta akan jadi lebih lunak jika aku
terlahir sebagai ikan? Tapi siapa sih yang bisa memilih dilahirkan sebagai apa?
Ingatan tentang obrolan
malam itu kupanggil kembali. Kali ini dengan lantang dan penuh keberanian. Aku
sudah merasa cukup bertapa di dalam kamar dan siap berseteru lagi dengan
ideologi dan prinsip hidupnya tentang hidupku.
“Atasan di tempatku
bekerja seumuranmu, hehe,” ucapnya.
Harusnya aku juga bisa jadi atasan di umurku sekarang. Itu arah
pembicaraannya.
Aku membuka mulut dengan
tegas menanggapi perkataannya. “Harusnya kamu yang jadi atasan anak seumuranku," tukasku padanya.
Ia berseru lagi seusai
aku berusaha menjelaskan tujuan dan rencana hidupku. Walau dalam pertapaanku
aku sadar akan satu hal: Tak perlu susah-susah menjelaskan tujuan dan rencana
hidup pada manusia lainnya. Kalau mereka mengerti, lanjutkan. Kalau mereka
tidak paham, tak perlu dipaksa. Bukankah semesta sudah memberi ruang
seluas-luasnya?
”Kamu yakin membuang
kesempatan besar ini? Ini akan jadi keputusan tolol yang kamu buat,” tanyanya
lagi meminta keyakinanku setelah dua hari berlalu sejak pembicaraan terakhir kita.
Kutanya padanya,”Kenapa?”
“Ya....alasanmu tidak
rasional.”
Aku terkekeh mengucap
terima kasih atas perhatiannya. Sambil membawa akuarium di halaman kembali
masuk ke rumah, aku mencatat pada semestaku:
Mengapa manusia begitu tolol dan bergairah membebani otak mereka dengan urusan orang lain?
______
No comments:
Post a Comment