Gue suka buku. Tapi gue punya kebiasaan yang entah bisa dibilang buruk atau enggak, yaitu kalau lagi baca buku: jarang ada yang selesai. Gue selalu excited ketika ada buku yang menarik, membungkusnya pulang, dan mulai membaca. Namun, gue biasanya akan mulai dari melihat daftar isi kemudian langsung menuju poin ke apa yang sedang gue cari. Kasus lainnya yang juga sering gue lakukan adalah membacanya dari depan, lalu mulai memindai singkat ke hingga akhir. Entahlah apakah ini adalah metode yang orang-orang lain juga lakukan ataukah memang seseorang perlu membaca buku dari awal hingga akhir untuk mendapat informasi lengkap yang nggak bias.
Literally, gue baca apapun. Minat gue
terhadap suatu genre yang spesifik
sering berubah-ubah tergantung....nggak tau juga tergantung apa. Hari ini
tiba-tiba lagi suka banget baca sastra, besoknya mikir, kayaknya baca non-fiksi aja deh biar pemikirannya nggak dangkal.
Besoknya lagi baca komik, dll. Apapun yang kelihatannya menarik gue lahap,
apalagi kalau gue menemukan pertanyaan dan jawabannya ada di suatu buku. Udah
pasti gue masukin ke antrian buku yang harus dibaca.
On top of that, artinya gue nggak membatasi
bacaan gue. Tapi gue membatasi belanjaan buku gue. Kenapa? Gue puasa beli buku.
Bukan yang sama sekali nggak beli. Cuman membatasi aja dalam rangka pengen
pelan-pelan hijrah ke e-book. Pertama
karena rak buku gue udah penuh. Kedua buku-buku itu butuh perawatan ekstra apalagi
rumah gue gampang banget debuan. Apalagi di kamar. Untuk orang yang sensitif
sama debu kayak gue gini bersihin permukaan buku yang berdebu itu PR banget!
Alasan lainnya adalah sepertinya e-book lebih
affordable dibanding buku fisik.
Walaupun memang ada beberapa buku yang gue rasa nggak banget kalau dibaca versi
e-book-nya.
Nah
ini bisa jadi tips juga nih buat kalian yang ingin memilah belanjaan buku untuk
meminimalisir buku-buku yang nggak jadi dibaca karena isinya nggak cocok atau
ternyata mengecewakan. Gue biasa cari dulu rating dan review dari sebuah buku.
Cara yang paling sering gue gunakan adalah lihat rating dan baca review via GOODREADS. Kalau reviewnya menarik,
ratingnya bagus, sinopsis juga oke gue baru beli, hehe. Gak mau rugi.
Goodreads.com |
Intronya
panjang banget, astaga. Anyway, gue
pingin sharing ke kalian tentang
buku-buku favorit yang gue baca di tahun 2019. Daftar buku kali ini banyak yang
berasal dari kategori self-help.
Karena memang tahun 2019 gue lagi ada project tentang ini. Semoga bisa membantu
kalian yang lagi pengen baca sesuatu tapi bingung mau baca apa. Atau buat yang
ingin menambah referensi bacaan juga. Jangan lupa berikan komentar di bawah
postingan ini ya! Buku apa sih yang kalian lagi baca atau rekomendasikan?
Yuk,
kita mulai!
1.
THE SUBTLE
ART OF NOT GIVING A F*CK
Buku ini gue beli di
bulan Mei 2018 sebenarnya. Nggak sengaja ketemu pas lagi di bandara Los Angeles,
buku ini ada di deretan bestseller.
Cover-nya yang nonjol banget karena warnanya oranye nyentrong gini menarik perhatian gue. Dan gue baca sepanjang
perjalan dari U.S. ke Indonesia saat itu, kemudian gue review. Waktu itu buku ini belum masuk di Indonesia, belum booming tapi gue udah masukin ke
Instagram Stories. Bangga banget gue.
Haha.
Mark Manson, pengarang
buku ini adalah penuls blog yang aktif sejak tahun 2009. Namanya kian dikenal dengan
diterbitkannya buku ini. Di Indonesia sendiri buku ini sudah dicetak ulang
sampai ke-20. Beliau baru aja nerbitin buku barunya, lho!
Tidak sama dengan
judulnya, Manson justru ingin memberitahu kita persoalan apa yang perlu
betul-betul dipikirkan dan masalah apa yang perlu disikapi dengan bodo amat.
Buku ini memberi kita pendekatan yang waras untuk menjalani hidup yang lebih
baik dengan beberapa seni untuk bersikap bodo amat:
-
Masa bodoh bukan berarti acuh tak acuh, artinya
kita hanya boleh peduli dengan tujuan yang hendak dicapai dan bersikap acuh
pada halangan dan rintangan yang mungkin akan dihadapi; menikmati permasalahan
itu sebagai proses menggapai tujuan.
-
Memperjelas hal-hal penting yang diprioritaskan
sehingga kita bisa bersikap bodo amat sama hal-hal sepele.
-
Menyederhanakan perhatian kita pada saat kita
mulai dewasa, melupakan hal-hal yang kurang berarti untuk kehidupan, dan mulai
memperhatikan hal-hal yang relevan saja.
Kata-katanya yang menohok buatku adalah,”Pada kenyataannya
jalan setapak untuk menuju kebahagiaan adalah jalan yang penuh dengan tangisan
dan rasa malu.” Buku ini menggunakan kata-kata yang lugas sehingga menurut gue
pribadi lebih baik dibaca oleh kalangan 17+. Buku ini membantu kita melihat
suatu persoalan dari sudut pandang yang beda. In a nutshell, buku ini cocok buat kalian yang lagi struggle dalam mencari makna hidup atau
yang sedang merasa ada di titik rendah kehidupan.
2.
FILOSOFI
TERAS
Buku ini adalah buku
tentang filsafat yang bersifat praktis, yang lebih membumi sebagai bagian dari
praktik dan latihan. Buku ini relevan untuk diterapkan dalah kehidupan
sehari-hari, contohnya saat kita kesal karena terjebak macet, menghadapi omongan
orang tentang kita, mengelola rasa khawatir atau negative thinking dalam diri kita, dll.
Istilah “filosofi teras”
sendiri adalah penyederhanaan dari “stoisisme” atau “stoa”, sebuah cabang
filsafat yang dipelopori oleh Zeno di Athena masa Yunani kuno 300 tahun sebelum
Masehi atau 2300 tahun yang lalu. Zeno sendiri kerap mengajarkan filosofinya di
teras berpilar atau yang disebut “stoa” dalam Bahasa Yunani, diterjemahkan menjadi
“filosofi teras”.
Bicara tentang filosofi
teras sendiri menarik bagi gue. Konsep-konsep yang dituliskan adalah hal baru
buat gue—karena anaknya gak pernah baca filsafat. Contohnya tentang dikotomi
kendali. Konsep ini mengajarkan kita bahwa ada hal-hal yang ada di bawah
kendali kita dan ada yang tidak (entah ada pada kendali orang lain atau alam).
Karena itulah disini ditekankan bahwa kita nggak perlu mengkhawatirkan hal-hal
yang diluar kendali dan fokus ke hal-hal yang memang bisa kita kendalikan.
Ada yang menarik lagi.
Tentang interpretasi dan persepsi. Penulis memaparkan konsep STAR (Stop, Think and Assess, dan Respond). STAR ini berguna supaya kita
bisa mengendalikan emosi negatif. Nah, waktu kita emosi nih kita perlu secara
sadar menghentikan (stop) emosi
tersebut, lalu berpikir (think) dan
menilai (assess) kejadian tersebut
secara rasional, lalu mengakhirinya dengan aksi (respond) yang merupakan hasil
dari pemikiran yang didasarkan pada nalar.
Bagian mind-blowing lainnya adalah tentang
kekhawatiran orang tua. Tentang pemikiran bahwa “anak harus berbakti pada orang
tua karena pengorbangan orang tua”. Padahal membimbing dan berkorban untuk anak
adalah hal yang selaras dengan alam karena itu memang kewajiban dari orang tua.
Jadi orang tua tidak perlu mengungkit hal tersebut sebagai sebuah investasi.
Gue yang sebagai anak juga jadi kecipratan pemikiran ini. Karena status gue
sebagai anak, jadi gue sering ngerasa harus balas budi, kayak punya utang ke
orang tua. Nah, kita pun kudunya berpikir bahwa berbakti pada orang tua adalah
hal yang selaras sama alam, jadi nggak perlu mikir hal tersebut sebagai balas
budi.
“Hidup dengan emosi
negatif yang terkendali dan hidup dengan kebajikan atau hidup bagaimana kita hidup
sebaik-baiknya seperti seharusnya kita menjadi manusia.”
3.
HOMODEUS
Ini adalah buku Yuval Noah Harari pertama yang gue baca.
Padahal Homodeus adalah buku kedua dari semua seri buku yang Harari keluarkan.
Buku ini direkomendasikan oleh banyak tokoh besar seperti Mark Zuckerberg, Bill
Gates, hingga Barrack Obama.
“Homodeus menunjukkan kemana kita akan pergi”, kata Harari
dalam bukunya. Buku ini menelaah ke masa depan dan mengeksplorasi bagaimana
kekuatan global bergeser. Kekuatan utama evolusi seperti seleksi alam akan digantikan
oleh teknologi yang membuat manusia seperti Dewa, contohnya kecerdasan buatan
dan rekayasa genetik. Era kecerdasan buatan akan mengambil sebagian besar
pekerjaan manusia untuk dikerjakan oleh robot, komputer, dan mesin. Banyak
manusia yang menjadi pengangguran dan muncul kelas baru yang mengendalikan
semua lini kehidupan. Menariknya, mesin-mesin tadi lebih memahami manusia
daripada manusia itu sendiri.
Membaca buku ini membuat gue teringat serial Netflix favorit
gue, Black Mirror. Disana ada episode yang menjukkan bahwa teknologi mengambil
alih hampir seluruh aspek termasuk dunia asmara. Diceritakan ada dua tokoh
utama dalam episode ini yang mencari pasangan. Ketika saling memilih pasangan,
mereka akan disuguhkan dengan kalkulasi kecocokan keduanya—tentu saja dengan
tidak mengkalkulasi data perasaan.
Seiring berjalannya waktu, manusia nggak cuman akan kehilangan
dominasinya atas dunia, tapi semuanya. Atas nama kebebasan dan individualisme,
mitos humanis adakan dibuang seperti barang usang. Lalu apa yang harus kita
lakukan?
4. PURPOSE
Buku ini menceritakan kisah seorang perempuan yang pernah ada
di balik panggung Gojek, siapa lagi kalau bukan Alamanda Shantika. Menariknya
dalam buku ini Alamanda blang bahwa tujuan hidup bukan hanya soal menemukan passion, tapi juga mengetahui dirimu
sendiri. Ia bercerita jatuh bangun kegagalan yang silih berganti. Jatuh,
terpukul, dan kecewa bagi Alamanda adalah proses. Sedangkan berusaha maju tanpa
rasa takut adalah keharusan.
Buku ini ringan karena menggunakan bahasa sehari-hari, membuat
kita merasa diberi cerita oleh yang nulis. Gue baca buku ini sekali duduk lalu
selesai. Sebuah pencapaian. Katanya,”knowing
yourself is important not only find yourself.”
“Every problem is opportunity, don’t ever say that you don’t
have opportunity. You make that opportunity if you want to!”
5.
BUMI
MANUSIA
Siapa yang nggak kenal
nama Pramoedya Ananta Toer? Seniman dan pentolan Lembaga Kesenian Rakyat
(Lekra) ini pernah dipenjara di rezim Orde Baru Soeharto tanpa pernah diadili.
Koleksi buku-buku dan catatan arsipnya, termasuk tulisan-tulisannya yang belum
terbit dibakar. Pram dibuang ke Pulau Buru. Bermodalkan ingatan, Pram menyusun
cerita novelnya di pulau tersebut.
Mulanya, cerita itu ia
susun secara lisan dan dikisahkan pada sesama tahanan. Baru pada tahun 1980,
setelah mengumpulkan catatan yang berserakan yang diam-diam diselundupkan
keluar Pulau Buru, novel pertama tetralogi Bumi Manusia terbit. Setelah enam
bulan beredar, buku ini jadi bacaan terlarang. Pemerintahan Soeharto menuding
novelnya mengandung ajaran Marxisme dan Leninisme. Dari situ justru karyanya
melegenda di luar negeri.
Buku ini mengambil latar
di abad ke 19 (1890-1899) di negeri ini yang namanya masih Hindia Belanda. Kita
akan diajak menyelami karakter Minke, seorang pribumi sekaligus siswa HBS
Surabaya. Ia merupakan seorang yang cerdas, pandai menulis dan begitu mengagumi
peradaban Barat karena menurutnya negara Barat melahirkan modernisasi di bidang
ilmu pengetahuan.
Pada suatu waktu Minke
menerima ajakan temannya, Robert Suurhof memenuhi undangan di rumah Nyai
Ontosoroh. Di rumah inilah Minke bertemu Annelies Mellema yang merupakan Indo,
anak dari Nyai Ontosoroh. Keluarge Nyai punya kisah penuh tragedi mulai dari permusuhan
dengan anak sulungnya, Robert Mellema dan suaminya, Herman Mellema yang mati
secara misterius. Puncak konflik pada cerita ini adalah ketika Minke dan Nyai
Ontosoroh melawan pengadilan putih.
Menurut gue yang lebih menonjol
dari cerita ini adalah pada konsisi sosial rakyat Indonesia pada masa kolonial.
Meskipun mengandung unsur sejarah, penggambaran era penjajahan tersebut digambarkan
dengans sangat baik dan akurat seperti pembagian etnis dan hak-haknya antara
Eropa, Tionghoa, Indo, dan Pribumi. Penokohannya juga kuat. Pram nggak cuman
membahas para karakter utama saja, tapi figuran seperti Meiko, pelacur langganan
Robert Mellema yang mengidap sipilis pun memiliki porsi sendiri tentang
bagaimana orang Jepang tersebut bisa sampai di Indonesia dan bekerja di rumah
Babah Ah Tjong.
Ah, kalian baca sendiri
aja! Nggak heran kalau sampai New York Times memuji Bumi Manusia sebagai contoh
karya sastra yang indah dari Indonesia. Sedangkan Washington Post memujinya
sebagai salah satu karya seni terbesar abad ke-20.
Membaca karya sastra terutama
yang terbit puluhan tahun lalu memang punya sensasi yang beda ketika kita
membaca novel pop yang ringan. Butuh ketekunan. Lewat membaca Bumi Manusia
kalian bisa membuktikan sendiri prosanya.
Nah, kasih tau dong buku favorit kalian apa!
No comments:
Post a Comment