Berpulang - Lagi Monolog

Wednesday, January 8, 2020

Berpulang

Nggak terasa. Sudah lewat lima hari sejak kepergiannya. Untuk yang sudah hafal dengan sajak kehilangan, lima hari bukan bermakna “sudah” tapi “baru”. Iya, baru lima hari berlalu. Masih ada banyak hari yang harus dilewati, kata mereka. Tapi siapa sih yang siap dengan kepergian? Nggak ada yang benar-benar siap walaupun sepenuh hati sudah mencoba mempersiapkan. Ternyata hidup ini memang cuma tentang perjalanan. Dan yang namanya perjalanan, berarti pergi dan kembali, berangkat dan pulang, ada dan hilang

Perihal kehilangan selalu jadi momok yang menyakitkan. Lebih sakit lagi karena ketika kita kehilangan, dunia nggak peduli kita kehilangan. Semesta tetap berputar aja. Entah karena ingin atau memang harus karena ada banyak kehidupan yang harus dirawat. Seperti kontrakan. Kalau masa sewa habis, penghuni lama harus pergi. Nanti ada lagi penghuni baru. Barangkali begitu cara kerjanya.

Baiklah.

Cerita kali ini tentang sosok yang belum lama berpulang. Kupanggil dia Yangkung (Eyang Kakung). Ayah dari mamaku. Seorang yang menghabiskan masa lajang hingga paruh bayanya sebagai guru. Nggak hanya untuk murid-muridnya, tapi untuk istri, anak-anak, dan orang-orang di sekitarnya. Termasuk guru buatku, cucunya.

Nggak pernah terasa atau memang tidak ingin dirasakan. Tujuh belas tahun sudah Yangkung menanggung rasa sakit yang merenggut hari-hari bahagianya berkumpul bersama keluarga, melewatkan hari-hari tanpa melihat cucu-cucunya tumbuh, dan tak mampu bersenda dengan menantu-menantunya di beranda rumah. Stroke. Itu diagnosisnya tujuh belas tahun silam. Saat itu usiaku baru lima tahun. Tak begitu mengerti apa yang terjadi. Cuma ingat kalau Yangkung memanggil, itu artinya beliau ingin ditemani berjalan beriringan ke teras rumah. Tentu saja dengan tongkat kaki tiga kesayangannya.


Yangkung


Hingga aku beranjak remaja, Yangkung masih tinggal di rumah lama, di Magetan. Rumah tempat mama tumbuh sebelum memutuskan menikah dan pergi bersama ayah ke kotaku sekarang. Hanya sekali dalam setahun aku mengunjungi Yangkung. Itupun kadang males banget mau pergi. Karena Yangkung selalu buat agenda yang menegangkan. Hafalan perkalian. Paling males kalau Yangkung udah ngomel nyuruh aku buat belajar lebih keras kalau hafalanku cuma bisa sampai perkalian lima. Alhasil, setiap mau pergi ke Magetan, aku berlatih perkalian di depan rumah bahkan sampai saat perjalanan di mobil juga hafalan. Dan ternyata agenda ini Yangkung buat bukan cuma untukku. Tapi ia iseng memanggil seorang anak yang lewat depan rumah dan menyuruh anak itu hafalan perkalian di depan Yangkung. Nggak ada hadiah. Kata Yangkung, hafal perkalian adalah kewajiban jadi nggak perlu juga dikasih hadiah macam-macam.

Suatu kali aku sudah siap sekali untuk praktik hafalan sampai perkalian sebelas di kamar Yangkung. Namun, kala itu ada banyak hal yang berubah. Nggak ada perkalian, nggak ada panggilan ke kamar untuk tes matematika, nggak ada obrolan sebanyak yang sebelumnya. Umurnya yang menua membuatnya semakin pasif. Bicara pun hanya sepatah-dua patah kalimat. Sayang sekali, adik-adikku yang lain nggak pernah merasakan hangatnya kasih sayang Yangkung dari tes perkalian yang ia berikan malam-malam di kamarnya. Sambil ia terbaring memegang tanganku yang sibuk curi-curi hitung menggunakan jari. 

Hari-hari bahagia masa kecilku adalah saat Yangkung masih sehat, tentu saja. Tak begitu banyak memori yang kuingat. Aku masih sangat kecil saat Yangkung berkunjung ke Malang. Ia membawaku keliling kampung dengan aku di punggungnya. Sedangkan yang kutahu, sepupuku dari keluarga ayah mengikuti kami dengan jalan kaki. Aku merasa spesial. Disayang dan dimanjakan. Bahkan ketika Yangkung dapat makanan dari hajatan tetangga, lauk spesial seperti telur dan ayam akan diberikannya padaku. Tak peduli bahkan ketika anaknya sendiri, tanteku, yang saat itu paling muda setelah aku di rumah sangat menginginkannya. 

Pernah suatu kali di masa-masa aku masih bocah, aku jatuh ke dalam parit dekat rumah Mbah Uti. Terburu-buru mengejar tontonan api unggun karena saat itu lagi mati lampu. Gelap. Sama sekali nggak ingat kalau jalan yang kukira jalan ternyata parit besar. Aku terperosok masuk dan cuma bisa menangis. Menjerit. Takut. Sakit. Mereka yang mendengar jeritan berbondong-bondong datang dan mencari keberadaanku di dalam parit. Masih kuingat sekali aku digendong kemudian dibawa pulang ke rumah Mbah Uti untuk diobati. Yangkung lah yang menyelamatkanku saat itu.

Kenangan itu terbilang cukup singkat. Aku menyesal tak bisa mengingat banyak. Jika saja aku diberikan kekuatan aneh yang bisa mengingat memori masa kecilku bersama Yangkung, aku akan sangat berterima kasih.

Tahun-tahun berlalu dan Yangkung pindah ke rumah buyut di Malang. Perjalanan 8 jam membuatnya tersiksa di dalam mobil dengan kondisi kaki dan tangannya yang terkena stroke, cukup membulatkan tekad Yangkung untuk nggak kembali merasakan perjalanan pulang ke Magetan. Dan memutuskan untuk tinggal di kota yang sama denganku, Malang.

Yangkung dan Keluarga Bapak Didik, alias bapakku

Masa tua Yangkung ternyata nggak mudah untuk dilewati. Kesepian, kesulitan, kelupaan, kebosanan, menjadi makanan Yangkung sehari-hari. Kalaupun saat lebaran rumah jadi ramai, Yangkung akan memilih duduk melamun di ruang tamu atau berangsur-angsur pindah ke kamarnya untuk istirahat. 

Pendengaran Yangkung terganggu. Untuk banyak hal ia akan mengulang sebuah pertanyaan berkali-kali walaupun kita sudah jelaskan pelan-pelan. Masih kuingat tawa renyah Yangkung yang memperlihatkan giginya yang tanggal saat Budhe cerita soal aku yang pergi ke Amerika.

Menyang Amerika?” (Ke Amerika?)

“Iya Yangkung.”

Pirang dino?” (Berapa hari?)

“Satu minggu.”

Lalu Yangkung memandangku tak percaya, dengan mata berbinarnya yang baru kusadar berwarna kebiru-abu-abuan.

Nang Amerika nganggo boso opo?” (Di Amerika pakai bahasa apa?)

“Bahasa Inggris, Yangkung.”

Lagi, Yangkung memandangku kagum sambil terkekeh. Mungkin takjub mengingat cucunya yang tidak hafal perkalian bisa pergi jauh ke negeri orang.

Ck...ck...ck... Pinterrrr,” ucapnya sambil memandang budhe dan penonton percakapan kami lainnya, kemudian tertawa.

Dialog itu berulang lima kali. Yangkung mengonfirmasi lagi dengan pertanyaan yang sama. Begitu seterusnya. Seolah ketakjubannya tak ada akhir. Percakapan lainnya pun begitu. Seperti walaupun ia sendiri kesusahan bicara dan mendengar, Yangkung dengan sangat perhatian berusaha membuka percakapan dengan kami, cucu-cucunya. Juga ingin menjawab rasa penasarannya pada dunia anak muda, barangkali. 

Gak adem to, nduk?” (Nggak dingin kah?)

“Nggak, Yangkung.”

Iku sikilmu opo ra adem?” (Itu kakimu apa nggak dingin?)

Mboten, Yangkung.” (Nggak, Yangkung)

Nyuwun sandal nang Ibuk, sikil e adem ‘ngko.” (Minta sandal ke Ibu, nanti kakimu dingin)

Atau soal behel saudara sepupuku yang mungkin adalah hal baru buat Yangkung. “Iku sing neng untumu opo?” (Itu yang di gigimu apa?). Padahal yang ditanya nggak paham Bahasa Jawa. Dialog-dialog itu nggak pernah berhenti cuma dengan sekali bertanya. Pasti Yangkung bertanya berkali-kali, manggut-manggut, kemudian nggak bosan-bosannya bertanya lagi.

Hal yang nggak pernah absen Yangkung lakukan adalah minta cium di pipi kanan dan kiri tiap kali kami menyapanya di ruang favoritnya, ruang tamu. Ia akan terkekeh sambil menarik tangan kami pelan-pelan dan menyodorkan pipinya untuk kami sambut.

Sampai nggak lama kemudian, Yangkung divonis kena serangan stroke kedua. Mulut Yangkung nggak bisa bergerak sama sekali. Bahkan kalau Yangkung melakukan rutinitasnya duduk di pelataran, air liurnya jatuh banyak mengucur membasahi bajunya karena mulutnya sama sekali nggak bisa dikontrol. Pemandangan paling pilu yang pernah kubayangkan saat itu betapa membosankannya dan menyakitkannya duduk memandang kosong menatap apa saja yang ada di depan dengan air liur menetes tanpa henti. Yangkung kehilangan suara. Jika Yangkung merasakan sakit, ia nggak akan bilang sakit. Bukan tidak mau, tapi tidak mampu. Dunianya yang sepi semakin sepi. Dingin. Tanpa perasaan belas kasih semesta yang nggak berbekas. Bahkan untuk menanggapi ceritaku saja sudah nggak bisa. Untuk bilang ia lapar saja ia tak mampu. Mau pipis juga nggak bisa bilang seperti sebelumnya. Tidurnya beralaskan perlak bayi. Yangkung kehilangan dirinya, kami kehilangan Yangkung. Sebaik apapun manusia mempersiapkan dan melakukan usaha, setinggi apapun ilmu manusia untuk mengubah nasib, kami kehilangan Yangkung. Pada akhirnya untuk selamanya.

Rangkaian cerita ini terjadi begitu tiba-tiba. Sehabis mengadakan syukuran aqiqah di rumah, semua orang bahagia. Nggak ada yang bisa menerka beberapa hari kemudian Yangkung masuk rumah sakit. Beberapa kali Yangkung dinyatakan bisa pulang, tapi di hari seharusnya ia pulang, semesta seolah nggak memperbolehkan ia pulang. Demam tinggi, masa kritis, hingga koma. Sampai ketika dokter harus memasang tabung oksigen yang lebih besar, tubuh Yangkung memberontak. Mungkin ia sendiri sudah mengikhlaskan jika ia harus pergi meninggalkan semuanya. 

Malam sebelum kabar pedih itu datang, Yangkung melihat kami semua yang hadir dengan senyuman dan kedua mata yang berbinar. Dengan tetap kebiru-abu-abuan. Sayang, kalau saja Yangkung bisa mengucap kata perpisahan, surat semesta yang datang serba dadakan itu setidaknya bisa kami beri tanda terima. Tapi senyum dan air mukanya yang bersinar kala itu mau nggak mau membuatku berpikir bahwa mungkin saja ini yang terakhir kali. Yangkung sudah cukup tua dan terlalu lama menanggung beban dunia yang merenggut masa tuanya. Mungkin ia sudah harus pergi malam itu, hingga ia sadar ada seseorang yang belum Yangkung lihat batang hidungnya. Istri tercinta. Yangti sempat sakit dan anak-anaknya memaksanya pulang untuk istirahat. 

Kalau saja matanya bisa terbuka lagi untuk melihat Yangti untuk terakhir kali, Yangkung akan jadi manusia paling bahagia kala itu. Jika memang harus berpisah, perpisahannya terasa lengkap. Tapi semesta selalu punya rencana. “Aku ikhlas, Mas.” Yangti membisiknya pelan tepat di telinga ketika Yangkung sudah dalam kondisi koma. Tangisan pecah dan aku yang datang terlambat tak sempat menceritakan hal menakjubkan yang akan membuat Yangkung terkekeh seperti sedia kala. Yang kutemui hanya jasad Yangkung, tak yakin apakah jiwanya masih ada di ruangan itu atau sudah buru-buru pergi. Dengan hati-hati kubisikkan sambil kuelus tangannya yang sudah disedekapkan,”Yangkung, Nanda ke Amerika lagi.”






Dari cucu pertama Yangkung
Maaf sudah membuat Yangkung kesepian dan terkungkung

No comments:

Post a Comment