Ah, Gitu Aja Baper! - Lagi Monolog

Saturday, January 12, 2019

Ah, Gitu Aja Baper!





 Akhir-akhir ini gue kepikiran buat bikin categories baru di blog ini. Setelah mikir sana-sini, gue dapet ide bikin tag “slang words”. Kayanya seru aja gitu ngebahas soal slang words yang sering dipake buat kosakata sehari-hari plus gue tambahin opini atau fenomena tentang kata tersebut. Termasuk yang mau gue share kali ini tentang “baper”.

Baper ini muncul from nowhere. Di KBBI udah pasti nggak ada. Kalo kita tanya sama generasi atas, kayanya mereka juga nggak familiar deh dengan kata ini. Gue juga nggak ngerti sih darimana gue familiar dengan kata ini. Tapi, biasanya slang words banyak bersumber dari aktivitas di sosial media yang kemudian diterapkan sebagai kata sehari-hari buat berkomunikasi dengan sesama teman.

Baper ini ternyata singkatan dari “bawa perasaan”. Yah, gue yakin pasti kalian yang baca ini udah tau lah ya. Jadi gue langsung aja ke duduk perkara.

Haha, ya nggak perkara juga sih...

Pokoknya, baper ini biasanya digunakan buat konteks respon atas suatu tindakan yang responnya itu pake perasaan. The thing is, perasaan kan bisa macem-macem ya. Perasaan ini outputnya berupa emosi. Emosi pun nggak cuma marah, tapi sedih dan seneng juga emosi. Gue kasih contoh. Misal, gue naksir seorang cowok di kampus. Suatu hari tuh cowok nyamperin gue dan say hello. Udah pasti gue melayang dong! Biasanya dalam keadaan seperti itu kata baper digunakan. Padahal belum tentu juga dia cuma nyapa gue doang, di belakang gue tuh cowok nyapain semua orang. Biasanya dalam keadaan seperti ini temen gue bisa bilang, “woy, jangan baper. Tuh cowok gay.” End.

 Di lingkungan gue, kata baper sering juga dipake buat ngingetin atau melabeli seseorang yang suka tersinggung sama sesuatu, overthinking, dan sensitif banget. Contohnya, ketika rapat organisasi kan biasanya ada sesi evaluasi. Nah, seseorang maju untuk mengevaluasi seseorang lainnya. Sebenarnya tujuan dia ini bagus, ya tentunya buat perbaikan orang tersebut dan mengingatkan semua orang disana buat tidak melakukan hal yang serupa. Tapi, seseorang yang sedang dievaluasi ini merasa dunia sedang menghakiminya. Dia jadi sensi dan overthinking. Skenario ini juga bisa kita sebut baper.


 


Umumnya, seseorang yang sering dibilang teman-temannya baperan ini bakal membela diri dan bilang bahwa baper adalah hal yang positif. Karena nggak mungkin seorang human being nggak punya perasaan. Manusia seolah nggak bakal bisa dibilang “hidup” kalo mereka nggak punya perasaan yang dilibatkan atau nggak sengaja terlibat saat sedang menjalani kehidupan. Contohnya ketika ada bapak-bapak kurus, tua renta, lagi jalan keliling kota jualan semangka pakai kayu pemanggul yang diletakkan di pundak, dan semangkanya masih banyak. Perasaan kita harusnya hanyut terbawa dan akhirnya bergerak untuk membantu orang tersebut. Hal lain yang levelnya lebih mudah buat dipahami adalah ketika seseorang lagi nonton talkshow, eh kebetulan narasumbernya lagi ngomongin hal yang sedih-sedih, yang nonton jadi ikutan nangis.

Sebenarnya, karena sebuah kata nggak diatur dengan jelas meaning-nya, semua perspektif tuh nggak ada yang salah dalam ngartiin kata tersebut. Dalam konteks baper, emosi, seperti yang gue bilang itu adalah sesuatu yang luas artinya. Emosi bisa berupa respon apa aja, marah, nangis, seneng, sedih, trenyuh, dll. Semua ini cuma tentang perspektif. Kata “baper” sendiri memang nggak melulu tentang suatu hal yang negatif, bisa juga loh dipake dalam konteks seseorang yang punya empati. Hal yang penting disini adalah: memahami konteks. Kalo lo dibilang baper, ya nggak bener juga kalo langsung nolak mentah-mentah padahal tujuannya misal ngingetin lo buat thinking on what really matters. Nggak semua hal kan bisa kita lihat pake mata sendiri. Kita butuh perspektif.

Bahasa Indonesia itu kaya. Saking kayanya, banyak kata yang akhirnya punya makna ganda dari berbagai segmen konteks. Coba kalo baper itu di bahasa inggris-in. Bahasa Inggris lebih punya konteks pembeda yang jelas: positif dan negatif. Walaupun spektrum artinya bisa ganda, setidaknya kita terbantu sama konteks positif dan negatif itu dalam memaknai segala hal. Now, I understand that being compassionate is better than being susceptible. Gue jadi ngerti bahwa konteks baper yang dipake orang-orang tuh bisa dipecah. Menjadi compassionate atau peka, akan selalu lebih baik daripada menjadi susceptible atau mudah tersinggung. Sayangnya baper nggak punya konotasi yang beda untuk setiap kalimat. Yaaa....saling ngerti aja lah.





No comments:

Post a Comment