Fix! Millennials Nggak Bisa Beli Rumah - Lagi Monolog

Saturday, February 23, 2019

Fix! Millennials Nggak Bisa Beli Rumah



Setiap piket, teman-teman di Ei Lab (Entrepreneurship and Innovation Laboratory) wajib membahas sesuatu dalam forum diskusi kecil. Hari itu diskusi dipimpin oleh Isra dan Oji. Walaupun nggak jelas juga yang mimpin diskusi siapa. Anggap saja begitu. Topik yang mereka bahas, yang menurut gue menarik adalah “Kapan millennials punya rumah?”. Sungguh sebuah pertanyaan menohok kalau kita kuat mental nengok kantong, isi ATM, dan fakta-fakta pahit di lapangan.


Kenapa?


Bayangkan saja. Jumlah penduduk Indonesia yang berusia di bawah 34 tahun sudah mencapai hampir 60 persen dari total jumlah penduduk. Dengan hitungan kasar, harga rumah dan apartemen menunjukkan kenaikan pertumbuhan 7 persen hingga 10 persen. Sementara itu, dari sisi pendapatan hanya meningkat sebesar 3 persen sampai 5 persen saja. Itu pun cuma di posisi tertentu dan nggak terjadi setiap tahun. Bisa disimpulkan. Pendapatan stagnan, harga properti makin mahal, jadi makin nggak kebeli. Inilah problem mendasar, sehingga generasi millennials makin sulit beli rumah. Fakta pahitnya lagi, lo cuma akan jadi nol koma sekian persen dari 60 persen tadi. Sedangkan tinggal berapa sisa lahan yang ada nanti buat nampung semua millennials itu?


Nah, hasil diskusi yang gue curi dengar dari Isra dkk saat piket berlangsung, millennials baru bisa beli rumah 15 tahun kemudian. Entah cash atau kredit. Itupun dengan gaji 10 juta rupiah. Sedangkan gaji rata-rata generasi ini adalah 7 juta rupiah. Lagi. Itupun dengan catatan si millennial ini nanggung biaya pribadi doang. Artinya belum menikah. Oh shit. Makin susah aja kan. Nggak mungkin juga dong ingin menjomblo terus selama 15 tahun dan nggak nikah-nikah? Belum lagi soal inflasi. Bahkan krisis ekonomi yang siapa tahu dateng saat lagi nabung buat beli rumah.


MINDSET

Berdasarkan analisa gue sebagai millennials juga, masalah utamanya bukan pada gaji. Jika itu dianggap sebagai satu-satunya sumber pendanaan buat beli rumah. Millennial susah punya rumah karena M-A-N-J-A. Ya. Manja. Mereka lebih mementingkan gaya hidup. Nggak mau dianggep nggak gaul karena nggak nongkrong chill bareng teman-teman. Keluar gadget baru, nggak mau ketinggalan. Intinya lebih mengedepankan membeli keperluan yang nggak mendesak seperti baju baru, koleksi tas, borong case handphone (kalo yang ini gue banget), dll. Alhasil masih banyak juga mereka yang seharusnya sudah pada tahap bisa punya rumah sendiri, memilih tinggal bareng orang tua. Ada juga yang memang bisa beli rumah, tapi itupun karena dibeliin orang tua.


Ali Tranghanda, pengamat properti dari Indonesia Property Watch (IPW) pernah mengatakan bahwa dengan penghasilan 7 juta sebenarnya millennials bisa beli hunian seharga 300 jutaan di pinggiran Kota Jakarta. Sayangnya masih banyak mindset yang “jiper” kalo punya rumah di pinggiran Jakarta. Maunya di Pusat Kota, bagus, murah. Susah deh. Maunya banyak, tapi manja.


Menabung memang solusi yang tepat. Tapi kalo kebutuhan makin naik dan pemasukan segitu-gitu aja, apa yang mau ditabung?


BEYOND THE LIMIT

Di sisi lain, nyadar nggak sih kalo tren di dunia ini semakin aneh? Rasanya kalo ada dari kalian yang baca ini masih berpikiran bahwa “pekerjaan” adalah sesuatu yang cuma bisa dilakukan di kantor-kantor... duh. Coba keluar, lihat dunia.


Kayaknya nggak ada deh yang nggak bisa di-uangin. Dulu. Gue punya temen deket nih cowok. Suka banget ke warnet kalo pulang sekolah atau sembari nunggu jadwal les dimulai. Diem-diem dia suka dapet rezeki nomplok cuman dari jualan char dia ke sesama gamers. Itu dulu. Sekarang kondisinya makin menjadi-jadi coy. Banyak orang yang bisa beli mobil, rumah, kapal pesiar. Kalo ditanya apa pekerjaannya? Gamers. Begitu pun dengan selebgram, vloggers, bahkan bloggers. “Gaji”nya bisa lebih dari 10 kali lipatnya yang jadi manajer atau karyawan kantoran!


Ada cerita konyol sih. Gue bahkan pernah dapet duit ratusan ribu cuma dengan nyediain jasa upload foto ke Shopee dan hapus foto di Instagram. Come on. Pekerjaan ini bahkan nggak perlu skill apapun selain perlu nguatin jempol aja. Bahkan sambil merem pun gue bisa. Pen nangis nggak kalo tau cari duit segampang itu.


Temen gue. Besar dari investasi. Dia mengaku nggak pandai berbisnis. Alih-alih memutar uang melalui active income, dia merasa lebih punya passion di bidang investasi. Jadi tiap dia punya duit, dibelikan aset berupa saham dan reksadana. Walaupun jumlahnya minim, angkanya tetap bergerak. Teman lainnya mengaku pernah investasi sebanyak 5 juta, sebulan-dua bulan kemudian dapat 50 juta dari perdagangan cryptocurrency. Gila nggak.


Semalam seorang teman datang berkunjung ke Ei Lab. Gue panggil dia Mas Faza. Dia cerita banyak soal kekecewaan dan rasa takjub yang dia rasain ketika lulus. Kalo sebenarnya banyak banget hal yang dia sesali nggak dia pelajari saat semasa kuliah dulu. Mungkin ada banyak hal yang-sudah-dia-sadari, tapi menolak dia latih dengan anggapan “ah, nanti aja belajarnya”.


Contoh sederhananya adalah kemampuan menulis. Satu skill dasar ini aja, kita bisa menghasilkan uang. Banyak jenis pekerjaan yang bisa kita lakukan, misalnya jadi content writer, blogger, bahkan jadi penulis lepas pun ada “cuan”nya, kalo dia bilang. Pernah lihat nggak sih ada e-book bertebaran di internet yang ditulis oleh penulis indie? Orang-orang pun bisa beli buku tersebut secara bebas di internet. Ada duitnya coy!


Persaingan di dunia ini yang makin menyakitkan, jangan ditambah dengan sikap manja dan acuh begitu intinya. Belajarlah dimana saja. Kepada siapa saja. Kemudian bagikan untuk siapa saja. Dari obrolan dengan Mas Faza yang singkat tapi bernilai itu gue bisa menyimpulkan bahwa keadaan di luar sana itu gila. Kalo gue jadi manusia yang biasa aja, nerima input cuma pas dikasih doang, apatis, nggak kreatif, pasrah, meeenn gue bakal mati dimakan peradaban.


Gila ya. Gue bener-bener baru ngeh bahwa dunia tuh se-dinamis ini. Usia “bekerja” makin kabur. Karena bikin video TikTok aja bisa dianggap sebagai sebuah pekerjaan. Gue yakin dan pasti udah dimulai. Nanti ketika calon mertua lo tanya “Nak, pekerjaannya apa?”, lo akan bingung ngejawabnya. Karna yang lo kerjain random banget. Pun saat lo punya anak dan dia harus ngisi biodata orang tua di bagian “pekerjaan”.


Ah, jadi nggak ada alasan ya buat lo, para millennials, termasuk gue lagi ngomong ke diri sendiri, untuk ngeluh nggak punya duit. They pay you for your creativity and innovation.


Balik lagi ke judul tulisan ini. Jadi sekarang punya alasan nggak buat kalian para millennials untuk nggak bisa beli rumah?



-
Ditulis oleh seorang millennial untuk kawanku para millennials.





1 comment: