Labelling, Sanksi Sosial atau Penyakit Hati? - Lagi Monolog

Saturday, January 20, 2018

Labelling, Sanksi Sosial atau Penyakit Hati?

Saat itu bulan November, gue baru aja pulang dari Malaysia setelah perjalanan panjang gue dari Malang-Depok-Malaysia atas jawaban dari usaha dan doa gue selama ini.


Sesampainya gue ke Malang, gue dihadapkan sama komunitas yang ternyata hobi men-cap sesama manusia lainnya. Secara tiba-tiba, gue keinget sama pelajaran sosiologi di SMA dulu. Bahwa ada suatu sanksi sosial di masyarakat namanya labelling. Suatu kondisi yang memberikan label pada suatu kelompok atau individu karena telah berperilaku menyimpang. Anehnya, makin kesini orang lain udah nggak butuh perilaku menyimpang untuk memberikan label kepada manusia lainnya. Apapun yang dilakukan seseorang, yang nggak sesuai sama pandangan kita, akhirnya dianggap layak untuk diberi label yang sepadan. Malah di banyak kasus, mereka yang memberi label ini sebenernya cuma iri dengan apa yang dipunya oleh orang yang dilabeli. Gue sering banget menemui orang-orang demikian, dan utamanya yang bisa kena "sindrom" ini adalah wanita. Mungkin juga termasuk gue sendiri, tanpa sadar. Makanya gue bikin tulisan ini buat jadi pengingat bahwa gue nggak boleh jadi seperti apa yang gue tulis di bawah.


Pulangnya gue dari Malaysia kemarin nggak terlalu berarti banyak buat gue. Dalam hal ini gue nggak mau merasa cepat puas dan harus bisa lebih banyak membawa prestasi dalam hidup. Tapi, gue selalu ingat untuk terus bersyukur agar bisa senantiasa rendah hati dan belajar dari siapapun. Karena gue sadar, gue masih belum cukup mencapai apapun untuk dijadikan bekal di kehidupan nyata nanti. Nggak sedikit orang yang mulai memberi predikat ke gue sebagai glory hunter atau pencari kejayaan. Gue cuma dianggap ngejar predikat-predikat aja. Selain itu, yang lainnya menganggap gue sebagai seorang yang opportunist. Well, gue sebenernya mengakui ini. Lebih baik di cap opportunist daripada ambisius. Tapi ya gitu.  Karena hidup itu singkat dan harus dimanfaatkan baik-baik dengan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang datang. Hidup itu pencarian dan bagaimana cara gue mencari apa hidup gue adalah dengan membuka tiap pintu yang ada. Begitulah cara kerja logisnya menurut gue. Ketika kita nggak melakukan apapun, nggak buka pintu yang ada, kita nggak bakal pernah tau apa yang ada di balik pintu itu. Selain itu karena pada dasarnya prinsip hidup gue adalah "be productive, because if you do nothing, the only thing you do is wasting money".


Berangkat dari prinsip yang demikian, sebisa mungkin gue harus melakukan sesuatu. Apapun itu yang bermanfaat. Gue ikut kegiatan sosial sana-sini, volunteering experiences, jadi Ketua Project, bikin project sosial sendiri, ngegambar kartun, baca buku, nonton TEDx, nonton berita-berita dunia, dengerin podcast, sampe segabut nonton film cuma karena mau belajar bahasanya. Gue yakin gue nggak sendirian, karena banyak temen gue yang bahkan udah magang di startup gede 2-3x, jadi konsultan, dapet investasi sana-sini, jadi duta, dll. Dan gue yakin banget where your accomplishment is, where the label comes with you. Entah itu positif atau negatif.


Gue punya temen yang udah jadi speaker sana sini. Tapi, banyak yang nggak suka sama dia. Dibilang ngibul lah, hiperbola, dll. Ada juga misal temen gue yang hobi belanja bareng pacar di luar kota. Orang lain melabeli dia sebagai "tukang shopping yang hobi habisin gaji pacar", since pacar dia udah kerja. Well, sebenernya jahat banget gak sih? The point is kadang-kadang sebenernya kita cuma nggak kenal aja mereka-mereka ini orang yang kaya gimana. Orang-orang terlalu males untuk sedikit aja mikir dari perspektif yang beda. Bukan dari standar dan prinsip-prinsip yang dia punya, melainkan bisa dilihat dari the clarity of why seseorang melakukan itu. Bukan dari kata per kata, tapi dari konteks kalimatnya. Misal, kita nggak sengaja ketemu temen lama. Trus temen kita itu nggak nyapa. Kenapa sih semudah itu kita cap dia sombong? Padahal kan kita bisa sapa duluan.


Labelling ini makin hari makin bebas di sosial media. Duh gue sedih banget kalo baca kolom komentar yang nggak jarang mampir ke Instagram temen-temen gue yang posting foto mereka. Ada aja deh pokoknya. Memang label itu muncul dari apa yang telah kita lakukan. Dan dengan dunia yang makin aneh sekarang ini, orang udah nggak butuh penyimpangan untuk dapet label. Cuma tinggal lihat apa aja sih yang nggak sesuai sama diri kita, trus kita cap aja dia seenak jidat. Misalnya kita nggak nganggep IP adalah sesuatu yang penting, jadi kita sering ikut pelatihan practical skill gitu ya. Lantas apakah dengan mudah kita labeli teman kita yang Kupu-Kupu dengan label "Ansos"? Mungkin label itu bisa aja nggak berdampak buat dia. Tapi, siapa tau malah menyakiti hati dia? Apalagi kalo label itu ditambah dengan keterangan-keterangan pendukung lain. Siapa yang tau kalau sebenernya dia lagi susah, atau sebenarnya dia punya pekerjaan sampingan? Apakah standar kita mengenai IP tadi bisa jadi dasar penilaian anak yang Kupu-Kupu ini sebagai orang yang nggak sama sekali memperhatikan sekitarnya?


Udah deh, gue ngomong ngalor ngidul kan. Intinya, jangan sampai gue menjadi orang yang gampang menilai seseorang dari sisi yang gue lihat doang. Apalagi sampai men-cap orang tersebut dengan hal-hal yang negatif. Sejujurnya gue nggak suka diberi label tertentu, walaupun itu positif. Karena itu beban buat gue. Di lain sisi, yah gue harus menjadikan label itu sebagai motivasi untuk jadi semakin baik di setiap harinya.

No comments:

Post a Comment