Gara-Gara Korona - Lagi Monolog

Sunday, March 15, 2020

Gara-Gara Korona

“Lebay! Asal daya tahan tubuh lo kuat, korona bisa sembuh sendiri.”

Oh, oke.
Tapi bentar,
Ngobrol dulu yuk!


Source: unsplash.com

Di tulisan ini gue lagi-lagi pengen ngajak kalian ngobrol sebagai temen yang lagi curhat. Jadi ijinin gue cerita dulu ya, baru setelah itu kita diskusi.

Buat kalian yang mengikuti cerita gue diam-diam, beberapa bulan lalu gue kerap posting tentang sebuah beasiswa singkat ke Amerika Serikat. Masih ingat? Tiket pesawat gue dari Jakarta ke U.S. jatuh pada tanggal 20 Maret 2020. Kalau hari ini tanggal 15, berarti kurang dari satu minggu lagi gue berangkat.




Perjalanan ini sangat gue nanti-nantikan. Gimana nggak dinanti-nanti. Tulisan “Travel Destination: Boston” di kamar gue udah 3x diganti tahunnya sejak tahun 2017. Pastinya perjalanan kali ini akan mindblowing banget buat gue karena bakalan ketemu banyak orang inspiratif lainnya dari negara-negara di Asia Tenggara, belajar dari local startup di U.S., nyobain jadi volunteer di negara orang, dll.



Nah, cerita itu dimulai dari sini. Di akhir Februari, ada orang yang suspect COVID-19 di beberapa states yang akan kami kunjungi di U.S. Beberapa di antaranya adalah Arizona dan Rhode Island—gue concern ini doang. Rhode Island itu tempatnya patung Liberty bernaung, deket sama Connecticut which the state I will stay in for my short course program.

Di grup udah mulai heboh tuh kami membahas soal ini. Lalu suatu hari email dari temen gue dibales sama host univ tempat dia bakal berada. Di email itu mereka bilang kalau lagi mempertimbangkan ganti tempat transit ke tempat yang lebih aman. FYI, penerbangan Indonesia ke U.S. itu mostly transit di Jepang yang saat itu jumlah kasusnya lagi naik-naiknya. Apalagi bandara dimana-mana kan emang tempat yang rentan buat pertukaran apapun termasuk virus.

Pada tanggal 4 pagi—bener-bener baru bangun tidur, gue mendapati notifikasi email masuk ke ponsel. Isinya gini:

Isi Email


Temen gue yang akan belajar di kampus lainnya malah mendapatkan email dengan kalimat yang sedikit berbeda. Intinya mereka akan menunda keberangkatan kami di Fall 2020 atau mungkin—bisa jadi—di Spring 2021. Sedangkan semua persiapan udah 95%. Tinggal kemas-kemas isi koper dan bawa badan ke bandara.

Anyway, karena sempat merasa semua prosesnya lancar banget gue curiga. Jangan-jangan bakal ada apa-apa. Bahkan gue sempat nulis begini di postingan yang sebelumnya, "Kalau ada apa-apa yang di luar kuasa manusia ke depan, ya sudah kita nikmati." Ternyata wabah ini 'apa-apanya'.

Kalau gue pikir-pikir ini adalah langkah yang tepat, walaupun gue sempet bingung juga ngerombak rencana hidup dan jadwal-jadwal lainnya yang udah gue atur sebelumnya. Kan ditundanya nggak cuma sebulan, tapi 6 bulan atau bisa jadi setahun! Awalnya gue rada ngerasa kecewa sih, sedikit. Tetapi makin hari pemahaman gue soal ini jadi lebih terbuka: gue nggak mau jadi carrier imported case di Indonesia, seperti kebanyakan kasus COVID-19 yang ditemukan disini.



BISA SEMBUH SENDIRI


Banyak pendapat yang mengatakan bahwa seseorang yang terjangkit COVID-19 bisa sembuh sendiri, tergantung dari sistem kekebalan tubuh orang tersebut. Gue pribadi sih percaya bahwa virus apapun bisa sembuh oleh imun yang kuat. Namun bukan berarti kita bisa santai-santai aja menghadapi wabah ini, tapi nggak perlu panik berlebihan juga. Tetap waspada dan menjaga diri, itu yang perlu.

Gue sempat sakit tenggorokan kan. Disitu pikiran gue mulai aneh-aneh.

“Apa ini gejala ya?”
“Perlu periksa nggak sih?”

Intinya gue jadi parnoan. Mau salaman sama orang nanya dulu. Gue lebih banyak kerja dari rumah dan nggak keluar kalau nggak hari Senin—ada meeting rutin. Paling jauh pergi ke Ruang Perintis doang. Gue juga berusaha banget buat nyetir sendiri kalau pergi. Bawa tissue kemana-mana. Cuci tangan setiap ada wastafel.


Gue nggak takut kena virus, mungkin gue lebih takut ngelihat tagihan rumah sakitnya. Lol. Gue nggak takut sakit, tapi gue lebih takut nularin virusnya ke orang-orang terdekat gue—yang mungkin nasibnya tidak seberuntung gue, yang mungkin daya tahan tubuhnya jauh lebih buruk dari gue. Worst case-nya, kalau harus pergi dari bumi, gue nggak papa. Gue ikhlas. Tapi jangan karena pandemi. Meninggalnya diplastikin. Gue juga ingin meninggal dengan terhormat kali. Dan tentunya kalau ada pilihan mau sehat atau sakit, ya jelas gue memilih sehat dong.



BELAJARLAH KE NEGERI CHINA


Dari dulu gue selalu setuju work from home. Kalau sekarang ini beberapa sekolah sudah membuat kebijakan pembelajaran jarak jauh gue juga setuju. Kenapa? Yuk, kita lihat sebagian kecil contoh skenarionya!

Gue jelasin dulu darimana asumsi ini bermula. Virus ini pertama kali ditemukan di Wuhan, China. Di kota ini pula, penyakit akibat virus korona baru mulai dikendalikan. Sebanyak 60.000++ pasien berhasil disembuhkan. Pertanyaannya, bagaimana?

Di China jumlah kasus baru stagnan jumlahnya dan semakin banyak pasien yang berhasil disembuhkan. Walaupun di sejumlah negara termasuk di Indonesia mengalami lonjakan kasus infeksi. Sampai tulisan ini dibuat (15/03), jumlah kasus di China adalah 80.844 dengan jumlah kematian 3.199 dan total pasien sembuh sebanyak 66.912.

Perkembangan ini menunjukkan bahwa China yang menjadi awal penyebaran wabah mulai berhasil mengatasi wabah ini. Laporan bersama WHO dan Pemerintah China yang dipublikasikan pada 28 Februari 2020 sebenarnya telah mencatat tanda-tanda keberhasilan China mengatasi ini. Pada 10 Februari 2020 saat tim gabungan dari WHO-China memulai survei, masih ditemukan 2.478 kasus per hari di China. Dua pekan kemudian, jumlahnya turun menjadi 409 kasus per hari. Lambat laun jumlah kasus infeksi baru hanya 26 kasus. Epidemi di China itu mengalami puncaknya pada bulan Januari 2020. Disebutkan dalam laporan tersebut,”Penurunan kasus COVID-19 di seluruh China sangat nyata.”


Kunci meredam wabah tersebut di China adalah upaya penahanan penyebaran virus secara besar-besaran melalui penapisan masif dan perawatan yang intensif. Salah satu upaya China adalah penguncian Kota Wuhan dan kota-kota yang dekat dengan Provinsi Hubei sejak 23 Januari 2020. Ada 50 juta orang di bawah karantina. Karantina ini secara efektif mencegah ekspor lebih lanjut orang yang terinfeksi ke seluruh negeri.

Negara lainnya yang cukup sukses meredam wabah korona adalah Singapura. Dari total 202 kasus, ada 105 pasien sembuh dan tidak ditemukan kasus pasien yang meninggal (Worldometer, 2020). Sama seperti China, Singapura juga melakukan penapisan masif dan transparan. Menurut sumber yang gue baca, wabah ini kan merebak masif selama Tahun Baru Imlek ketika banyak banget perjalanan terjadi. Setelah itu, Singapura—Taiwan dan juga Hongkong—bergerak cepat untuk memberlakukan travel restrictions perjalanan dari- dan ke- China, bukan travel ban ya karena saat itu WHO bilang tidak perlu.

Jadi, kerja dan belajar dari rumah juga seru kok. Asal lo punya internet, you can grab the world! Gue paham banyak kerjaan dan aktivitas yang emang nggak bisa dilakukan dari rumah. Bapak gue sendiri yang kerjanya jadi tentara mana bisa menghindari apel pagi? Pokoknya tetep waspada aja. Jangan terlalu meremehkan, tapi juga jangan khawatir berlebihan.



BAGAIMANA DENGAN INDONESIA?

Gue—yang hanya warga negara biasa—khawatir bahwa jumlah kasus yang tidak teridentifikasi jauh lebih banyak. Harus sesegera mungkin ditemukan kluster baru. Pemeriksaan dilakukan tidak hanya kepada yang memiliki gejala klinis tetapi dilakukan di kluster yang berisiko besar sekalipun banyak yang negatif. Dan yang menurut gue perlu diperhatikan adalah jangan membiarkan mereka yang sakit ke rumah sakit sendiri. Kasus Wuhan juga perlu dijadikan pelajaran ketika seseorang tertular gara-gara ke rumah sakit.

Sebagai warga negara yang bertanggung jawab kita juga jangan hanya menuntut ini, itu, dll, tetapi mulai fokus juga sama apa yang bisa kita perbuat. Ayo kita naik kelas jadi warga negara pintar nan bertanggung jawab. Mulai jaga kesehatan, mulai olahraga, mulai jaga kebersihan, mulai beretika ketika batuk dan bersin, mulai cuci tangan pakai sabun, mulai bertanggung jawab sama diri sendiri.


Kalau kalian merasa lockdown itu perlu tetapi pemerintah belum mengeluarkan keputusan itu dan kalian sebegitu khawatirnya, coba dimulai dari diri sendiri. Nggak  perlu keluar kalau untuk hal yang nggak perlu, kurangi acara kumpul-kumpul yang kira-kira bisa diganti via telepon, jaga jarak sama orang lain terutama yang lagi sakit, jangan pegang-pegang wajah kalau belum cuci tangan, istirahat yang cukup dan  kurangi kontak fisik juga—ini saran dari temen gue yang dokter.

Gue akuin respon pemerintah kita beda sama pemerintah negara-negara yang gue sebutin tadi. Sarana prasarana juga gue yakin banget beda. Tapi gue sangat paham kalau kerja jadi pemimpin itu susah. Harus mikirin segala aspek biar semuanya sama-sama senang—walaupun nggak mungkin. Menimbang strategi mana yang paling kecil risikonya buat menyelamatkan banyak manusia—walaupun ada yang harus dikorbankan.. Jadi ya siapa lagi yang menyelamatkan diri sendiri kalau bukan diri sendiri? Siapa lagi yang bisa dipercaya selain diri sendiri? Setiap dari kita punya peranan buat menangkal virus ini, jadi ayo kita kerjasama gengs!

Daaan ngerasa nggak sih kalo efek dari 'sentilan' ini tuh kita jadi lebih sadar akan kebersihan, makanan sehat, dan pola hidup sehat. Atau cuman gue aja? XD

Kalau ada yang punya pendapat lain, silahkan diskusi di kolom komentar. I wanna hear your opinion and your actions to prevent yourself from this virus!




____

Sumber artikel:
China Aggresive Measures Have Slowed Coronavirus They May Not Work Other Countries  
What We Can Learn from Singapore, Taiwan, Hongkong About Handling Coronavirus 
Worldometer

 

No comments:

Post a Comment