Belajar dari Kasus Reynhard Sinaga - Lagi Monolog

Saturday, January 11, 2020

Belajar dari Kasus Reynhard Sinaga

Ada satu pertanyaan pada sesi speaking test TOEFL iBT yang baru-baru ini gue selesaikan. Begini pertanyaannya: should schools engage in character education to instill morals and values in children? Pertanyaan yang kata si pembuat soalnya ‘familiar topics’ ini cukup membuat gue berpikir dalam. Walaupun kalau kata yang ngasih tips menjawab soal speaking sih, nggak usah terlalu mikir tentang argumennya. Nggak harus benar. Yang penting menjawab dengan runtut dan jelas ide pokok pikirannya apa.

Pertanyaan ini mengingatkan gue sama berita hot yang baru-baru ini tersebar di penjuru Inggris dan Tanah Air. Tentang kasus Reynhard Sinaga, a rapist who are gay, yang didapuk sebagai serial rapist dengan kasus paling ganas dalam sejarah UK.

Gue nggak akan membahas soal perilaku seksual dia dan kasus dia at all karena kalian semua pasti udah baca di media-media yang ada. Berita yang mencengangkan hingga Istana pun ikut dibuat geram ini kalau mau dilihat dari perspektif yang lain bisa jadi sumber pembelajaran buat kita semua. Tentang how important schools engage in character education.

MORALS & HUMAN DECENCY
Usut punya usut, Reynhard Sinaga ini adalah mantan PhD scholar yang kuliah di Leeds University, UK. Yang mau gue highlight disini adalah bukan pada kampusnya tapi pada fakta bahwa dia sebenarnya orang intelek. Orang pintar. Ya masa masuk Leeds Uni, dia bego? Pinter dong. Tapi ternyata pintar aja nggak cukup. Makanya orang bijak sering bilang, ilmu yang paling tinggi adalah ilmu yang beradab.

It doesn't matter how academically smart you are, if your foundations of morals and basic human decency are non-existent you'd still turn out to be a monster.

Waktu menulis ini juga gue jadi ingat kasus tahun lalu yang juga pernah ramai-ramainya. Tentang murid yang ngasarin gurunya karena guru menghukumnya akibat nggak ngerjain PR/mengikuti peraturan sekolah. Banyak kasus dan gue yakin kalian juga pada ngikutin.

Ada hal yang mau gue point out. Orang tuh kadang suka banget mengeneralisasi sesuatu. Misalnya ketika ada seorang guru yang emang kelakuannya bejad dan tidak bisa dibenarkan, misalnya melakukan pelecehan seksual ke muridnya. Itu nggak cukup membuat kita berpikir bahwa semua guru begitu, kan? Lalu dengan seenaknya membawa kasus yang dulu pas jaman gue sekolah biasa aja (dihardik/dihukum karena nggak ngerjain PR) ke meja pengadilan. Lah buat apa? Anakmu lho pak, bu nggak bisa dididik. Duh, kesel!

Menurut gue pribadi, penting bagi sekolah untuk ngajarin pendidikan karakter supaya anak-anak masa depan harapan Indonesia ini nggak kehilangan moralnya. Teknologi boleh canggih, otak boleh pintar, tapi kalau nggak punya basic skill sebagai manusia lalu buat apa? Kan kita kerja jadi manusia.

Ditambah lagi, banyak orang tua jaman sekarang yang dipaksa, terpaksa, atau memaksa untuk bekerja terus menerus, 9-5 or even more dan mereka nggak punya banyak waktu untuk mengajari anak-anaknya tentang perbedaan mana yang baik dan yang benar. Jika sekolah bisa mengajarkan apa yang anak-anak harus tau, the world maybe a better place. Sayangnya manusia sekarang juga nggak semuanya punya moral yang baik. Bayangkan kalau orang tua kalian adalah pencuri. Mungkin kalian akan tumbuh dan menganggap mencuri adalah perbuatan yang diterima. Nah, pendidikan moral bisa berperan disini.

Balik ke wacana mengeneralisasi, untuk segala hal termasuk kasus terorisme yang mengatasnamakan muslim juga kita nggak bisa menganggap semua muslim begitu. Yeah they're terrorists who are Muslim, but they don't represent all of us, please don't generalize.

Nah, si Reynhard ini juga banyak diberitakan bahwa dia orang baik dan rajin beribadah ke gereja. Kita juga jadi nggak bisa menganggap orang yang taat beribadah adalah orang yang paham mana yang salah, mana yang benar. Termasuk jika kita melihat orang yang tatoan, ngerokok, minum, eh baiknya ternyata luar biasa nggak dibuat-buat.

Manusia memang semakin rumit dengan segala persoalannya, ya?



Source: twitter.com

Dari kasus ini juga kita jadi belajar bahwa ternyata nggak melulu perempuan yang selalu jadi korban. Laki-laki pun juga bisa jadi korban sexist, pelecehan seksual, dan tindak kekerasan yang menentang HAM lainnya.


FOKUS KE KORBAN

Gue kenal seseorang yang kena sexual harrasment. Dia dibius hingga tak sadarkan diri, kayak orang pingsan, dan di-raped di sebuah taman. Pelakunya ada empat orang dan mereka adalah orang-orang yang ia kenal. Dia dipukuli hingga badannya memar dan luka-luka. Bisa kalian bayangin setakut apa dia saat itu? Atau ketika ia sadar dan melihat dirinya udah nggak lagi sama? Bisa kalian bayangin setrauma apa dia bahkan gak ada yang bisa jamin kapan trauma itu akan hilang?

Tebak apa yang keluarganya katakan saat setelah berminggu-minggu kemudian ia bercerita tentang kejadian itu.
“Kok kamu gak lapor polisi, sih?”
“Kenapa kamu diem aja?”
“Kenapa kamu nggak ngelawan?”
“Makanya jangan ganjen, kamu pakai baju juga terbuka gitu.”
“Kalau aku jadi kamu, aku pasti bakal teriak.”
“Apa betul kamu kena sexual assault? Logikanya kan kalau kamu merasa violated, ya kamu lapor. Kemarin-kemarin kemana aja?”

Bahkan ada salah satu anggota keluarganya yang nyeletuk,
“Ini beneran? Apakah ini cuma drama yang dia ada-adain aja?”

Instead of kita berempati terhadap apa yang korban rasakan, kita lebih fokus sama apa yang korban harusnya lakukan. Kita jadi meng-underestimate apakah iya kita akan berlaku demikian ketika kita dihadapkan sama kejadian yang serupa? Betul. Initial thoughts kita pasti akan membuat kita berpikir reaktif pada kejadian tersebut, tapi jangan lupa bahwa kita punya fear atau rasa takut. Apalagi kalau yang ngomong begini adalah orang-orang yang memang bekerja pada institusi yang seharusnya jadi pelindung warga negara. Yang perlu dipahami adalah human cognition itu state-dependent atau tergantung sama kondisi mental dia saat itu.

Termasuk ketika masuk ke meja pemberitaan. Banyak berita yang lebih mengulik korban daripada mengorek pelaku. Nama—kadang inisial, sekolah dimana, alamat rumah, dan informasi pribadi lainnya. Bahkan banyak juga yang memberitakan keluarga korban, termasuk fotonya juga. Dalam hal ini kita bisa ambil pelajaran dari media-media di Inggris yang sama sekali tidak boleh mem-posting berita tentang identitas korban kecuali korbannya sendiri yang berkenan.



Btw, kok pembahasannya jadi kemana-mana ya? Pokoknya begitu, simpulin sendiri aja deh ya.
Semoga bermanfaat aja deh! Hihi.

No comments:

Post a Comment