Rekomendasi Buku Favorit di Tahun 2019 - Lagi Monolog

Friday, January 10, 2020

Rekomendasi Buku Favorit di Tahun 2019



Gue suka buku. Tapi gue punya kebiasaan yang entah bisa dibilang buruk atau enggak, yaitu kalau lagi baca buku: jarang ada yang selesai. Gue selalu excited ketika ada buku yang menarik, membungkusnya pulang, dan mulai membaca. Namun, gue biasanya akan mulai dari melihat daftar isi kemudian langsung menuju poin ke apa yang sedang gue cari. Kasus lainnya yang juga sering gue lakukan adalah membacanya dari depan, lalu mulai memindai singkat ke hingga akhir. Entahlah apakah ini adalah metode yang orang-orang lain juga lakukan ataukah memang seseorang perlu membaca buku dari awal hingga akhir untuk mendapat informasi lengkap yang nggak bias.

Literally, gue baca apapun. Minat gue terhadap suatu genre yang spesifik sering berubah-ubah tergantung....nggak tau juga tergantung apa. Hari ini tiba-tiba lagi suka banget baca sastra, besoknya mikir, kayaknya baca non-fiksi aja deh biar pemikirannya nggak dangkal. Besoknya lagi baca komik, dll. Apapun yang kelihatannya menarik gue lahap, apalagi kalau gue menemukan pertanyaan dan jawabannya ada di suatu buku. Udah pasti gue masukin ke antrian buku yang harus dibaca.

On top of that, artinya gue nggak membatasi bacaan gue. Tapi gue membatasi belanjaan buku gue. Kenapa? Gue puasa beli buku. Bukan yang sama sekali nggak beli. Cuman membatasi aja dalam rangka pengen pelan-pelan hijrah ke e-book. Pertama karena rak buku gue udah penuh. Kedua buku-buku itu butuh perawatan ekstra apalagi rumah gue gampang banget debuan. Apalagi di kamar. Untuk orang yang sensitif sama debu kayak gue gini bersihin permukaan buku yang berdebu itu PR banget! Alasan lainnya adalah sepertinya e-book lebih affordable dibanding buku fisik. Walaupun memang ada beberapa buku yang gue rasa nggak banget kalau dibaca versi e-book-nya.

Nah ini bisa jadi tips juga nih buat kalian yang ingin memilah belanjaan buku untuk meminimalisir buku-buku yang nggak jadi dibaca karena isinya nggak cocok atau ternyata mengecewakan. Gue biasa cari dulu rating dan review dari sebuah buku. Cara yang paling sering gue gunakan adalah lihat rating dan baca review via GOODREADS. Kalau reviewnya menarik, ratingnya bagus, sinopsis juga oke gue baru beli, hehe. Gak mau rugi.


Goodreads.com

Intronya panjang banget, astaga. Anyway, gue pingin sharing ke kalian tentang buku-buku favorit yang gue baca di tahun 2019. Daftar buku kali ini banyak yang berasal dari kategori self-help. Karena memang tahun 2019 gue lagi ada project tentang ini. Semoga bisa membantu kalian yang lagi pengen baca sesuatu tapi bingung mau baca apa. Atau buat yang ingin menambah referensi bacaan juga. Jangan lupa berikan komentar di bawah postingan ini ya! Buku apa sih yang kalian lagi baca atau rekomendasikan?

Yuk, kita mulai!

1.     THE SUBTLE ART OF NOT GIVING A F*CK

Buku ini gue beli di bulan Mei 2018 sebenarnya. Nggak sengaja ketemu pas lagi di bandara Los Angeles, buku ini ada di deretan bestseller. Cover-nya yang nonjol banget karena warnanya oranye nyentrong gini menarik perhatian gue. Dan gue baca sepanjang perjalan dari U.S. ke Indonesia saat itu, kemudian gue review. Waktu itu buku ini belum masuk di Indonesia, belum booming tapi gue udah masukin ke Instagram Stories. Bangga banget gue. Haha.



Mark Manson, pengarang buku ini adalah penuls blog yang aktif sejak tahun 2009. Namanya kian dikenal dengan diterbitkannya buku ini. Di Indonesia sendiri buku ini sudah dicetak ulang sampai ke-20. Beliau baru aja nerbitin buku barunya, lho!

Tidak sama dengan judulnya, Manson justru ingin memberitahu kita persoalan apa yang perlu betul-betul dipikirkan dan masalah apa yang perlu disikapi dengan bodo amat. Buku ini memberi kita pendekatan yang waras untuk menjalani hidup yang lebih baik dengan beberapa seni untuk bersikap bodo amat:

-          Masa bodoh bukan berarti acuh tak acuh, artinya kita hanya boleh peduli dengan tujuan yang hendak dicapai dan bersikap acuh pada halangan dan rintangan yang mungkin akan dihadapi; menikmati permasalahan itu sebagai proses menggapai tujuan.
-          Memperjelas hal-hal penting yang diprioritaskan sehingga kita bisa bersikap bodo amat sama hal-hal sepele.
-          Menyederhanakan perhatian kita pada saat kita mulai dewasa, melupakan hal-hal yang kurang berarti untuk kehidupan, dan mulai memperhatikan hal-hal yang relevan saja.

Kata-katanya yang menohok buatku adalah,”Pada kenyataannya jalan setapak untuk menuju kebahagiaan adalah jalan yang penuh dengan tangisan dan rasa malu.” Buku ini menggunakan kata-kata yang lugas sehingga menurut gue pribadi lebih baik dibaca oleh kalangan 17+. Buku ini membantu kita melihat suatu persoalan dari sudut pandang yang beda. In a nutshell, buku ini cocok buat kalian yang lagi struggle dalam mencari makna hidup atau yang sedang merasa ada di titik rendah kehidupan.

2.     FILOSOFI TERAS

Buku ini adalah buku tentang filsafat yang bersifat praktis, yang lebih membumi sebagai bagian dari praktik dan latihan. Buku ini relevan untuk diterapkan dalah kehidupan sehari-hari, contohnya saat kita kesal karena terjebak macet, menghadapi omongan orang tentang kita, mengelola rasa khawatir atau negative thinking dalam diri kita, dll. 



Istilah “filosofi teras” sendiri adalah penyederhanaan dari “stoisisme” atau “stoa”, sebuah cabang filsafat yang dipelopori oleh Zeno di Athena masa Yunani kuno 300 tahun sebelum Masehi atau 2300 tahun yang lalu. Zeno sendiri kerap mengajarkan filosofinya di teras berpilar atau yang disebut “stoa” dalam Bahasa Yunani, diterjemahkan menjadi “filosofi teras”.

Bicara tentang filosofi teras sendiri menarik bagi gue. Konsep-konsep yang dituliskan adalah hal baru buat gue—karena anaknya gak pernah baca filsafat. Contohnya tentang dikotomi kendali. Konsep ini mengajarkan kita bahwa ada hal-hal yang ada di bawah kendali kita dan ada yang tidak (entah ada pada kendali orang lain atau alam). Karena itulah disini ditekankan bahwa kita nggak perlu mengkhawatirkan hal-hal yang diluar kendali dan fokus ke hal-hal yang memang bisa kita kendalikan.

Ada yang menarik lagi. Tentang interpretasi dan persepsi. Penulis memaparkan konsep STAR (Stop, Think and Assess, dan Respond). STAR ini berguna supaya kita bisa mengendalikan emosi negatif. Nah, waktu kita emosi nih kita perlu secara sadar menghentikan (stop) emosi tersebut, lalu berpikir (think) dan menilai (assess) kejadian tersebut secara rasional, lalu mengakhirinya dengan aksi (respond) yang merupakan hasil dari pemikiran yang didasarkan pada nalar.

Bagian mind-blowing lainnya adalah tentang kekhawatiran orang tua. Tentang pemikiran bahwa “anak harus berbakti pada orang tua karena pengorbangan orang tua”. Padahal membimbing dan berkorban untuk anak adalah hal yang selaras dengan alam karena itu memang kewajiban dari orang tua. Jadi orang tua tidak perlu mengungkit hal tersebut sebagai sebuah investasi. Gue yang sebagai anak juga jadi kecipratan pemikiran ini. Karena status gue sebagai anak, jadi gue sering ngerasa harus balas budi, kayak punya utang ke orang tua. Nah, kita pun kudunya berpikir bahwa berbakti pada orang tua adalah hal yang selaras sama alam, jadi nggak perlu mikir hal tersebut sebagai balas budi.

       Hidup dengan emosi negatif yang terkendali dan hidup dengan kebajikan atau hidup bagaimana kita hidup sebaik-baiknya seperti seharusnya kita menjadi manusia.”

3.     HOMODEUS

Ini adalah buku Yuval Noah Harari pertama yang gue baca. Padahal Homodeus adalah buku kedua dari semua seri buku yang Harari keluarkan. Buku ini direkomendasikan oleh banyak tokoh besar seperti Mark Zuckerberg, Bill Gates, hingga Barrack Obama. 



“Homodeus menunjukkan kemana kita akan pergi”, kata Harari dalam bukunya. Buku ini menelaah ke masa depan dan mengeksplorasi bagaimana kekuatan global bergeser. Kekuatan utama evolusi seperti seleksi alam akan digantikan oleh teknologi yang membuat manusia seperti Dewa, contohnya kecerdasan buatan dan rekayasa genetik. Era kecerdasan buatan akan mengambil sebagian besar pekerjaan manusia untuk dikerjakan oleh robot, komputer, dan mesin. Banyak manusia yang menjadi pengangguran dan muncul kelas baru yang mengendalikan semua lini kehidupan. Menariknya, mesin-mesin tadi lebih memahami manusia daripada manusia itu sendiri.

Membaca buku ini membuat gue teringat serial Netflix favorit gue, Black Mirror. Disana ada episode yang menjukkan bahwa teknologi mengambil alih hampir seluruh aspek termasuk dunia asmara. Diceritakan ada dua tokoh utama dalam episode ini yang mencari pasangan. Ketika saling memilih pasangan, mereka akan disuguhkan dengan kalkulasi kecocokan keduanya—tentu saja dengan tidak mengkalkulasi data perasaan.

Seiring berjalannya waktu, manusia nggak cuman akan kehilangan dominasinya atas dunia, tapi semuanya. Atas nama kebebasan dan individualisme, mitos humanis adakan dibuang seperti barang usang. Lalu apa yang harus kita lakukan?

4.     PURPOSE

Buku ini menceritakan kisah seorang perempuan yang pernah ada di balik panggung Gojek, siapa lagi kalau bukan Alamanda Shantika. Menariknya dalam buku ini Alamanda blang bahwa tujuan hidup bukan hanya soal menemukan passion, tapi juga mengetahui dirimu sendiri. Ia bercerita jatuh bangun kegagalan yang silih berganti. Jatuh, terpukul, dan kecewa bagi Alamanda adalah proses. Sedangkan berusaha maju tanpa rasa takut adalah keharusan. 



Buku ini ringan karena menggunakan bahasa sehari-hari, membuat kita merasa diberi cerita oleh yang nulis. Gue baca buku ini sekali duduk lalu selesai. Sebuah pencapaian. Katanya,”knowing yourself is important not only find yourself.”

       “Every problem is opportunity, don’t ever say that you don’t have opportunity. You make that opportunity if you want to!”

5.     BUMI MANUSIA

Siapa yang nggak kenal nama Pramoedya Ananta Toer? Seniman dan pentolan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) ini pernah dipenjara di rezim Orde Baru Soeharto tanpa pernah diadili. Koleksi buku-buku dan catatan arsipnya, termasuk tulisan-tulisannya yang belum terbit dibakar. Pram dibuang ke Pulau Buru. Bermodalkan ingatan, Pram menyusun cerita novelnya di pulau tersebut.

Mulanya, cerita itu ia susun secara lisan dan dikisahkan pada sesama tahanan. Baru pada tahun 1980, setelah mengumpulkan catatan yang berserakan yang diam-diam diselundupkan keluar Pulau Buru, novel pertama tetralogi Bumi Manusia terbit. Setelah enam bulan beredar, buku ini jadi bacaan terlarang. Pemerintahan Soeharto menuding novelnya mengandung ajaran Marxisme dan Leninisme. Dari situ justru karyanya melegenda di luar negeri. 



Buku ini mengambil latar di abad ke 19 (1890-1899) di negeri ini yang namanya masih Hindia Belanda. Kita akan diajak menyelami karakter Minke, seorang pribumi sekaligus siswa HBS Surabaya. Ia merupakan seorang yang cerdas, pandai menulis dan begitu mengagumi peradaban Barat karena menurutnya negara Barat melahirkan modernisasi di bidang ilmu pengetahuan.

Pada suatu waktu Minke menerima ajakan temannya, Robert Suurhof memenuhi undangan di rumah Nyai Ontosoroh. Di rumah inilah Minke bertemu Annelies Mellema yang merupakan Indo, anak dari Nyai Ontosoroh. Keluarge Nyai punya kisah penuh tragedi mulai dari permusuhan dengan anak sulungnya, Robert Mellema dan suaminya, Herman Mellema yang mati secara misterius. Puncak konflik pada cerita ini adalah ketika Minke dan Nyai Ontosoroh melawan pengadilan putih.

Menurut gue yang lebih menonjol dari cerita ini adalah pada konsisi sosial rakyat Indonesia pada masa kolonial. Meskipun mengandung unsur sejarah, penggambaran era penjajahan tersebut digambarkan dengans sangat baik dan akurat seperti pembagian etnis dan hak-haknya antara Eropa, Tionghoa, Indo, dan Pribumi. Penokohannya juga kuat. Pram nggak cuman membahas para karakter utama saja, tapi figuran seperti Meiko, pelacur langganan Robert Mellema yang mengidap sipilis pun memiliki porsi sendiri tentang bagaimana orang Jepang tersebut bisa sampai di Indonesia dan bekerja di rumah Babah Ah Tjong.  

Ah, kalian baca sendiri aja! Nggak heran kalau sampai New York Times memuji Bumi Manusia sebagai contoh karya sastra yang indah dari Indonesia. Sedangkan Washington Post memujinya sebagai salah satu karya seni terbesar abad ke-20.

Membaca karya sastra terutama yang terbit puluhan tahun lalu memang punya sensasi yang beda ketika kita membaca novel pop yang ringan. Butuh ketekunan. Lewat membaca Bumi Manusia kalian bisa membuktikan sendiri prosanya.



Sebenernya ada beberapa buku lainnya yang masuk ke dalam daftar. Tapi karena kayaknya postingan ini udah panjang jadi kita akhiri sampai sini aja ya! Ps: bilang aja males nulisnya.

Nah, kasih tau dong buku favorit kalian apa!

No comments:

Post a Comment