Oh,
oke.
Tapi
bentar,
Di
tulisan ini gue lagi-lagi pengen ngajak kalian ngobrol sebagai temen yang lagi
curhat. Jadi ijinin gue cerita dulu ya, baru setelah itu kita diskusi.
Buat
kalian yang mengikuti cerita gue diam-diam, beberapa bulan lalu gue kerap
posting tentang sebuah beasiswa singkat ke Amerika Serikat. Masih ingat? Tiket
pesawat gue dari Jakarta ke U.S. jatuh pada tanggal 20 Maret 2020. Kalau hari
ini tanggal 15, berarti kurang dari satu minggu lagi gue berangkat.
Perjalanan
ini sangat gue nanti-nantikan. Gimana nggak dinanti-nanti. Tulisan “Travel
Destination: Boston” di kamar gue udah 3x diganti tahunnya sejak tahun 2017.
Pastinya perjalanan kali ini akan mindblowing
banget buat gue karena bakalan ketemu banyak orang inspiratif lainnya dari negara-negara
di Asia Tenggara, belajar dari local startup di U.S., nyobain jadi volunteer di
negara orang, dll.
Nah, cerita itu dimulai dari sini. Di
akhir Februari, ada orang yang suspect COVID-19
di beberapa states yang akan kami
kunjungi di U.S. Beberapa di antaranya adalah Arizona dan Rhode Island—gue concern ini doang. Rhode Island itu tempatnya
patung Liberty bernaung, deket sama Connecticut which the state I will stay in for my short course program.
Di
grup udah mulai heboh tuh kami membahas soal ini. Lalu suatu hari email dari
temen gue dibales sama host univ
tempat dia bakal berada. Di email itu mereka bilang kalau lagi mempertimbangkan
ganti tempat transit ke tempat yang lebih aman. FYI, penerbangan Indonesia ke
U.S. itu mostly transit di Jepang
yang saat itu jumlah kasusnya lagi naik-naiknya. Apalagi bandara dimana-mana
kan emang tempat yang rentan buat pertukaran apapun termasuk virus.
Pada
tanggal 4 pagi—bener-bener baru bangun tidur, gue mendapati notifikasi email
masuk ke ponsel. Isinya gini:
Temen
gue yang akan belajar di kampus lainnya malah mendapatkan email dengan kalimat
yang sedikit berbeda. Intinya mereka akan menunda keberangkatan kami di Fall
2020 atau mungkin—bisa jadi—di Spring 2021. Sedangkan semua persiapan udah 95%. Tinggal kemas-kemas isi koper dan bawa badan ke bandara.
Anyway, karena sempat merasa semua prosesnya lancar banget gue curiga. Jangan-jangan bakal ada apa-apa. Bahkan gue sempat nulis begini di postingan yang sebelumnya, "Kalau ada apa-apa yang di luar kuasa manusia ke depan, ya sudah kita nikmati." Ternyata wabah ini 'apa-apanya'.
Anyway, karena sempat merasa semua prosesnya lancar banget gue curiga. Jangan-jangan bakal ada apa-apa. Bahkan gue sempat nulis begini di postingan yang sebelumnya, "Kalau ada apa-apa yang di luar kuasa manusia ke depan, ya sudah kita nikmati." Ternyata wabah ini 'apa-apanya'.
Kalau gue pikir-pikir ini adalah langkah yang tepat, walaupun gue sempet bingung juga
ngerombak rencana hidup dan jadwal-jadwal lainnya yang udah gue atur
sebelumnya. Kan ditundanya nggak cuma sebulan, tapi 6 bulan atau bisa jadi setahun! Awalnya gue rada ngerasa kecewa sih, sedikit. Tetapi makin hari
pemahaman gue soal ini jadi lebih terbuka: gue
nggak mau jadi carrier imported case di
Indonesia, seperti kebanyakan kasus COVID-19 yang ditemukan disini.
BISA SEMBUH SENDIRI
Banyak
pendapat yang mengatakan bahwa seseorang yang terjangkit COVID-19 bisa sembuh sendiri,
tergantung dari sistem kekebalan tubuh orang tersebut. Gue pribadi sih percaya
bahwa virus apapun bisa sembuh oleh imun yang kuat. Namun bukan berarti kita
bisa santai-santai aja menghadapi wabah ini, tapi nggak perlu panik berlebihan
juga. Tetap waspada dan menjaga diri, itu yang perlu.
Gue
sempat sakit tenggorokan kan. Disitu pikiran gue mulai aneh-aneh.
“Apa
ini gejala ya?”
“Perlu
periksa nggak sih?”
Intinya
gue jadi parnoan. Mau salaman sama orang nanya dulu. Gue lebih banyak kerja
dari rumah dan nggak keluar kalau nggak hari Senin—ada meeting rutin. Paling jauh pergi ke Ruang Perintis doang. Gue juga
berusaha banget buat nyetir sendiri kalau pergi. Bawa tissue kemana-mana. Cuci
tangan setiap ada wastafel.
Gue
nggak takut kena virus, mungkin gue lebih takut ngelihat tagihan rumah sakitnya.
Lol. Gue nggak takut sakit, tapi gue lebih takut nularin virusnya ke
orang-orang terdekat gue—yang mungkin nasibnya tidak seberuntung gue, yang mungkin daya tahan tubuhnya jauh lebih buruk dari gue. Worst case-nya, kalau harus pergi dari
bumi, gue nggak papa. Gue ikhlas. Tapi jangan karena pandemi. Meninggalnya diplastikin.
Gue juga ingin meninggal dengan terhormat kali. Dan tentunya kalau ada pilihan mau sehat atau sakit, ya jelas gue memilih sehat dong.
BELAJARLAH KE NEGERI CHINA
Dari
dulu gue selalu setuju work from home.
Kalau sekarang ini beberapa sekolah sudah membuat kebijakan pembelajaran jarak
jauh gue juga setuju. Kenapa? Yuk, kita lihat sebagian kecil contoh skenarionya!
Gue
jelasin dulu darimana asumsi ini bermula. Virus ini pertama kali ditemukan di
Wuhan, China. Di kota ini pula, penyakit akibat virus korona baru mulai dikendalikan.
Sebanyak 60.000++ pasien berhasil disembuhkan. Pertanyaannya, bagaimana?
Di China
jumlah kasus baru stagnan jumlahnya dan semakin banyak pasien yang berhasil
disembuhkan. Walaupun di sejumlah negara termasuk di Indonesia mengalami
lonjakan kasus infeksi. Sampai tulisan ini dibuat (15/03), jumlah kasus di
China adalah 80.844 dengan jumlah kematian 3.199 dan total pasien sembuh
sebanyak 66.912.
Perkembangan
ini menunjukkan bahwa China yang menjadi awal penyebaran wabah mulai berhasil
mengatasi wabah ini. Laporan bersama WHO dan Pemerintah China yang
dipublikasikan pada 28 Februari 2020 sebenarnya telah mencatat tanda-tanda keberhasilan
China mengatasi ini. Pada 10 Februari 2020 saat tim gabungan dari WHO-China
memulai survei, masih ditemukan 2.478 kasus per hari di China. Dua pekan
kemudian, jumlahnya turun menjadi 409 kasus per hari. Lambat laun jumlah kasus
infeksi baru hanya 26 kasus. Epidemi di China itu mengalami puncaknya pada
bulan Januari 2020. Disebutkan dalam laporan tersebut,”Penurunan kasus COVID-19
di seluruh China sangat nyata.”
Kunci meredam wabah tersebut di China adalah upaya penahanan penyebaran virus secara besar-besaran melalui penapisan masif dan perawatan yang intensif. Salah satu upaya China adalah penguncian Kota Wuhan dan kota-kota yang dekat dengan Provinsi Hubei sejak 23 Januari 2020. Ada 50 juta orang di bawah karantina. Karantina ini secara efektif mencegah ekspor lebih lanjut orang yang terinfeksi ke seluruh negeri.
Kunci meredam wabah tersebut di China adalah upaya penahanan penyebaran virus secara besar-besaran melalui penapisan masif dan perawatan yang intensif. Salah satu upaya China adalah penguncian Kota Wuhan dan kota-kota yang dekat dengan Provinsi Hubei sejak 23 Januari 2020. Ada 50 juta orang di bawah karantina. Karantina ini secara efektif mencegah ekspor lebih lanjut orang yang terinfeksi ke seluruh negeri.
Negara
lainnya yang cukup sukses meredam wabah korona adalah Singapura. Dari total 202
kasus, ada 105 pasien sembuh dan tidak ditemukan kasus pasien yang meninggal (Worldometer, 2020).
Sama seperti China, Singapura juga melakukan penapisan masif dan transparan. Menurut
sumber yang gue baca, wabah ini kan merebak masif selama Tahun Baru Imlek
ketika banyak banget perjalanan terjadi. Setelah itu, Singapura—Taiwan dan juga
Hongkong—bergerak cepat untuk memberlakukan travel
restrictions perjalanan dari- dan ke- China, bukan travel ban ya
karena saat itu WHO bilang tidak perlu.
Jadi,
kerja dan belajar dari rumah juga seru kok. Asal lo punya internet, you can grab the world! Gue paham banyak
kerjaan dan aktivitas yang emang nggak bisa dilakukan dari rumah. Bapak gue
sendiri yang kerjanya jadi tentara mana bisa menghindari apel pagi? Pokoknya
tetep waspada aja. Jangan terlalu meremehkan, tapi juga jangan khawatir
berlebihan.
BAGAIMANA DENGAN INDONESIA?
Gue—yang
hanya warga negara biasa—khawatir bahwa jumlah kasus yang tidak teridentifikasi
jauh lebih banyak. Harus sesegera mungkin ditemukan kluster baru. Pemeriksaan
dilakukan tidak hanya kepada yang memiliki gejala klinis tetapi dilakukan di
kluster yang berisiko besar sekalipun banyak yang negatif. Dan yang menurut gue
perlu diperhatikan adalah jangan membiarkan mereka yang sakit ke rumah sakit
sendiri. Kasus Wuhan juga perlu dijadikan pelajaran ketika seseorang tertular
gara-gara ke rumah sakit.
Sebagai
warga negara yang bertanggung jawab kita juga jangan hanya menuntut ini, itu, dll,
tetapi mulai fokus juga sama apa yang bisa kita perbuat. Ayo kita naik kelas
jadi warga negara pintar nan bertanggung jawab. Mulai jaga kesehatan, mulai
olahraga, mulai jaga kebersihan, mulai beretika ketika batuk dan bersin, mulai
cuci tangan pakai sabun, mulai bertanggung jawab sama diri sendiri.
Kalau kalian merasa lockdown itu perlu tetapi pemerintah belum mengeluarkan keputusan itu dan kalian sebegitu khawatirnya, coba dimulai dari diri sendiri. Nggak perlu keluar kalau untuk hal yang nggak perlu, kurangi acara kumpul-kumpul yang kira-kira bisa diganti via telepon, jaga jarak sama orang lain terutama yang lagi sakit, jangan pegang-pegang wajah kalau belum cuci tangan, istirahat yang cukup dan kurangi kontak fisik juga—ini saran dari temen gue yang dokter.
Kalau kalian merasa lockdown itu perlu tetapi pemerintah belum mengeluarkan keputusan itu dan kalian sebegitu khawatirnya, coba dimulai dari diri sendiri. Nggak perlu keluar kalau untuk hal yang nggak perlu, kurangi acara kumpul-kumpul yang kira-kira bisa diganti via telepon, jaga jarak sama orang lain terutama yang lagi sakit, jangan pegang-pegang wajah kalau belum cuci tangan, istirahat yang cukup dan kurangi kontak fisik juga—ini saran dari temen gue yang dokter.
Gue
akuin respon pemerintah kita beda sama pemerintah negara-negara yang gue sebutin tadi. Sarana prasarana juga gue yakin banget beda. Tapi gue sangat paham kalau kerja jadi pemimpin itu susah. Harus mikirin segala
aspek biar semuanya sama-sama senang—walaupun nggak mungkin. Menimbang strategi mana yang paling kecil risikonya buat menyelamatkan banyak manusia—walaupun ada yang harus dikorbankan.. Jadi ya siapa lagi
yang menyelamatkan diri sendiri kalau bukan diri sendiri? Siapa lagi yang bisa
dipercaya selain diri sendiri? Setiap dari kita punya peranan buat menangkal virus ini, jadi ayo kita kerjasama gengs!
Daaan ngerasa nggak sih kalo efek dari 'sentilan' ini tuh kita jadi lebih sadar akan kebersihan, makanan sehat, dan pola hidup sehat. Atau cuman gue aja? XD
Kalau
ada yang punya pendapat lain, silahkan diskusi di kolom komentar. I wanna hear your opinion and your actions
to prevent yourself from this virus!
____
Sumber artikel:
China Aggresive Measures Have Slowed Coronavirus They May Not Work Other Countries
What We Can Learn from Singapore, Taiwan, Hongkong About Handling Coronavirus
Worldometer
____
Sumber artikel:
China Aggresive Measures Have Slowed Coronavirus They May Not Work Other Countries
What We Can Learn from Singapore, Taiwan, Hongkong About Handling Coronavirus
Worldometer
No comments:
Post a Comment