Butiran putih saling berkejaran, terserak pada permukaan jalan yang kusam. Benda putih itu menyelimuti tiap permukaan yang bersentuhan dengannya. Kian lama kian menumpuk, menambah dingin suhu yang telah berada di bawah nol derajat celcius.
Pasang demi pasang kaki menapak agak tergesa. Tak ada yang ingin berlama-lama diselimuti oleh angin dingin yang berhembus kejam. Pertokoan di sisi jalan yang menjanjikan tempat hangat dan tenang seperti cafe dan sejenisnya cukup ramai oleh pengunjung yang memilih untuk rehat sejenak sebelum kembali pada perjalanan yang ditunda. Seorang pemuda berlari kecil di tepi jalan.
Kedua tangannya terselip hangat di dalam saku mantel. Sesuatu yang ia lihat melalui ekor matanya membuat ia berhenti. Kakinya yang jenjang melangkah mundur, lalu melompat kecil untuk mempertahankan kehangatan tubuh yang terbalut rapat oleh mantel dan syal yang melilit di leher putihnya.
Kaca display sebuah café dihiasi oleh
ornamen bernuansa pink. Bagian dalam café pun tak kalah meriah.
Bentuk-bentuk hati membanjiri interior tempat nongkrong tersebut.
“Ah, valentine,” ujar pria itu pelan
sembari menjelajahi setiap sudut bagian dalam café menggunakan matanya yang
bulat.
Senyum tipis terukir. Ararya Arasatya—pemuda
itu—melakukan perjalanan singkat ke masa lalu. Sebuah meja yang kini diisi oleh
pasangan lain, dulu pernah ia duduki bersama wanita yang dicintainya. Mantan
kekasih yang tak kunjung menghilang dalam ingatan. Bahkan jejaknya masih
berbekas jelas di dalam hati yang kini terlantar.
Cinta jelas terpancar dari setiap sorot mata
yang beradu, sementara Arya hanya berbalas pandang dengan kedua bola matanya
yang terpantul dari kaca display. Tawa renyah menengahi kontes mata yang
dilakukan pria itu. Ia mengedikkan bahunya, dinginnya cuaca semakin menjadi.
Sejenak ia menunduk, memandangi ujung sepatu yang mulai usang. Sejenak lalu
berubah menjadi beberapa puluh menit kala pikirannya melayang-layang tak tentu
arah.
Orang yang lalu-lalang memandang bingung.
Mereka berbisik pelan sambil menolehkan kepala ke belakang untuk melihat pria
kesepian yang berkeliaran seorang diri di hari kasih sayang, terpekur pada batu
jalanan. Arya menghembuskan napas panjang, membiarkan kepulan asap tipis
mengalir dari bibirnya yang terbuka.
Pria itu mendongak, mengamati ribuan butir
salju yang terus berjatuhan, bak bintang di langit malam yang turun untuk
menyentuh manusia. Ujung sepatunya menendang pelan jalan yang dipijakinya
sebelum ia kembali berlari kecil, mengarah pada tempat yang ia tuju sebelumnya.
***
Bunyi merdu mengalun singkat, menandakan
pintu apartemen bernomor 302 terbuka. Arya muncul dari balik pintu, melompat
kecil dan masuk ke dalam apartemennya sambil meringis pelan. Dinginnya salju
masih terasa disetiap pori-pori kulit Arya yang tidak terbalut hangat.
Sedikit membungkuk, telapak tangan Arya
bertumpu pada dinding kokoh untuk menopangnya sementara tangan yang lain
bergerak lincah untuk melepaskan sneaker yang ia pakai. Sedetik, ia
kebingungan. Sepasang wedges tersusun rapi. Siapa gerangan pemiliknya
yang dengan lancang menerobos masuk tanpa segan?
“Kakak!” Belum sempat Arya memutar otaknya
lebih jauh, sebuah suara tinggi yang nyaring mendekat.
“Kakak, Kakak!” Kali ini panggilan itu
semakin nyaring dan terkesan tergesa.
Arya melepaskan sisa sneaker yang
masih melekat di kakinya. Helaan napas jengkel dibarengi gelengan pelan menjadi
satu-satunya respon yang mampu ia berikan. Masih dengan perasaan yang tidak
terlalu senang, Arya memutar tubuh ke dalam ruangan. Tangannya berpangku di
depan dada, mencoba untuk memperlihatkan keangkuhannya.
Pria bernama depan Ararya itu menaikkan satu
alis, menyuarakan pertanyaan melalui body language.
“Kemarilah, Kakak, kemari,” tutur wanita yang
lebih muda itu dengan ketergesaan yang masih kentara. Tangannya terjulur,
menarik salah satu lengan Arya yang terlipat dan menariknya ke dalam.
“Nararya Kinar,” geram Arya kesal. Kendati
begitu, toh Arya tidak menolak. Ia biarkan sang adik menyeretnya masuk
ke dalam wilayah di mana privasinya tak layak dijamah orang lain.
“Ada apa?” tanya Arya tidak sabaran sesampainya
mereka di kamar.
Kinar menghempaskan diri di tepi tempat
tidur. Ia duduk santai, tatapan matanya mengarah pada sebuah kotak yang
tergeletak manis di atas meja komputer.
Arya mengikuti arah pandangan Kinar. Mulutnya
terkatup erat, rahangnya mengeras kala kehadiran kotak itu kembali
mengingatkannya akan sosok si mantan kekasih. Konyol. Bagaimana bisa sebuah
kotak sukses menggambarkan lekuk wajah wanita secantik malaikat di dalam
cuplikan ingatannya yang tersobek?
“Kau tidak punya kencan malam ini?” tanya
Arya berusaha mengalihkan pokok pembahasan. Punggung tangannya mendorong kotak
tersebut, menyisakan ruang yang cukup baginya untuk meletakkan syal rajut yang
baru saja ia lepaskan.
“Ada apa?” Kinar mengabaikan pertanyaan Arya,
sadar benar jika pria itu sedang menghindar. Ia kembalikan pertanyaan yang tadi
diberikan oleh Arya, karena menurutnya pertanyaan itu lebih cocok jika
dilontarkan pada pria bermata bulat yang menatap kosong entah ke mana.
“Itu, di dalam sana, barang-barang milik Kak
Jeena, bukan? Mengapa barang-barang itu dikotakkan?”
Arya menarik napas berat hingga hembusan
napasnya agak bergetar karena tekanan yang kuat. Jari-jari tangan Arya menyisir
rambut bergelombangnya untuk mengusir resah yang mengetuk perasaan bersalahnya.
Kinar berdiri. Ia berjalan ke arah Arya, ke
tempat kotak itu berdiam karena tak memiliki tujuan lain untuk bernaung. Bola
mata Kinar bergerak cepat, menilik sekilas pria jangkung yang terlihat bagai
patung dalam diamnya yang mencekam. Kinar bergeser satu langkah, jemarinya
beristirahat pada sandaran kursi. Kembali, bola matanya bergerak untuk menilik
Arya yang memerankan patung dengan sempurna.
“Ini—” Kinar membuka penutup kotak. Tangannya
mengambil sebuah gantungan ponsel berwarna hijau. “—gantungan ponsel kesayangan
Kak Jeena, kan?”
Ada keinginan besar dalam diri Arya untuk
menoleh. Ingin sekali ia mencetak lekat dalam ingatannya tentang kartun kodok
yang biasanya menjuntai di ujung ponsel touchscreen milik Majeena Bunga.
Meski begitu, tak perlu baginya untuk melihat secara nyata. Buktinya kini ia
mampu mengingat bagaimana Jeena menyentil kodok tersebut dengan sekuat tenaga
saat kesal padanya.
“Lalu ini—”
“Hentikan!” sentak Arya dengan luapan emosi
yang membara sebelum Kinar mampu menyelesaikan rajutan kata. Tangan Arya
terangkat tinggi, memukul punggung tangan Kinar tanpa memedulikan seberapa
besar kekuatan yang ia gunakan. Buku harian yang diangkat Kinar terjatuh dengan
debam pelan yang menjadi suara pokok saat kesunyian mendera.
Buku harian milik Jeena kini terbuka,
menampakkan halaman terakhir yang berisi coret-coretan khas milik sang wanita.
Baik Kinar mau pun Arya sama-sama melirik pada buku yang terbaring tak berdaya
di antara mereka, namun tak satu pun yang berinisiatif untuk memungutnya
kembali.
“Kaa—”
“Kubilang hentikan!” sentak Arya lagi.
“Bagian mana dari kata hentikan yang tidak kau mengerti?”
Kinar menelan air liurnya, agaknya merasa
takut dengan sosok baru Arya yang belum pernah ia hadapi sebelumnya. Namun,
jangan sebut ia Ararya jika ia gentar. Dengan dagu terangkat tinggi dan dada
yang dibusungkan, Kinar melemparkan tatapan setajam mungkin pada sang kakak.
“Mengapa? Kini Kakak merasa bersalah? Baru
sekarang ini Kakak menyesali tindakan bodoh itu?”
“Nararya Kinar,” geram Arya di sela-sela deretan
giginya yang menempel rapat. “Kubilang hentikan!”
BRAAK!
Teriak Arya bersamaan dengan debam keras saat
ia mendorong kotak yang semula berada di atas meja kini terdampar di atas
keramik kamarnya, berserakan di sekitar buku harian yang masih terbuka. Kinar
bergerak mundur beberapa langkah. Wajahnya memucat. Blush-on yang ia
kenakan terlihat begitu kontras dengan pipinya yang tak lagi berwarna.
Beberapa lembar foto tercecer, saling
menindih satu sama lain. Hanya beberapa lembar foto yang terlihat utuh, selebihnya
tertutup oleh tumpukan foto di atasnya. Beberapa lembar yang terlihat semuanya
menampilkan wajah Arya dan Jeena, terlihat begitu bahagia dengan senyuman yang
terukir indah di wajah masing-masing.
Selain lembaran foto, ada juga sebuah boneka
beruang kecil yang tengah memeluk setangkai bunga mawar. Oh, tentu Kinar
mengingat asal-usul boneka tersebut dengan jelas. Ia ingat bagaimana Arya
merayunya untuk membantu mencari hadiah valentine untuk sang kekasih
kala itu. Kejadiannya belum berlangsung terlalu lama. Tepat setahun yang lalu.
Kinar menekuk lututnya, ia berjongkok
mengamati boneka yang terlihat tak berbeda ketika pertama kali ia memilihnya.
Lihatlah, Jeena menjaga boneka ini dengan hati-hati, seolah sedang menjaga hati
yang dititipkan oleh Arya. Lantas mengapa pria itu tak kunjung mengerti? Ia
terlalu bodoh, mungkin. Bodoh karena tidak bisa menghargai apa yang berada di
dalam genggamannya.
“Pergilah,” tutur kata Arya melunak. “Jangan
coba-coba untuk menyulut emosiku lebih dari ini.”
Kedua manik mata Arya bergerak-gerak lambat.
Indera penglihatannya berusaha untuk merekam setiap pergerakan yang terjadi. Ia
menunggu Kinar melaksanakan permintaan yang serupa dengan perintah. Tak kunjung
mendapatkan apa yang ia inginkan, pria itu pun menyambar syal yang tadi ia
lepaskan tak sampai lima menit lalu saat Kinar masih bergeming. Jika wanita itu
enggan untuk pergi, maka Arya yang akan melakukan hal tersebut. Apa pun agar ia
bisa berpikir dengan lebih jernih.
Kaki Arya menghentak cukup kuat, menghilang
di balik pintu dengan debam keras ketika pintu dibanting. Debam kedua berbunyi
saat pintu utama ditutup. Butuh beberapa detik bagi Kinar untuk mampu bergerak.
Dilemparkannya boneka beruang yang ada di tangannya, sekali lagi terbanting di
atas kerasnya keramik. Sambil memutar bola matanya, ia keluar dari kamar.
Setelah meraih mantel yang diletakkan pada sandaran sofa, wanita itu pun
mengejar jejak Arya.
***
Kelabu yang menggantung di langit semakin
pekat. Butiran salju tak kunjung kehabisan amunisi. Arya melangkah lebar-lebar,
seolah dikejar oleh sang waktu. Suara teriakan samar yang dicampur oleh deru
kendaraan serta hiruk-pikuk tak ia gubris, berpura-pura tuli sejenak.
“Akh,” ringis Kinar saat keningnya menabrak
punggung Arya yang berhenti tanpa peringatan. Kinar mengusap kening yang perih,
kepalanya didongakkan untuk melihat apa yang Arya lakukan.
Kepala Arya menoleh ke samping, menatap ke
dalam café melalui kaca display yang sama yang menghentikkan langkahnya
tak lama tadi. Wajahnya tidak berekspresi, sulit bagi Kinar yang mengikuti
pandangan Arya untuk menebak apa yang dipikirkan pria itu.
“Kak Jeena?” tanya Kinar hati-hati.
Arya bergerak sedikit, kepalanya berputar
beberapa derajat diikuti oleh lirikan melalui ekor matanya pada Kinar saat
melontarkan pertanyaan yang menggantung.
Kinar tersenyum kecil. Ia melangkah maju,
berdiri berhadapan dengan Arya. Kedua tangannya terpaut manis di balik punggung
sementara tubuh bagian atasnya sedikit condong ke depan untuk melihat lebih
jelas gurat wajah Arya yang mulai sedikit terusik dengan nama yang baru saja ia
sebutkan.
“Benar ‘kan, Kak Jeena?” tanya Kinar lagi.
Helaian rambut sebahu Kinar yang tergelung cantik bergerak pelan saat ia
memutar cepat kepalanya untuk melihat ke arah kaca display yang
memberikan sedikit pantulan akan sosoknya yang terlihat memesona. “Tempat
kenangan Kakak dan Kak Jeena?”
Arya mengabaikan pertanyaan Kinar yang lebih
terdengar bagai pernyataan karena kepercayaan diri yang melambung tinggi. Ia
berjalan melewati Kinar, mendorong pintu café hingga terbuka. Suara gemerincing
kembali terdengar di telinga Arya saat Kinar ikut membuka pintu café dan
bersikeras tetap mengekorinya.
Sama seperti yang Arya lihat sebelumnya,
hampir seisi café diramaikan oleh pasangan kekasih yang dipenuhi cinta. Hanya
tersisa beberapa meja kosong, yang tentu saja langsung menjadi sasaran Arya.
Belum lagi ia duduk, Kinar telah mendahuluinya.
Dengusan pelan terdengar. Arya menarik kursi
lalu duduk dengan enggan, mulai menimbang-nimbang haruskah ia pergi ke suatu
tempat yang tak mungkin bagi Kinar untuk merecokinya sepanjang waktu?
Seorang penyanyi café duduk di atas mini
panggung dengan sebuah gitar di pangkuannya. Senar gitar dipetik, mengalunkan
irama yang indah. Kepala sang penyanyi bergerak pelan, mengikuti untaian nada
yang ia ciptakan. Setelah beberapa detik intro, suara emas sang penyanyi
pun menarik perhatian banyak pengunjung yang rela menghentikan perbincangan
mereka sejenak.
Seorang pria berseragam pelayan menghampiri,
menyodorkan menu pada kedua orang yang terakhir memasuki café. Kinar melirik ke
arah Arya sekilas, menyadari pria itu hanya sibuk memandangi sang penyanyi.
Kagum? Entahlah, Kinar tak terlalu yakin. Setidaknya kegemaran Arya pada
not-not balok tak seberapa dibanding kecintaannya pada susunan angka yang justru
membuat kepala Kinar nyaris meledak.
Kinar tersenyum sopan, menyodorkan kembali
menu yang diberikan. Ia putuskan mereka hanya akan
menyesap—masing-masing—secangkir coklat panas sambil berbincang. Itu pun jika
lawan bicaranya ingin berbagi kisah, pikir Kinar.
Terpesona cukup lama, para pengunjung café
mulai mampu mengalihkan perhatian mereka, baik dari wajah tampan sang penyanyi
mau pun suara indah yang membelai lembut telinga mereka. Arya terkecuali.
Sungguh, Kinar tak mengerti apa yang membuat Arya bergeming seperti itu. Semoga
saja bukan karena Arya berusaha mengabaikan Kinar. Lebih buruk lagi, Kinar
berharap hal itu bukan karena sang kakak telah mengubah haluan seksualitasnya.
Kinar bergidik ngeri, membayangkan imajinasi tadi dirasa sangat seram.
Arya melirik sekilas. “Membayangkan hal-hal
aneh lagi dengan otak sempitmu?”
Alih-alih menjawab pertanyaan Arya, Kinar
justru beralih memandang wajah di depan. Kedua tangannya terlipat manis di atas
meja petak berpelitur. Alisnya menyatu saat keningnya menciptakan
guratan-guratan halus.
“Ada hal yang tidak kumengerti. Jika kita
menyukai seseorang, bukankah kita ingin membuatnya bahagia? Bukankah kita tidak
ingin menyakitinya?”
Arya mematahkan pandangannya. Ia tak lagi
memandang lurus pada sang penyanyi yang masih melantunkan lirik dari judul lagu
yang sama. Mata bulatnya terkesan dingin, menusuk ke dalam mata Kinar.
“Lalu?” tanya Arya acuh tak acuh.
“Lalu….” Kalimatnya tergantung, Kinar sengaja
tak memberikan lanjutannya.
“Apa sebutan untuk orang yang masuk ke lubang
yang sama berkali-kali? Kurasa bodoh saja terlalu merendahkan, bukan?”
Arya menghela napas pelan. Wajahnya terlihat
letih.
“Brengsek, mungkin?”
“Angkuh!” Seru Kinar. “Yah, kurasa
angkuh lebih tepat daripada brengsek. Orang angkuh yang terjebak oleh
kesombongannya sendiri. Katanya pengalaman itu adalah guru yang terbaik.
Sayang, sepertinya kesombongan membuat Kakak tidak ingin berguru pada
pengalamanmu sendiri.”
Helaan napas Arya terdengar semakin berat,
tidak tahan lagi dengan sikap Kinar yang sok mengintimidasi.
“Apa yang sebenarnya kau inginkan, Nona
Tukang Ikut Campur?”
Mulut Arya terbuka, hendak mengeluarkan semua
kekesalan yang sebenarnya tak ingin ia luapkan. Pelayan yang sama dengan yang
tadi membawakan menu sekali lagi datang menghampiri meja mereka. Dua cangkir
berisi coklat panas di atas nampan berpindah ke atas meja. Kepulan asap dari
dalam cangkir membumbung rendah.
Bola mata Arya bergerak ke sudut, memastikan
pelayan tadi telah berada cukup jauh dari meja mereka untuk mendengarkan perdebatan
dua kakak-adik.
“Dengar, Nararya Kinar.” Ada penekanan yang
kental saat nama Kinar disebutkan, nyaris seperti mengeja abjad demi abjad pada
anak kecil yang baru belajar membaca.
“Ini urusanku, masalahku. Jadi menyingkirlah
sejauh yang kau mampu. Aku tidak akan bertanggung jawab andai saja kutumpahkan
semua emosiku padamu.”
Suara gemerincing kembali terdengar. Kinar
yang posisi duduknya menghadap ke pintu café dengan leluasa menyempatkan diri
untuk merekam sejenak si pendatang baru. Fokus matanya kembali diarahkan ke
Arya. Hanya sedetik, lalu fokus itu kembali berpindah. Ia mengerjapkan matanya
dengan perlahan, setengah tidak yakin dengan apa—siapa—yang dilihatnya baru
saja masuk.
Seorang wanita dan laki-laki berjalan santai,
bergandengan tangan menuju counter untuk memesan. Sang laki-laki memakai
mantel panjang yang mengatung di lutut serta topi kupluk yang menutup rambut
keriting coklatnya. Wanitanya menengadah sesekali ketika menanggapi laki-laki
itu. Mereka tidak terlalu memedulikan suasana di sekitar mereka yang cukup
bising. Sesekali mereka tersenyum bersamaan. Mulut mereka membuka dan menutup,
menyahutkan percakapan yang teredam bagi telinga orang lain.
Kinar menegakkan tubuhnya, merasa tegang
seketika. Memang benar jika ia adalah seorang remaja yang pantang menyerah,
namun jelas ia bukan aktris yang pandai. Tidak semua orang pandai dalam
berbagai bidang, bukan?
Kinar mulai bergerak gelisah di tempat duduk.
Matanya beberapa kali melirik ke arah counter sebelum kembali pada dua
manik mata yang menatapnya heran.
“Mengapa kau membisu?” tanya Arya
kebingungan. Kepala Arya berputar ke samping, cukup baginya untuk mendapatkan
sudut yang jelas ke tempat Kinar melirik. Mulutnya terkatup rapat, menelan
mentah-mentah ejekan yang hendak ia lontarkan kembali pada Kinar.
Orang yang diperhatikan belum juga menyadari.
Masih sibuk dengan obrolan mereka sendiri, akhirnya sang wanita menoleh ke
belakang saat merasa dipandangi oleh entah siapa. Senyuman yang menghiasi wajah
meronanya perlahan menghilang kehangatannya. Garis melengkung itu berubah
menjadi sejajar kala tatapan di seberang sana menekan tombol replay di
dalam memorinya.
Beberapa waktu berlalu. Tidak ada yang
bergerak dari posisi. Masing-masing saling mengamati, hendak menunggu siapa
yang akan runtuh lebih dahulu. Akhirnya sang wanita yang menghentikan kontak
mata mereka. Ia kembali melihat ke samping, ke arah pasangannya yang
mengucapkan sesuatu seraya menyodorkan cup berisi minuman hangat. Lagi,
senyuman di wajah wanita itu terbentuk.
“Dia mendapatkan yang lebih baik,” ujar Kinar
tak berani melirik pria di hadapannya.
“Sepertinya,” lanjut Kinar setelah jeda tak
lama.
“Kau pikir Jeena akan lebih bahagia bersama
pria itu?” Arya balik bertanya. Matanya masih enggan berpaling.
Kinar mengangkat pundak sebagai jawaban. Saat
menyadari jika sang kakak tidak memperhatikan gerak tubuhnya, barulah ia
bersuara.
“Tidak tahu. Tapi kurasa, sejauh pria itu
tidak berselingkuh—” Kinar menggeser letak bola matanya, melirik Arya hanya
dalam hitungan detik sebelum kembali mengamati sosok Jeena yang terlihat lebih
bahagia.
“—kurasa Kak Jeena akan sangat bahagia.”
Arya hanya mematung mendengar penuturan jujur
yang diberikan Kinar.
Kesalahan bodoh, rutuk Arya.
Yah, mungkin apa yang dikatakan Kinar
ada benarnya. Arya terlalu angkuh. Ia mengira setiap ucapan maaf akan ditimpali
oleh pengampunan. Ia tidak pernah belajar, sehingga kesalahan yang sama terus
berulang bagai dejavu. Ketika suatu hari ia disadarkan bahwa kata maaf
terkadang tak selalu bisa diluluskan, barulah ia menyesal karena memasuki
lubang yang sama berkali-kali. Kini ia terjebak di dalamnya, tak lagi bisa
merangkak keluar. Tidak seperti sebelumnya ketika sebuah tangan dengan
senantiasa terulur padanya.
Kinar melambaikan tangan, cukup bersemangat,
ketika Jeena kembali menoleh ke meja mereka. Wanita itu ragu meski akhirnya ia
membalas singkat lambaian tangan Kinar padanya. Pria yang berdiri di sampingnya
mengernyit bingung pada awalnya. Ia melontarkan senyum kecil namun ramah.
Mereka berjalan keluar café setelah pesanan take-out mereka
diselesaikan.
Arya tak berani mengikuti sosok yang
menghilang dari pandangannya. Yang berlalu pergi ia biarkan saja. Itulah
satu-satunya hal yang mampu ia pelajari sekarang.
“Kurasa dia bahagia sekarang,” kata Arya
merujuk pada Jeena. Ada nada getir yang terselip rapi pada deretan kata yang
diucapkannya.
Kinar bersimpati.
“Kau tahu, Kak? Kehidupan itu bagai drama.
Kita menjadi sutradara, penulis naskah serta pelakonnya. Kita yang menentukan
apa saja yang kita butuhkan, kita yang menuliskan seperti apa alurnya dan kita
pula yang menjalani.”
Tangan Kinar terulur, merengkuh kepalan
tangan Arya yang tergeletak di atas meja. Bahkan pria itu sendiri tidak sadar
sejak kapan tangannya mengepal. Dingin, itulah yang dirasakan Kinar saat kulit
mereka bersentuhan.
“Tidak selalu kita akan bertemu dengan
pelakon yang memiliki alur serupa. Kadang jalannya saling bersinggungan,
berubah menjadi persimpangan. Seperti itulah agar kita bisa memetik pelajaran
selama melakukan perjalanan, kurasa.”
Kelopak mata Arya menutup, menghitamkan
pandangannya yang memburam saat air mata menggenang di pelupuk matanya.
***
Hari kian larut. Salju tak lagi berjatuhan
saat Kinar dan Arya memutuskan untuk keluar café, berjalan santai menghiraukan
suhu yang masih rendah.
“Kuharap tidak akan ada Kak Jeena yang
kedua,” kata Kinar sambil berjalan mundur.
Seorang pejalan kaki di belakang Kinar
berjalan dengan langkah tergesa, tak lagi memiliki waktu untuk melihat
orang-orang di sekitarnya. Arya segera menarik tangan Kinar, membuat wanita itu
kembali berjalan maju di sampingnya sebelum pejalan kaki yang terburu-buru itu
sempat menabrak adiknya.
Suara tawa meluncur dari mulut Arya.
Terdengar lemah memang, tapi itulah pertanda bahwa mereka telah melalui
perdebatan sengit tadi dengan cukup mulus.
“Aku kapok,” aku Arya.
“Memang, selayaknya begitu jika kau masih
memiliki hati.”
“Aku tahu, aku tahu,” kata Arya. Ia
melingkarkan lengannya di pundak Kinar, menarik tubuh adiknya semakin merapat.
Seperti inilah mereka. Sedetik mereka saling berteriak, pada detik berikutnya
seolah tak pernah ada badai yang mengacaukan mereka.
“Sungguh, aku telah belajar sekarang,” lanjut
Arya.
Kinar tersenyum senang, menggerak-gerakkan
tubuhnya dengan pelan untuk menikmati kebersamaan yang mampu melelehkan
tumpukan salju di bawah kaki mereka. Alunan lagu-lagu romantis terdengar di
sepanjang perjalanan melalui pintu-pintu toko yang tertutup dan terbuka dalam
kurun waktu singkat.
“Dan, Hei!” Seru Arya.
“Sudah saatnya kau berhenti mencampuri
urusanku. Lihatlah, hari kasih sayang ini malah kau lewatkan untuk membuka
mataku.”
Kinar mendengus sebal.
“Salahkan mata besarmu yang hanya dijadikan
pajangan saja,” gerutu Kinar.
Arya tergelak. Tangannya diturunkan dari
pundak Kinar, bergerak pasti menuju jemari yang tertutup sarung tangan rajut.
Setelah mendapatkan yang dicari, Arya mulai berlari dan menarik Kinar ikut bersamanya.
“Kakak!” Jerit Kinar sementara yang diteriaki
puas tertawa senang.
***
23 Desember
Banyak orang beranggapan bahwa kau adalah
pemeran utama dalam ceritaku. Pujian-pujian tentang betapa serasinya kita
berdua saat bersanding. Sayangnya, mereka tidak mengerti. Serasi bukan berarti
ditakdirkan.
Kau bilang, kau menyesal. Kau bilang, tak
akan mengulanginya lagi. Kau sadar, ketika itu air mataku terjatuh. Tetapi, bukan
karena ketulusanmu yang menyentuh hatiku. Karena saat itu juga kusadari, kau
bukanlah pemeran utama yang kucari, kau bukanlah aktor yang tepat untuk
melakoni naskah yang sedang kubuat.
Tapi, tidak. Aku tidak membencimu atas
luka-luka yang kau torehkan. Aku juga tak lantas membencimu yang ternyata
hanyalah seorang pemeran antagonis. Mengapa? Karena tanpamu, tak mungkin bagiku
untuk menemukan pemeran utama yang sesungguhnya dalam dramaku.
Jangan takut, kau mungkin hanyalah pemeran
antagonis yang dihujat oleh para pembaca ceritaku. Tapi percayalah, disaat yang
bersamaan kau pasti akan menjadi protagonis yang begitu dikagumi dalam cerita
yang berbeda.
Untuk rasa sakit yang kita rasakan karena
memasuki cerita yang salah, itu akan menjadi pengingat bahwa ada berjuta cerita
di dunia ini. Kesalahan tak lantas menjadi belenggu.
Hari di mana buku harian ini kuberikan
padamu, adalah hari di mana akhirnya aku bisa melepaskanmu dengan seutuhnya.
Aku telah menemukan protagonisku sendiri. Bagaimana denganmu?
Majeena Bunga
No comments:
Post a Comment