PROFESIONALISME : BERMAIN PERAN DI SEGALA SITUASI - Lagi Monolog

Saturday, August 26, 2017

PROFESIONALISME : BERMAIN PERAN DI SEGALA SITUASI

Beberapa waktu belakangan, gue coba iseng sharing di Instagram gue tentang profesionalitas versi gue. Gue Cuma menyimpulkan dari pengalaman gue dalam mengelola kehidupan sosial dan keorganisasian gue selama kuliah. Yah, kira-kira selama 2 th kebelakang lah. Lalu tanpa gue sangka-sangka ternyata feedback yang gue dapet banyak banget dari snapgram yang gue share tersebut. Gue jadi berpikir untuk membahas ini lebih dalam lagi.

Biasanya profesionalitas identik dengan bagaimana kita mengelola something based on its priority. Nah prioritas itu tergantung dengan bobot dan tingkat urgency-nya. Oke, intinya profesionalitas yang gue percayai selama ini identik dengan the way you pick some condition based on its priority and urgency. From the highest to the lowest scale of it. Namun, makin lama gue ngerasa bahwa profesionalitas itu nggak cuma sekedar gimana gue mengerjakan sesuatu berdasarkan kedua hal di atas. Ada beberapa hal lain yang bisa gue ceritain disini as my conclusion selama sepak terjang gue berkehidupan sebagai makhluk sosial.

Karena gue masih anak kemaren sore dan masih mahasiswa. Gue bakal pake perspektif mahasiswa buat ceritain ini.

Mahasiswa kan identik dengan segudang kegiatan. Kadang kita ngerasa stres banget kalo satu pekerjaan belum selesai atau ngalamin suatu kendala. Nah, biasanya ketika masalah yang ini belom kelar, dateng lagi masalah yang lain. Numpuk. Banyak. Trus nggak kelar-kelar. Belom lagi tuntutan hidup daaan masalah lain-lainnya. Nah, disini butuh banget yang namanya manajemen stress. Ini yang gue bilang merupakan aspek profesionalitas versi gue. Mengapa penting? Biar kita nggak mencampur-adukkan segala masalah. Kalo ada kendala di organisasi A misal, jangan sampe kita bawa-bawa itu ke lain-lain tempat. Yang ada kita cuma bakal nyebarin masalah yang sama ke tempat lain. Bukannya kelar, eh malah bikin masalah. That’s so damn bad!

Selain itu ada tingkatan yang lebih tinggi lagi tentang profesionalitas ini. Gue sebut sebagai manajemen hati, yaitu nggak mencampur-adukkan masalah kerjaan dengan masalah personal. Most of my friend said that was so difficult to be implemented. Contohnya ketika kita nggak suka sama cara kerja rekan kita, yaudah. Bukan berarti ntar pas ke kantin kita nggak mau satu meja sama dia kan? Atau sebaliknya. Ketika kita ngrasa nggak cocok sama personality orang lain, bukan berarti kita punya hak untuk mengintimidasi dia di tempat kerja kan? Semua itu ada batas-batasnya.

Mungkin ini bakal susah untuk diimplementasi, tapi really, sebenernya konsepnya ringan banget. Kita harus mulai yakin dan start to think that :
“What happens here stays here.”

That’s the one and only rule yang berhasil banget gue terapin. Mungkin beberapa temen gue ngerasa sulit karena emang belom terbiasa. Mungkin sulit karena kita masih berpegang teguh pada ego kita masing-masing. Disini perlu banget yang namanya skill bermain peran. Salah satu indikasi diri kita punya skill leadership adalah bisa bermain peran. Pretend like nothing happen di tempat sebelah padahal di tempat sebelahnya lagi ampe pusing nangis-nangis. Tapi, dengan begitu, percaya deh. Kadar stres dalam otak kita tuh nggak akan berkembang biak.

Yaaa intinya profesionalitas itu juga terkait sama batas-batas tertentu. Nggak semua hal bisa dibawa-bawa ke hal lain. Nggak semua yang salah di satu sisi bakal salah di sisi lainnya. Yang ada kita sendiri yang hancur. Hancur di semua sisi. 

Terakhir, manajemen hati dalam sikap profesional termasuk offensing di dalamnya. Gue baru sadar kalo itu termasuk dalam asas-asas profesionalitas versi gue right before gue nulis postingan ini sih. Gue sering banget dikira marah-marah sama temen gue karena sikap yang gue anggep sebagai suatu ketegasan alih-alih suatu kemarahan. Jadi, hati-hati buat kita-kita yang punya sikap tegas. Kadang orang lain menganggap ketegasan itu sebagai sebuah kemarahan. Niatnya negasin eh ditangkepnya lagi marah-marah.

Kan komunikasi itu disebut komunikasi kalo ada pengirim informasi (speaker) dan penerima informasi (listener). Ada 2 kemungkinan sih disini. Si speaker ngomongnya kurang pas  atau listenernya terlalu offensing ke informasi yang didapet. Wah cukup susah sih. Si speaker mungkin niatnya ngomong ke 1 orang aja. Eh, orang lain yang nangkep info yang sama merasa info tersebut nggak cocok sama dia. Muncullah kalimat "Lah kok gitu sih?". Because sometimes offensing comes from your deeply mind yang too far in processing information aja kok. Bahasa gaulnya baper. Nah, most of people biasanya kurang memilah konteksnya, berpikiran sempit, dan terlalu percaya apa yang dia anggap benar padahal belum tentu. Intinya perlu pengertian dari kedua belah pihak sih. Speakernya kudu tau karakteristik listenernya dan listenernya ini harus tau dalam konteks apa sih si speaker itu ngomong demikian.

Nah, beberapa hal di atas itu yang gue simpulkan sebagai aspek dari profesionalisme. Tetep. Versi gue. Karena jelas pengalaman yang kita dapet beda. Kalopun sama, perjalanannya pasti beda. Jadi ini bukan kesimpulan mutlak. Karena gue cuma anak kemaren sore, bukan ahli. Thanks for reading J


2 comments:

  1. Sulit yaa buat tidak terbawa suasana nyaa, di sisi lain kesel tp di tempat laij hrs menunjukan klo lg ga kesel :) nice post!

    ReplyDelete
  2. Sulit yaa buat tidak terbawa suasana nyaa, di sisi lain kesel tp di tempat laij hrs menunjukan klo lg ga kesel :) nice post!

    ReplyDelete