Manusia Tolol - Lagi Monolog

Sunday, April 12, 2020

Manusia Tolol





“Ini keputusan tolol yang kamu buat.”

Aku baru saja keluar kamar, setelah beberapa hari mengurung diri. Pembebasan raga hari itu masih belum bisa jadi hari pembebasan kalimat yang dalam sepekan terakhir membubung tinggi di kepala. Katanya aku manusia tolol.


Kata terakhir itu berputar-putar di atas sana. Kebetulan temanku itu tau aku baru saja menolak tawaran kerja dari sebuah perusahaan multinasional asal Singapura. Dia geram bukan main.

“Cari kerja itu susah,” tambahnya.

Tidak cukup ia menghabiskan waktu menceramahiku tentang betapa bodohnya aku menyia-nyiakan kesempatan, ia juga menepis beberapa alasan yang kupercaya. Aku bilang padanya bahwa seorang Jack Ma sekalipun masih di dunia antah berantah ketika ia seumuranku, sebelum ia bisa menjadi orang kaya di umurnya yang paruh baya.

Ia terkekeh geli pada alasanku yang menurutnya tak rasional. Kebetulan atasannya di tempat kerja seumuran denganku. Aku tau betul arah pembicaraan ini. Ketika perbandingan jadi jurus andalan, yang tersisa dariku saat itu hanya sebuah pembelaan. Walaupun aku tau usahaku membela diri mati-matian sia-sia karena ia akan tetap kekeuh pada pendapatnya.

Aku duduk di halaman rumah bersama akuarium yang penghuninya baru saja kuberi makan. Melamun. Ikan-ikan berwarna oranye itu berenang kesana kemari. Riang. Seolah tak perlu khawatir tentang pilihan hidup. Aku pikir semesta akan jadi lebih lunak jika aku terlahir sebagai ikan? Tapi siapa sih yang bisa memilih dilahirkan sebagai apa?

Ingatan tentang obrolan malam itu kupanggil kembali. Kali ini dengan lantang dan penuh keberanian. Aku sudah merasa cukup bertapa di dalam kamar dan siap berseteru lagi dengan ideologi dan prinsip hidupnya tentang hidupku.

“Atasan di tempatku bekerja seumuranmu, hehe,” ucapnya.

Harusnya aku juga bisa jadi atasan di umurku sekarang. Itu arah pembicaraannya.

Aku membuka mulut dengan tegas menanggapi perkataannya. “Harusnya kamu yang jadi atasan anak seumuranku," tukasku padanya.

Ia berseru lagi seusai aku berusaha menjelaskan tujuan dan rencana hidupku. Walau dalam pertapaanku aku sadar akan satu hal: Tak perlu susah-susah menjelaskan tujuan dan rencana hidup pada manusia lainnya. Kalau mereka mengerti, lanjutkan. Kalau mereka tidak paham, tak perlu dipaksa. Bukankah semesta sudah memberi ruang seluas-luasnya?

”Kamu yakin membuang kesempatan besar ini? Ini akan jadi keputusan tolol yang kamu buat,” tanyanya lagi meminta keyakinanku setelah dua hari berlalu sejak pembicaraan terakhir kita.

Kutanya padanya,”Kenapa?”

“Ya....alasanmu tidak rasional.”

Aku terkekeh mengucap terima kasih atas perhatiannya. Sambil membawa akuarium di halaman kembali masuk ke rumah, aku mencatat pada semestaku:

Mengapa manusia begitu tolol dan bergairah membebani otak mereka dengan urusan orang lain?




______

Cerita ini terinspirasi dari cerita nyata yang diramu menjadi cerita fiktif. Apabila ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, mohon dimaklumi ya. Itu artinya elu jadi sumber inspirasi gue. Terima kasih!


No comments:

Post a Comment