Pertanyaan
ini mengingatkan gue sama berita hot yang baru-baru ini tersebar di penjuru
Inggris dan Tanah Air. Tentang kasus Reynhard Sinaga, a rapist who are gay, yang didapuk sebagai serial rapist dengan kasus paling ganas dalam sejarah UK.
Gue
nggak akan membahas soal perilaku seksual dia dan kasus dia at all karena kalian semua pasti udah
baca di media-media yang ada. Berita yang mencengangkan hingga Istana pun ikut
dibuat geram ini kalau mau dilihat dari perspektif yang lain bisa jadi sumber
pembelajaran buat kita semua. Tentang how
important schools engage in character education.
MORALS & HUMAN DECENCY
Usut
punya usut, Reynhard Sinaga ini adalah mantan PhD scholar yang kuliah di Leeds University, UK. Yang mau gue highlight disini adalah bukan pada
kampusnya tapi pada fakta bahwa dia sebenarnya orang intelek. Orang pintar. Ya masa
masuk Leeds Uni, dia bego? Pinter dong. Tapi ternyata pintar aja nggak cukup.
Makanya orang bijak sering bilang, ilmu yang paling tinggi adalah ilmu yang
beradab.
It doesn't matter how
academically smart you are, if your foundations of morals and basic human
decency are non-existent you'd still turn out to be a monster.
Waktu menulis ini juga gue jadi ingat kasus tahun lalu yang juga
pernah ramai-ramainya. Tentang murid yang ngasarin gurunya karena guru menghukumnya
akibat nggak ngerjain PR/mengikuti peraturan sekolah. Banyak kasus dan gue
yakin kalian juga pada ngikutin.
Ada hal yang mau gue point
out. Orang tuh kadang suka banget mengeneralisasi sesuatu. Misalnya ketika
ada seorang guru yang emang kelakuannya bejad dan tidak bisa dibenarkan, misalnya
melakukan pelecehan seksual ke muridnya. Itu nggak cukup membuat kita berpikir
bahwa semua guru begitu, kan? Lalu dengan seenaknya membawa kasus yang dulu pas
jaman gue sekolah biasa aja (dihardik/dihukum karena nggak ngerjain PR) ke meja
pengadilan. Lah buat apa? Anakmu lho pak, bu nggak bisa dididik. Duh, kesel!
Menurut gue pribadi, penting bagi sekolah untuk ngajarin pendidikan
karakter supaya anak-anak masa depan harapan Indonesia ini nggak kehilangan
moralnya. Teknologi boleh canggih, otak boleh pintar, tapi kalau nggak punya basic skill sebagai manusia lalu buat
apa? Kan kita kerja jadi manusia.
Ditambah lagi, banyak orang tua jaman sekarang yang dipaksa,
terpaksa, atau memaksa untuk bekerja terus menerus, 9-5 or even more dan mereka nggak punya banyak waktu untuk mengajari
anak-anaknya tentang perbedaan mana yang baik dan yang benar. Jika sekolah bisa
mengajarkan apa yang anak-anak harus tau, the
world maybe a better place. Sayangnya manusia sekarang juga nggak semuanya
punya moral yang baik. Bayangkan kalau orang tua kalian adalah pencuri. Mungkin
kalian akan tumbuh dan menganggap mencuri adalah perbuatan yang diterima. Nah, pendidikan
moral bisa berperan disini.
Balik ke wacana mengeneralisasi, untuk segala hal termasuk
kasus terorisme yang mengatasnamakan muslim juga kita nggak bisa menganggap
semua muslim begitu. Yeah they're
terrorists who are Muslim, but they don't represent all of us, please don't
generalize.
Nah,
si Reynhard ini juga banyak diberitakan bahwa dia orang baik dan rajin
beribadah ke gereja. Kita juga jadi nggak bisa menganggap orang yang taat
beribadah adalah orang yang paham mana yang salah, mana yang benar. Termasuk
jika kita melihat orang yang tatoan, ngerokok, minum, eh baiknya ternyata luar
biasa nggak dibuat-buat.
Dari
kasus ini juga kita jadi belajar bahwa ternyata nggak melulu perempuan yang
selalu jadi korban. Laki-laki pun juga bisa jadi korban sexist, pelecehan seksual, dan tindak kekerasan yang menentang HAM
lainnya.
FOKUS KE KORBAN
Gue
kenal seseorang yang kena sexual
harrasment. Dia dibius hingga tak sadarkan diri, kayak orang pingsan, dan
di-raped di sebuah taman. Pelakunya
ada empat orang dan mereka adalah orang-orang yang ia kenal. Dia dipukuli
hingga badannya memar dan luka-luka. Bisa kalian bayangin setakut apa dia saat
itu? Atau ketika ia sadar dan melihat dirinya udah nggak lagi sama? Bisa kalian
bayangin setrauma apa dia bahkan gak ada yang bisa jamin kapan trauma itu akan
hilang?
Tebak
apa yang keluarganya katakan saat setelah berminggu-minggu kemudian ia
bercerita tentang kejadian itu.
“Kok
kamu gak lapor polisi, sih?”
“Kenapa
kamu diem aja?”
“Kenapa
kamu nggak ngelawan?”
“Makanya
jangan ganjen, kamu pakai baju juga terbuka gitu.”
“Kalau
aku jadi kamu, aku pasti bakal teriak.”
“Apa
betul kamu kena sexual assault? Logikanya
kan kalau kamu merasa violated, ya
kamu lapor. Kemarin-kemarin kemana aja?”
Bahkan
ada salah satu anggota keluarganya yang nyeletuk,
“Ini
beneran? Apakah ini cuma drama yang dia ada-adain aja?”
Instead of kita berempati terhadap apa
yang korban rasakan, kita lebih fokus sama apa yang korban harusnya lakukan. Kita
jadi meng-underestimate apakah iya
kita akan berlaku demikian ketika kita dihadapkan sama kejadian yang serupa?
Betul. Initial thoughts kita pasti
akan membuat kita berpikir reaktif pada kejadian tersebut, tapi jangan lupa
bahwa kita punya fear atau rasa
takut. Apalagi kalau yang ngomong begini adalah orang-orang yang memang bekerja
pada institusi yang seharusnya jadi pelindung warga negara. Yang perlu dipahami
adalah human cognition itu state-dependent atau tergantung sama
kondisi mental dia saat itu.
Termasuk
ketika masuk ke meja pemberitaan. Banyak berita yang lebih mengulik korban
daripada mengorek pelaku. Nama—kadang inisial, sekolah dimana, alamat rumah, dan
informasi pribadi lainnya. Bahkan banyak juga yang memberitakan keluarga
korban, termasuk fotonya juga. Dalam hal ini kita bisa ambil pelajaran dari
media-media di Inggris yang sama sekali tidak boleh mem-posting berita tentang identitas korban kecuali korbannya sendiri
yang berkenan.
Btw,
kok pembahasannya jadi kemana-mana ya? Pokoknya begitu, simpulin sendiri aja
deh ya.
Semoga
bermanfaat aja deh! Hihi.
No comments:
Post a Comment